info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Cerita Tentang OSK

Roro Ayu Kusumastuti 3 April 2015

Tulisan ini kutulis setahun yang lalu. Yah, gagal move on. Dan memang tidak akan pernah ingin move on. Kenangan menjadi Pengajar Muda seringkali menyeruak muncul di sela-sela waktu sendiri. Seperti hari ini.

***

Hari Sabtu, 22 Februari 2014 yang lalu Kabupaten Halmahera Selatan menyelenggarakan babak penyisihan Olimpiade Sains Kuark (OSK) tingkat nasional. Olimpiade tersebut dilaksanakan serempak di seluruh wilayah Indonesia dengan peserta siswa-siswi Sekolah Dasar dari kelas I sampai VI. Sekolahku, SD Inpres Sawangakar, hanya mengirimkan sembilan siswa saja dari sepuluh siswa yang telah didaftarkan. Satu anak tidak ikut karena sakit pada saat hari H pelaksanaan lomba. Sayang. Padalah anak itu termasuk anak yang paling ‘cemerlang’.

Adalah Riska M. Barmawi, siswi kelas VI yang akrab dipanggil Eka oleh teman-temannya. Dia anak yang pintar, cantik, sopan, dan tidak pernah melawan. Sosoknya merupakan tipikal murid ideal idaman semua guru, termasuk aku. Meski kabar yang kudengar menyebutkan kalau dia berasal dari keluarga yang punya kebiasaan kurang baik, tapi itu tidak berpengaruh terhadap dirinya. Ia dan adiknya, Dandi, adalah anak-anak yang ‘cemerlang’ di kelasnya. Riska bertangan kidal. Tulisannya bagus dan rapi. Ia menulis cepat dan catatannya pun lengkap. Apapun yang aku ajarkan selalu mampu ia ‘telan’ dengan cepat. Aku sangat menyayangkan ia tidak dapat mengikuti OSK. Apalagi setelah rajin berlatih di rumahku dari beberapa minggu sebelumnya.

Pada acara OSK saat itu, jumlah peserta keseluruhan sekitar 450-an. Peserta lomba berasal dari hampir seluruh Sekolah Dasar di kawasan Halmahera Selatan. Diantar oleh guru, kepala sekolah, atau orangtuanya, para siswa datang dengan riang ke lokasi lomba yang saat itu bertempat di SMAN 1 Bacan dan gedung di seberangnya, SD Inpres Labuha. Kami—Pengajar Muda—bertugas menjadi penitia pelaksana dengan bekerja tandem dengan tim dari Dinas Pendidikan Halmahera Selatan. Untuk pengawas lomba, kami melibatkan guru-guru dari SMAN 1 Bacan dan SD Inpres Labuha—sekolah di kota yang justru tidak satu pun siswanya ada yang mengikuti OSK.

Setelah melalui serangkaian proses registrasi dan apel pembukaan oleh Kepala Dinas Pendidikan, tepat pukul 10.30 WIT pelaksanaan OSK dimulai. Seluruh peserta bisa mulai membaca soal dan menghitamkan lembar jawaban. Panitia pelaksana berkeliling ruangan memastikan pelaksanaan OSK berjalan tertib dan aman. Di tempat lain, yaitu di ruang laboratorium, salah seorang Pengajar Muda membuka diskusi tentang keberlanjutan pelaksanaan OSK. Kami menyebutnya forum keberlanjutan. Kami memang sudah membagi tugas untuk itu.

Aku yang jarang tampil ini didaulat menjadi MC pembuka dan penutup acara OSK atas hasil undian. Saat pelaksanaan lomba, aku ikut berkeliling mengecek seluruh ruangan. Sampailah aku di sebuah ruangan seadanya yang hari itu difungsikan sebagai UKS sementara. Di sana aku mendapati seorang anak berseragam SD menangis di pelukan seorang ibu dengan lembar soal dan pensil di tangannya. “Ngana sakit?” tanyaku. Anak itu hanya berdiam dan tetap menangis. Tanpa suara. Sang ibu berusaha menjelaskan padaku tentang keadaan anaknya. Malam sebelumnya anak itu begitu bersemangat belajar mempersiapkan OSK hingga memforsir tenaga. Keesokannya pada saat hari H, ia justru jatuh sakit.

“Kalau tidak kuat, istirahat sudah. Tidak usah dipaksa. Insya Allah  tahun depan masih bisa ikut OSK,” kataku. Aku bermaksud menghiburnya. Tapi, sepertinya anak itu enggan menunggu hingga tahun depan. Ia bersikeras ingin tetap mengerjakan sosl-soal OSK. Trenyuh aku melihatnya. Dalam dekapan sang ibu, ia terus membaca soal-soal di tangannya sambil tetap berlinang air mata. Jelas sekali ia merasa tidak nyaman saat itu. Tapi semangat yang tinggi membuatnya tetap bertahan. Big applause for you, Kid!

Tepat jam 12 lonceng berbunyi tanda waktu pengerjaan soal selesai. Anak-anak kuminta berkumpul ke tengah halaman sekolah membawa kertas lipat warna-warni yang telah dibagikan sebelumnya. Mereka menuliskan keinginan dan harapan mereka di kertas itu lalu melipatnya menjadi bentuk pesawat. Tepat di tengah halaman sekolah di antara kerumunan anak-anak sudah berdiri tiruan Monas yang kami—Pengajar Muda—buat malam sebelumnya di basecamp Indonesia Mengajar. Tiruan Monas itu merupakan perumpamaan Jakarta. Kami membuatnya dengan harapan ada perwakilan dari Halmahera Selatan yang lolos ke bebak final yang nantinya akan diselenggarakan di Jakarta.

Origami pesawat sudah di tangan, siap diterbangkan. Sebelumnya kami berdoa bersama agar nantinya bisa lolos ke final OSK dan berangkat ke Jakarta. Bagi anak-anak Maluku Utara, bisa ke Jakarta atau setidaknya menginjakkan kaki di Pulau Jawa merupakan hal yang luar biasa. Selama ini mereka menganggap Pulau Jawa adalah pusat segalanya. Bisa benar, bisa juga keliru. Gap antar daerah yang terlalu besar telah mencipkakan mindset mereka menjadi seperti itu. Pembangunan di negeri ini memang belum merata. Itu fakta.

Origami pesawat harapan sudah di tangan. Masing-masing anak mengangkatnya tinggi dan bersiap menerbangkan. Satu… Dua… Tiga… Kami bersama-sama menerbangkan pesawat harapan kami ke arah ‘Monas’ yang berada di tengah kerumunan. Semoga malaikat menjaga mimpi anak-anak Halmahera Selatan dan suatu saat harapan itu menjadi kenyataan. Bukan saja tentang OSK, tapi apapun yang telah mereka tulis dan ucapkan dalam setiap doa.

***


Cerita Lainnya

Lihat Semua