info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Ka

Roy Wirapati 10 Desember 2010
Pinggir, 14 November 2010 Nene tinggal di Balai Pungut, sebuah desa yang 90 persen penduduknya adalah Suku Asli yang disebut Sakai. Desa ini adalah desa tertua di Pinggir yang dihuni oleh Suku Sakai tertua. Hampir semua penduduk desa ini adalah anak-beranak jika dirunut berdasarkan silsilah keluarga. Karena itulah desa ini dapat disebut Desa Asli Suku Sakai. Desa ini merupakan desa yang sangat tenang yang menyimpan beribu macam cerita sepanjang sejarah hingga ditorehkannya pena ini. Pipit tinggal di Tengganau, sebuah desa yang perumahannya cukup jarang-jarang yang dihuni oleh Melayu Sakai dan Minang yang hidup dengan cukup rukun. Sebuah desa dengan tanah berwarna kuning terang dan dilalui oleh angin semilir yang cukup kencang. Penduduk sekitar sini jarang berada di luar rumah, entah karena apa, atau mungkin mereka semua sedang keluar rumah sehingga tak tampak di jalan-jalan utama desa ini. Kedua desa tersebut terletak agak jauh dari jalan utama Lintas Sumatra, tidak seperti di Muara Basung. Mungkin itulah salah satu sebabnya daerah ini tidak terlalu ramai. Tidak banyak kedai di daerah ini sehingga kedua pemudi itu jika mau makan bakso dan sejenisnya harus pergi ke desaku terlebih dahulu karena paling dekat dengan desa mereka. Mungkin aku tidak bisa mengatakan desa kami sebagai “Dekat”. Karena inilah pengalaman hidupku yang kualami saat ingin mengunjungi mereka. Aku belum handal naik motor sehingga harus berjalan kaki untuk bisa mengunjungi mereka semua. Pagi harinya aku diantar oleh Abdul ke Simpang Pungut, sebuah perempatan yang menghubungkan Jalan lintas Sumatra ke kedua desa tersebut. Dari sana aku berjalan kaki karena tidak yakin dengan jalan yang kulewati. Suasana saat itu panas terik dan kanan kiriku adalah sebuah lahan tandus tempat Chevron mengebor minyak sehingga menambah suasana panas di jalanan ini, ditambah lagi jalanannya juga dilapisi aspal yang melengkapi kadar hawa panas dan gerah sepanjang jalan itu. Aku harus berjalan selama 1,5 jam untuk bisa sampai ke Balai Pungut. Perjalanan itu begitu jauh dan melelahkan. Akhirnya aku bisa melihat wajah Nene dan memeriksa keadaanya dengan mata kepalaku sendiri. Setelah beristirahat di tempat Nene barang setengah jam, kami pun bersama-sama bertolak ke Tengganau, tempat Pipit berada. Kudengar jarak antara mereka berdua sangat dekat sehingga mereka dapat sering bertemu. Dan ternyata memang “sangat dekat”. Untuk mencapainya kami harus melalui hutan sawit dan hutan karet yang jalanannya tidak rata sedikit pun. Dan perjalanan itu memakan waktu 1,5 jam lagi. Aku mulai meragukan  definisi faskab kami, Mas Dasuki, terhadap kata “Dekat”, mungkin ke depan aku harus berhati-hari dengan kata tersebut. Di tempat Pipit kami sudah cukup kelelahan karena medannya memang cukup mengasyikkan, kalau kami menggunakan motor off-road yang bertenaga tinggi. Setelah itu, Nene dan Pipit akan berjalan kaki kembali menuju Balai Pungut untuk mengunjungi tempat Nene, sementara aku akan pulang ke Muara Basung, dengan berjalan kaki pula. Ternyata jarak dari Simpang Pungut ke Tengganau lebih dekat dibandingkan dari Simpang Pungut ke Balai Pungut. Perjalanan itu hanya memakan waktu sekitar 45 menit hingga 1 jam. Tetapi, tantangan sebenarnya baru dimulai. Aku akan berjalan melintasi Lintas Sumatra dari Simpang Pungut hingga ke Muara Basung ditemani truk-truk gandeng sebesar gajah sumatra dewasa (minimal). Perjalanan ini hampir mencapai 2 jam berjalan kaki. Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Hampir 6 jam aku berjalan kaki hari ini untuk mengunjungi kedua temanku itu. Aku tidak akan percaya lagi kalau ada yang berkata “Dekat” pada diriku sebelum kusaksikan sendiri, karena ternyata dekat itu sangat jauh setelah dilalui. Untung di training camp aku sudah banyak dilatih fisik oleh Pak Achmad Sjahid. Terima kasih banyak pak karena telah membentuk tubuhku menjadi sekuat ini. Aku akan terus mengasah kemampuan fisikku setiap hari di sini. Smile Eternally

Cerita Lainnya

Lihat Semua