Cinta Paksa

Rizki Mustika 7 September 2013

Aku pernah dengar Cinta Mati. Penyanyinya Mulan Jameela kalau tak salah. Sering juga aku dengar Cinta Melulu. Kau pasti tahu itu lagunya Efek Rumah Kaca, Kawan. Tapi sungguh baru kali ini aku mendengar Cinta Paksa. Langsung.

25 Juni 2013. Ini bukannya lagu, tapi kisah tetanggaku. Yati namanya. Yati asli Kebumen. Usianya baru 18 tahun. Yati adalah istri dari anak pemilik sepeda yang biasa kupinjam. Mang Barjo, kami memanggilnya. Kemarin dini hari, anak pertama Yati lahir. Bayi laki-laki itu belum lagi punya nama ketika aku bercakap-cakap dengan ibunya.

Yati awalnya bertanya asalku. Ini pertanyaan biasa yang ditanyakan semua orang Gili saat pertama kali bertemu. Ya aku cerita bahwa aku lahir dan besar di Padang, tapi sudah hampir lima tahun ini tinggal di Depok. Dia langsung bilang “Oh, orang Minang ya, Bu.” Nah, respon ini tidak biasa. Jarang orang Gili yang tahu bahwa orang Padang bersuku Minang. “Dulu saya punya teman orang Minang”  Katanya. Lagi-lagi ini tidak biasa. Bukan karena orang Gili jarang punya teman orang Minang. Tapi nada suara dan pandangan matanya yang tidak biasa. “Kalau malam-malam SMS saya itu, suruh tidur apa Bu? La..lok.. apa?” Yati bertanya. “Lalok lah  lai?” aku tanya balik, mengonfirmasi. “Nah, Iya!” jawabnya semangat. “Hahaha” aku tertawa paham. Aku mengerti sekarang, arah pembicaraan ini akan ke mana. Teman yang disebut-sebutnya ini pastilah bukan teman biasa. Aku menarik kesimpulan itu bukan saja karena konten dan waktu SMS-annya. Tetapi lagi-lagi dari nada suara dan pandangan mata Yati.

Yati melanjutkan “Dulu saya punya teman Bu, sudah dua tahun saya dengan dia. Romi namanya. Kerja fotokopi dia.” Mata Yati sejenak tampak ragu-ragu. Maka aku tanya “Oh ya Yati? Lalu?”. Kalau Kawan mau tau, itu teknik probing paling ampuh dalam sebuah interview. Penjelasan yang lebih rinci dari sebuah informasi umum yang dinyatakan interviewee akan keluar kalau sudah ditanya begitu. Pertanyaan ini juga adalah respon yang baik dalam konseling. Menunjukkan bahwa Kawan sedang melakukan active listening dan jika nada yang digunakan tepat, klien akan merasakan kau benar-benar tulus ingin mendengarkan. Mereka akan merasa nyaman untuk bercerita apa saja. Tapi jangan kira aku ingat teori ini ketika bertanya begitu pada Yati. Pertanyaanku sungguh cuma refleks. Ya syukur saja waktu itu ia tak jadi ragu-ragu.

“Saya kenal Romi di Bekasi Bu.” Yati melanjutkan cerita.

“Bekasi..? Yati pernah di Bekasi? Dimananya?” Aku jadi teringat kantorku dulu. Pulogadung, dekat Bekasi. Pusat macet, sumber polusi. 

“Iya Bu, dulu saya dinan di Bekasi. Saya kerja Rumah Makan Padang dulu Bu. Itu kan orang kalau meli-meli pakai bahasa Padang kan, saya senang sekali itu dengarnya. Apa itu, nyaman dengarnya gitu Bu. Dulu saya mengerti Bu, tapi tidak bisa ngocak-nya.”  Bahasa Yati campur aduk. Tapi kau mengerti kan, Kawan?

“Oo haha, enak ya Yati dengar Bahasa Padang? Mengerti tapi gak bisa bicaranya, pasif ya.. Lalu?”

“Romi tu fotokopi di sebelahnya Bu. Kalau makan siang suka ke warung kan. Baik dia Bu. Perhatian sekali.” Yati berhenti sejenak, matanya yang tadi menatap mataku beranjak. Bergerak pelan ke sudut kanan, menerawang sebentar sebelum melanjutkan, “Kalau suami saya tidak, Bu. Lebih perhatian Romi... Tapi sejak hamil ini...” Yati melihat dengan sayang ke arah bayinya, “Jadi perhatian..”

“Sudah perhatian ya, Yati..?” Hei, jangan sebut aku kepo Kawan! Aku hanya mengonfirmasi.

“Ya, lumayan lah bu..” Mata Yati bergerak-gerak, “Ya, dibanding dengan dulu..” Ia menambahkan.

Ku pikir Yati sebenarnya tidak yakin untuk bilang “Ya, sekarang sudah perhatian!” lihat saja matanya, Kawan. Mungkin Yati hanya merasa-rasa begitu, atau jangan-jangan cuma berharap. Kalau memang begitu, getir sekali rasanya menjadi Yati. Aku harap ada manisnya juga di kisah Yati, maka kutanya lagi.

“Dulu bertemu dengan Mang Barjo bagaimana ceritanya Yati?” Dari kisah-kisah yang sering kudengar, bagian ini biasanya manis.

“Dulu kan waktu saya di Malaysia Bu, suami saya yang bantu kabur.” Oh, apa lagi ini? aku harusnya ingat bahwa ini bukan kisah biasa. Sama sekali tidak bisa kusamakan dengan “kisah-kisah yang sering ku dengar” itu.

“Kabur..?” tanyaku hati-hati.

“Iya Bu, dulu saya TKI ke Malaysia. Ada masalah dengan keluarga juga kan.” Tak usah kaget, memang banyak sekali masyarakat Gili yang bekerja sebagai TKI. “Saya tidak cocoklah dengan majikan. Ditipu gitulah Bu.. gajinya katanya sekian (kita tak usah sebut-sebut nominal ya, Kawan?) ternyata tidak. Saya kerjanya siang malam itu Bu, padahal katanya cuma 6 jam sehari. Ya banyak lah! Suami saya yang bantu kabur itu Bu.. Jadi saya menikah karena ya.....” Yati tidak melanjutkan. Kami sudah sama-sama tahu.

Makanya kujuduli kisah Yati Cinta Paksa. Itu sebutanku saja. Aku yakin Pak Stenberg akan menyebut ini Empty Love berdasarkan teori Segitiga Cintanya (Stenberg’s Triangular Model of Love, 1986). Di cinta Yati pada Mang Barjo tok hanya ada commitment. Tidak ada intimacy , tidak ada passion.

Yati telah mengikatkan diri dan hidupnya pada Mang Barjo dengan ikrar pernikahan. Meski sebenarnya ia tak merasakan kedekatan dan kasih sayang pada suaminya. Meski kedekatan dan kasih sayang itu masih Yati rasakan lebih pada kekasihnya. Ya, kau tau alasan Yati melakukannya Kawan. Hutang budi.

Kupikir hutang budi memaksa orang menyandang semacam dependent role. Peran tergantung itu dapat menghambat mindfulness (Self Induced Dependence; Langer & Benevento, 1978). Makanya dengan berhutang budi seseorang jadi mudah diklaim.  Aku jadi ingat kalimat pamungkas Kak Wahyu, masih dengan aksen khasnya, “...itu saya gak pernah terima itu, saya gak mau dimiliki.” Seperti keputusan dewan syuro bagi aktivis dakwah kampus, ini otomatis jadi pedomanku setiap berhadapan dengan stakeholder.

Kembali lagi ke Yati, ia berhutang budi karena ditolong di saat yang memang genting. Aku dan kita semua sangat mungkin merasa berhutang budi karena hal-hal yang dekat dengan keseharian. Bisa karena sering diperlakukan istimewa, karena telah ditunggu setahun (atau bertahun-tahun), bisa juga karena selalu menerima perhatian dan pemberian. Hati-hati Kawan. Untuk hutang budinya Yati telah dimiliki, lalu kita?

 

 

NB: Waktu, tempat, dan identitas dalam catatan ini sengaja disamarkan. Foto yang dilampirkan juga adalah bentuk upaya penyamaran.

 

“Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa.” (QS. Al Furqon: 74)

Replikatika, 24 Juli 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua