info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Di desaku, Dangdut bukan sekedar musik

Ronald Hutagaol 14 April 2015

Di tengah banyaknya kontroversi dalam perkembangan musik Dangdut,di sini, di desa penempatanku, keadaan itu berbeda 180 derajat. Orang-orang di desa tidak pernah berbicaramengenai pesan moral yang terkandung dalam sebuah lagu dangdut. Di sini, Dangdut bukanlah sekedar rangkaian kata yang bersatu dengan nada dan irama. Di sini, Dangdut bukanlah sekedar nyanyian, Dangdut adalah kehidupan.

Desa penempatanku bernama Teluk Aur, Kecamatan Bunut Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Desa yang damai ini berada di sebelah timur kota Pontianak. Perjalanan dari ibukota provinsi ini memakan waktu hingga 24 jam dengan moda transportasi Bus dan PerahuFiber. Mengapa harus memakai perahu? Karena desa penempatanku adalah desa air alias tidak memiliki jalan darat. Sungai Kapuas dan anak-anaknya adalah akses utama yang menghubungkan banyak desa di sini. Perjalanan di sini mengandalkan keperkasaan mesin perahu berkapasitas 2 PK hingga 40 PK, tergantung keadaan kocek.

Seperti kebanyakan desa di pinggiran sungai, desa di pinggiran Kapuas memiliki jarak yang cukup jauh dengan desa lainnya. Mungkin ini salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi di sini. Sebagai contoh jarak antara desaku dengan Bunut Hilir (kecamatan) sekitar satu jam dengan menggunakan perahu dan perjalanan ini menghabiskan biaya 50-150 ribu. Cukup mahal kan? Ditengah kejauhan jarak inilahmusik Dangdut hadir sebagai musik rakyat, ya musik rakyat pinggiran sungai, musik yang mempersatukan. Musik yang mempersatukan di tengah keterbatasan.

Di kota kita bisa menikmati hingar bingar keramaian dengan pergi ke tempat-tempat hiburan. Ketika menginginkan keheningan, kita juga tinggal pergi ke desa wisata. Keadaan tersebut sangat berbeda di sini. Ketika orang-orang desa ingin menikmati suasa kota mereka tidak memiliki uang yang banyak untuk membeli bensin perahu. Di sisi lain mereka juga tak mungkin mendustai perasaan dengan mengatakan menikmati suasana desa ditengah kebosanan bercengkrama dengan alam.

Ditengah keterbatasan inilah musik Dangdut hadir sebagai hiburan, ya hiburan yang selalu dinantikan. Musik ini kerap hadir di acara nikahan maupun syukuran, tergantung keadaan budget sang pemiliki pesta. Irama dangdut dengan menggunakan band akan lebih mudah mengumpulkan kerumunan daripada hanya sekedar orgen tunggal.Ketika mendengar irama gendang, kaum lekaki di desa akan memilih meninggalkan tayangan el clasicoatau derby manchestersekalipun itu disiarkan di sore hari. Mereka akan menyelesaikan ataupun menghentikan pekerjaan mereka sementara ketika mengetahui ada acara Dangdut. Musik Dangdut adalah semangat mereka, menyanyi, menari dan bergoyang dalam Dangdut adalah hiburan mereka. Biasanya musik akan dihentikan jika tidak ada yang bergoyang di panggung. Aku melihat Dangdut sebagai semangat di sini.

Apakah hanya itu? Tidak. Dangdut di desa bukan hanya sedar semangat dalam hiburan. Jauh daripada itu, Dangdut adalah adalah budaya mereka, Dangdut itu mempersatukan, lebih tepatnya lagi Dangdut adalah irama kehidupan.

Dangdut sebagai budaya ketika musik ini hadir sejalan dengan pola hidup orang-orang desaku. Yang kuperhatikan, Dangdut tidak pernah absen dalam perayaan-perayaan apapun. Ketika tidak memiliki uang yang cukup untuk menyewa seperangkat band, mereka akan menyewa ataupun meminjam orgen tunggal untuk digunakan. Yang paling penting orang-orang dapat mendengarkan suara gendang dan bergoyang.Selain itu, orang-orang desa juga akan senantiasa bekerjasama untuk mewujudkannya. Contohnya untuk membuat penggung yang biasanya terbuat dari kayu yang disusun (sementara), mereka akan bekerjasama baik dalam mencari maupun ketika menyusun kayu itu. Aku selalu membayangkan apa yang akan terjadi ketika musik Pop ataupun Jazzyang disuguhkan dalam perayaan suatu acara di sini. Aku melihat Dangdut sebagai budaya di sini.

Aku juga menemukan fenomenaunik lain dan mungkin menjadi yang paling menarik bagiku. Sihir Dangdut mampu menjadi pemanggil dari kejauhan. Ya, tidak hanya mengumpulkan orang sekampung tetapi mendatangkan orang dari kampung lainnya. Adik angkatku yang sedang bersekolah SMA di Kecamatan juga pasti akan pulang sekalipun itu bukan jadwal pulangnya ke kampung. Itu semua karena sihir Dangdut.  Setiap ada acara dangdutan, desa tempat acara itu diadakan pasti selalu ramai, apalagi jika musiknya terdiri dari seperangkat band. Dengan demikian kampung itu bak kerumunan semut yang terpusat di satu panggung. Informasi mengenai acara itu akan segera mendarat di telinga dari mulut ke mulut. Orang akan saling menyampaikan kabar bahagia itu ketika berkumpul ataubahkan ketika sedang di tengah sungai sekalipun. Mereka akan saling memanggil dan memberi kabar.

Jika sudah begini fenomena lain pun muncul. Aku tidak pernah membayangkan peran Dangdut yang sedemikian besar ini, yaitu ketika tabuhan gendang mempertemukan pasangan-pasangan muda yang kemungkinan besar akan menikah setelahnya. Ya, menikah. Acara Dangdutan ternyata bukan sekedar ajang menyanyi dan berjoget tetapi lebih dari itu. Acara Dangdut seperti mak comblang yang mengumpulkan orang-orang muda untuk berkenalan. Tempat acara dilangsungkan akan didatangi oleh pria-pria dari kampung lain dan semua orang desa akan welcome dengan keadaan ini. Orangtua di desa juga biasanya meminta putrinya berdandan saat di desa mereka sedang ada acara Dangdut. Jika musik sudah ditabuh anak-anak muda akan berebut untuk naik ke atas panggung dan berjoget. Tidak peduli apa tema lagunya, sedih atau senang mereka akan tetap bergoyang hingga menggetarkan panggung yang disusun dari kayu.Terbatasnya pendidikan yang lebih tinggi di sini menyebabkan tingginya pernikahan usia muda.Umumnya anak perempuan mulai menikah di usia 15 tahun di sini. Aku sempat kaget dengan fenomena ini apalagi saat itu harus terjadi pada anak didikku yang sedang duduk di kelas VIII. Aku berterimakasih kepada Gerakan Indonesia Mengajar yang telah mengirimkan Pengajar Muda seperti kami ke sini. Setidaknya gerakan ini sudah cukup mengubah pandangan masyarakat Teluk Aur untuk memperjuangkan anak mereka untuk menempuh  pendidikan di SMA. Dengan begitu pernikahan di usia muda sudah semakin berkurang di sini. Di sini aku melihat Dangdut sebagai kehidupan.

Di sini aku sungguh belajar tentang kehidupan. Kehidupan sederhana yang kumaknai seperti cakrawala. Fenomena ini telah mengubah cara pandangku terhadap musik Dangdut. Hal yang belum pernah kutemui sebelumnya. Bahkan kalau boleh jujur aku dulu membenci lagu-lagu Dangdut. Dulu, setelah era Rhoma Irama, musik Dangdut hanya sekedar tarian erotis dalam benakku, mengajak pendengarnya bergoyang dalam nada riang maupun sendu. Aku membayangkan musik ini tidak lebih dari sekedar tempo yang bergoyang yang membawa pendegarnya dalam buaian nafsu.Dengan demikian aku mengamini kritikan Rhoma Irama yang terkenal itu saat itu. Sekarang aku sudah tahu, Dangdut bukan soal lirik, nada, dan irama saja, jauh dari itu, Dangdut adalah kehidupan orang desaku.

Ronald Hutagaol, Pengajar Muda VIII Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

 

 

 

 

 

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua