Tanyakan Aku "Arapa, Lek?"

Rizki Mustika 7 September 2013

Pertanyaan itu sederhana saja. Cukup dua kata. Artinya “Ada apa, Dik?”. Tapi buatku maknanya dalam, Kawan. Kalau meminjam istilahnya Coldplay, ini seperti the lights that guide me home and ignite my bones-lah. Terdengar berlebihan? Yah memang, buatku pertanyaan ini sepenting itu.

 

7 Juli 2013. Aku dan Ano (PM seangkatan dan sepenempatanku, profilnya akan kumuat di catatan berikutnya, Kawan) lagi-lagi terlibat obrolan semidiskusi. Obrolan kali inipun sama, kami selalu sepakat bahwa selain tengah menikmati hidup, kami di sini sedang bersekolah. Sekolah kehidupan. Kami belajar sambil berpraktek. Metodenya langsung role play. Aku dan Ano juga sependapat bahwa role play ini tak biasa. Ini role play  sungguhan. Peran yang kami mainkan pun sungguh kompleks. Kami bukan saja diri sendiri. Kami adalah Pengajar Muda, wajahnya Indonesia Mengajar. Kami PM VI, PM setelah angkatan IV dan akan diteruskan PM angkatan VIII. Segala tindakan mesti dipikirkan matang-matang. Jalur yang kami tempuh mesti searah dengan PM angkatan sebelumnya dan tidak boleh terlalu berliku untuk diteruskan angkatan berikutnya. Kami juga seorang guru Sekolah Dasar, kami orang tua dengan banyak sekali anak, kami anggota keluarga baru di hostfam masing-masing sekaligus adalah pendatang ketiga (setelah PM II dan IV) di masyarakat, kami orang dewasa yang bisa saja terbawa-bawa arus kepentingan politik berbagai pihak. Kami memainkan peran-peran yang rentan polemik dan potensial jadi pemicu dinamika sosial.  Yah, makanya semua ucapan dan tindak-tanduk harus terkontrol sempurna. Segalanya harus sesuai konteks.

Sebelum penugasan, peranku mudah saja. Aku adalah anak perempuan bungsu di sebuah keluarga kecil yang sederhana. Akulah teman diskusi dan berpetualang ayahku. Aku teman gosip dan curhat ibuku. Aku juga satu-satunya adik perempuan abangku. Jadi akulah yang temani abang berbelanja, membantu memilihkan kemeja atau celana untuk ia pakai kerja. Selain itu? Aku ini seorang sahabat. Paling banter aku ini partner kerja. Sudah, tak ada lagi. Itu semua peran seribu umat, bukan? Mungkin sepertiga penduduk bumi punya peran sama sepertiku.

Sekarang, tiba-tiba aku harus memainkan sebuah peran yang kompleks. Tingkat kesulitannya naik drastis. Spektrum kemandiriannya pun maju pesat. Meninggalkan interdependensi paling basic menuju independensi level advance. Peralihan yang teramat jomplang ini membuatku timpang. Salah-salah, aku bisa merasa sedang tidak menjadi diri sendiri.

Aku benar-benar butuh diingatkan bahwa ini tetap diriku. Caranya? Tanyakan aku “Arapa, Lek?”. Pertanyaan ini cukup untuk membuatku kembali seimbang.  

Bagaimana bisa? Pertanyaan itu menyatakan bahwa aku punya tempat mengadukan apa yang kurasakan, pikirkan, dan lakukan. Pak Anies pernah bilang, “You are alone, you face all the challenge alone”. Ya, aku tahu aku sendirian. “Punya tempat mengadu” tidak berarti aku bisa berbagi tantangan. Semuanya tetaplah milikku. Semua perkataan dan tindakan tetap aku yang putuskan. 

“Punya tempat mengadu” berarti aku masih seorang adik perempuan. Aku yang di masa penugasan masih diriku yang sebelum penugasan. Aku memang sedang menjalankan peranku yang kompleks selama penugasan, tapi tidak sertamerta meninggalkan peranku yang sederhana sebelum penugasan. Aku sama sekali tidak sedang menjadi orang lain. Aku Tika yang sama. Hanya saja aku sedang belajar. Banyak.  

 

NB: Dear you, yang telah bersedia mendengarkan celotehanku berjam-jam lamanya, yang telah bertanya bagaimana kabarku sambil bernyanyi-nyanyi konyol “kamu dimana, dengan siapa, semalam berbuat apa?”, telah mengirimiku pesan singkat “Tikaaaaaaa...” seperti biasanya, dan telah menyediakan waktu membaca lalu mengomeni catatan-catatan ini. Terimakasih. It means a lot.

Aku sayang kalian.

photo by: @maharsii

 

“Kau bagai angin di bawah sayapku. Tanpamu aku tak bisa seimbang.” (Padi, 2011)

Replikatika, 3 Agustus 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua