1 BULAN YANG LALU Vs 11 BULAN NANTI

Rusdi Saleh 10 Desember 2010
Hari ini genap satu bulan sudah saya meninggalkan pulau Jawa, Pulau dimana kota kelahiran saya tinggal dan dibesarkan sampai dewasa. Tidak terasa memang, tinggal 11 bulan lagi jatah saya bertemu dengan anak-anak cerdas yang ada disini. Saya masih ingat satu bulan yang lalu, tepat di hari pahlawan, 10 November. Hari terakhir bertemu dengan 50 pemberani yang idealis, yang rela meninggalkan kehidupannya demi Indonesia Mengajar. Hari dimana saya menitikan air mata karena harus berpisah dengan mereka untuk sementara waktu. Hari yang istimewa bersama mereka. Saat ini ketika saya sudah berada di tempat yang menjadi misteri selama 2 bulan pelatihan. Tempat yang saat ini didam-idamkan oleh sebagian anak muda yang ingin bergabung dengan indonesia mengajar. Tempat tugas yang harapannya menjadi salah satu puzzle kehidupan saya. Karena hidup bagai melengkapi kepingan-kepingan puzzle yang belum kita ketahui ada dimana letaknya. Mungkin saja tempat ini adalah salah satu kepingan puzzle yang sedang saya cari. Saya merasakan saya menjadi diri saya sendiri, bertemu dengan anak-anak setiap harinya, berusaha merangsang mereka untuk belajar, berusaha menanamkan sebuah mimpi besar mereka untuk tetap berada di pikirannya. Karena mengajar bukan sekedar memberikan materi, namun mengajar juga memberikan inspirasi kepada anak-anak untuk berkembang menjadi lebihbaik. Semakin saya mendalami arti mengajar yang saya lakukan dikelas, saya menemukan kesimpulan bahwa mengajar adalah sebuah proses, mengajar bukannlah ibarat menciptakan sebuah lukisan yang hanya akan dinilai ketika hasilnya bagus. Mengajar ibarat perjalanan hidup yang kita jalani. Butuh sebuah dinamika agar kita bisa hidup bahagia, adakalanya kita harus menangis entah untuk menangis sedih atau bahagia, kita butuh tertawa sampai terpingkal-pingkal atau kita hanya butuh sebuah senyuman untuk membuat perjalanan hidup kita lebih indah. Itulah mengajar versi saya, sebuah proses yang jika kita menjalaninya, suatu saat nanti akan memberikan dampak yang besar bagi siswa kita nantinya. satu bulan meninggalkan kehidupan kekotaan dan harus hidup dengan pasokan listrik yang terbatas serta akses yang sangat sulit untuk keluar desa mengajarkan saya arti sebuah hal. Dimana rasa syukur saat ini menjadi barang yang langka dimiliki oleh banyak orang. Kadang kita terlalu banyak mengeluh untuk hal-hal yang sudah kita dapatkan. Hari ini saya bersyukur masih mendapatkan sedikit listrik dan pasokan sinyal GPRS yang lumayan. Akses jalan pun sebenarnya masih tidak seekstrem rekan-rekan pengajar muda yang lain. Kemaren, saya mendapat telepon dari sahabat saya, Sakti, pengajar muda yang mendapatkan tugas di Majene, Sulawesi Barat. Beruntung sekali mendapatkan telepon darinya, setelah sekian lama tidak mendengar suaranya. Dia sedang turun gunung untuk beberapa keperluan sehingga bisa mendpatkan sinyal. Ditempat ia tinggal, tidak ada pasokan sinyal sedikit pun, bahkan hanya untuk menerima dan mengirim sms. genset pun sering padam. Ditambah dengan akses menuju desanya yang sangat sulit dijangkau, bayangkan untuk mencapai desanya yang berada di atas gunung, katanya kemiringannya mencapai 60 derajat. amazing... berharap semua pengajar muda di daerah lain bisa menikmati kehidupan barunya serta bisa selalu bersyukur dengan apa yang didapat Sejujurnya saya amat rindu ingin berjumpa dengan kalian hay orang-orang idealis. Saya tuliskan ini diantara bunyi hujan dan gerungan genset yang akan berhenti bernyala. *pas 500 kata, spesial untuk kalian semua para pengajar muda.

Cerita Lainnya

Lihat Semua