Badboyku, Bintang Anak Baik di Kelasku
Rizki Mustika 7 September 2013Sungguh, aku ini penyuka badboy Kawan. Setiap aku mengunjungi sekolah, aku pasti jatuh hati pada anak yang dicap sebagai Mafia Kelas, Si Troubel Maker, atau semacamnya. Hmm.. coba kuingat-ingat. Itu sejak roadshow IMAMI UI ke SMA se-Sumatra Barat untuk motivasi pendidikan. Sejak komunitasku OSK masih rajin mengunjungi SD, SMP, atau SMA, sok sok-an memberikan Pelatihan Siswa Hebat. Ya, sejak itu mau di kelas-kelas BK, rumbel BEM, belajar intensif TPA, OBM UI, atau kelas manapun pasti akan ada seorang “bocah jahil” yang jadi favoritku.
Sampai baru-baru ini Kawan, ketika ke sekolah abangku untuk bertemu seorang siswa yang menurut guru-guru bermasalah. Ceritanya aku dimintai tolong untuk melakukan konseling pada anak ini. Eh, aku malah jatuh hati padanya. Lalu waktu camp di Purwakarta, selama seminggu sesi Pengalaman Praktek Mengajar aku dan teman-teman Pengajar Muda berlatih mengajar di SD-SD sekitar. Kelompok penempatanku kebagian di SDS Tantina. Ah, sudah pasti bisa kau tebak Kawan. Aku jatuh hati pada anak kelas II bernama Robin (namanya sama dengan Robin Si Jay di Men in Black memang). Robin adalah oknum yang bertanggung jawab atas segala bentuk tingkah laku aktif di luar instruksi guru, yang dilakukan teman-teman sekelasnya. Oh ralat, bukan hanya teman sekelasnya saja tapi kelas I dan III juga.
15 Juli 2013. Hari ini aku resmi jadi guru. Aku mulai mengajar di kelas III SDN Sidogedungbatu 4, Kecamatan Sangkapura, Pulau Gili. Di hari pertama masuk sekolah setelah libur awal puasa, ada 20 anakku (dari total 23 orang) yang hadir. Kalau aku bandingkan dengan anak-anak kelas III SDIT Darojaatul Uluum tempat abangku mengajar, anak-anak ini berbadan jauh lebih kecil. Masih dengan pembanding yang sama, pengetahuan dan keterampilan yang anak-anakku punya juga jauh di bawah anak-anak abangku. Tapi aku berani sumpah, mereka sama menggemaskannya. Sungguh sama unik dan menariknya.
Hari pertamaku mengajar aku membawakan lencana buat anak-anakku. Lencana ini bertuliskan nama masing-masing. Kami namakan ini Lencana Rahasia Kelas Tiga. Niatnya sih, ini kubuat jadi semacam identitas yang menumbuhkan belongingness mereka sejak awal. Lencana ini juga adalah bentuk apresiasiku atas kenaikan kelas mereka ke kelas III. Sekaligus kubuat jadi sesuatu yang harus mereka pertanggungjawabkan. Dengan memakai lencana itu mereka harus melaksanakan semua tugas dan menjalankan segala peraturan yang kami sepakati bersama. Jika ada tugas atau aturan yang tidak dilakukan, berarti mereka tidak mempertanggungjawabkan lencananya. Lencananya akan dicopot dan tidak diakui lagi sebagai anggota Pasukan Rahasia Kelas Tiga. Jadi, lencana ini sesungguhnya adalah manifestasi kemalasanku membuat banyak instrumen. Cukup satu saja. Haha. Ohya, lencana ini juga berfungsi sebagai kartu toilet, Kawan. Setiap anak yang akan keluar ruangan harus melepas lencana dan menyerahkan kepadaku. Jadi aku tidak mungkin lupa siapa yang ijin ke toilet. Nah, sekarang kau paham kan apa yang kumaksud dengan “malas membuat banyak instrumen”?!
Aku juga membawakan anak-anakku dua buah Bintang; Bintang Anak Baik dan Bintang Anak Berani. Jadi setiap hari, sebelum pulang sekolah aku akan menobatkan satu murid sebagai anak baik dan satu lagi sebagai anak berani. Aku akan menyematkan bintang ini di dada mereka. mereka berhak membawa pulang bintang ini untuk diperlihatkan dan diceritakan pada orangtua. Besok paginya, bintang harus dikumpulkan kembali. Nanti di penghujung hari, aku akan memilih dua anak lagi untuk jadi Bintang Anak Baik dan Bintang Anak Berani di kelasku.
16 Juli 2013. Ini baru hari kedua. Aku sudah bisa katakan bahwa aku cinta mati pada anak-anakku. Dan hatiku telah jatuh pada Anul. Beuh, kalau kau bertemu Anul kau mungkin akan salah mengira kalau dia seekor ulat bulu. Mengeliat-ngeliut. Lari kesana lari kemari. Badan Anul paling kecil di kelas. Badanku ketika TK saja, seingatku masih lebih besar. Oh, kau akan terpana melihat rambut Anul, Kawan. Anak-anak lelakiku kebanyakan menggunakan Jell Entah Apa yang membuat rambut mereka rebah sempurna namun keras luar biasa. Anul tidak, yang akan membuatmu terpana adalah kerikan bermotif kaluak paku di sisi kiri kepalanya. Aku mengenal kerikan semacam itu sebagai khasnya anak-anak gaul ibukota. Maka kerikan itu menegaskan padaku bahwa Anul adalah badboy. Ya, dia badboy-ku.
Hari itu ketika aku dan anak-anakku sedang berkumpul di depan leptop, belajar tentang Ciri-ciri Makhluk Hidup dengan menonton film African Cats, Bu Junna masuk. Beliau adalah walikelas kelas II. Yah, berarti Bu Junna lebih lama mengenal anak-anakku. Bu Junna memperingatkan “Hei Bu Tika, ketua premanya ini ni Bu! ini, ini, ini, sama ini Bu!” Katanya sambil menggawil telinga Anul, Bani, Hamim, Yadi, dan Anwar. Aku memperhatikan kelima anakku yang ditunjuk. Muka Bani, Hamim, Yadi, Anwar tampak bingung, mungkin sedang berpikir, berusaha mencerna kalimat Bu Junna. Anul sama, ia tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum janggal dan berkata pada dirinya sendiri “Ketua preman..”. Aku tahu labeling sedang bekerja Kawan, maka langsung kutimpali “Tidak Bu Junna, Anul ketua Anak Baik ya Anul ya?”. Anul melihat sebentar ke arahku sebelum kembali menonton film. Senyum janggalnya hilang, wajah Anul badboy-ku yang biasa telah kembali.
17 Juli 2013. Kami belajar Bahasa Inggris. Anak-anakku di Pulau Gili punya bahasa sendiri, Kawan. Bahasanya menurutku sulit. Sampai sekarangpun keterampilan berbahasa Gili-ku belum bisa dikategorikan pasif. Masih semi pasif lah. Jadi kau bisa bayangkan bagaimana mengajari anak-anakku ini Bahasa Inggris. Berbahasa Indonesia saja mereka belum lagi lurus. Makanya, kupikir materi pertama kami cukuplah My Body saja. Mereka perlu tahu dulu nama anggota badan sendiri dalam Bahasa Inggris.
Awalnya kuajarkan mereka lagu “My Body and My Face” lengkap dengan gerakannya. Itu lho, yang liriknya “Head shoulder knee and toes...”. Kau harus tahu Kawan, menghabiskan hampir 2 Jam Pelajaran sendiri sampai kami bisa menyanyikan lagu itu dengan (hampir) benar. Lalu untuk mengecek pemahaman mereka, aku memberikan tugas. Anak-anak kubagi menjadi lima kelompok. Kelima Ketua Preman yang disebut-sebut Bu Junna kusebar satu-satu. Kelimanya kujadikan sebagai manekin kelompok. Lalu, masing-masing kelompok kuberikan delapan lembar kertas bertuliskan nama anggota badan dalam Bahasa Inggris yang tadi kami pelajari. Semua kertas sudah kupasangi double tape. Tugas setiap kelompok adalah menempelkan kertas-kertas itu dengan benar pada tubuh salah satu anggota kelompok yang kupilih jadi manekin kelompok. Woh, mereka semua excited! Kelasku sempurna rusuh. Tapi seperti badai yang pasti berlalu, kelaskupun begitu. Semua akhirnya beres. Kelima kelompok berhasil menempelkan kertas-kertas di anggota tubuh manekin masing-masing dengan benar.
Yah seperti yang kau tahu Kawan, Anul adalah salah satu manekin kelompok. Tapi aku harus beri tahu kau bahwa hari ini dia jadi manekin yang paling manis. Ia sangat kooperatif. Di saat keempat manekin lain berlarian menghindari kejaran teman sekelompoknya, Anul malah ikut berdiskusi bersama teman sekelompok untuk memasangkan kertas-kertas dengan benar di tubuhnya. Itu tumben-tumbennya. Kau ingat kan, Anul ini sebangsa ulat bulu. Melihatnya begitu mungkin seperti mendapat malam lailatul qadar. Sebuah kesempatan teramat langka dan berharga. Maka hari itu kunobatkan Anul sebagai Bintang Anak Baik di Kelasku.
Aku pikir lagi-lagi ini soal setting, Kawan. Setting Ketua Preman atau Anak Baik. Setting yang dipilih akan berpengaruh ke dua sisi; aku dan anak-anakku. Jika kugunakan setting Ketua Preman, tingkah lakuku otomatis akan menyesuaikan. Aku akan memperlakukan anak-anakku seolah mereka memang ketua preman. Aku akan merasa tidak suka, tidak memperhatikan, bersikap dingin, atau cenderung menjauh. Nah di usianya sekarang, anak-anakku ini masuk pada tahap perkembangan dimana mereka sudah lebih sadar dengan perasaan orang lain. Mereka juga lagi banyak-banyaknya menyerap nilai dari luar untuk membangun self-concept. Jadi, anak-anak ini pasti menyadari sikap dan perlakuanku. Lalu mereka akan berusaha menemukan alasan mengapa diperlakukan seperti itu. Alasan itulah yang akan mereka internalisasi,mereka yakini dan jadikan bagian dari konsep diri.
Ingat ketika kelima anakku bermuka bingung disebut “Ketua Preman” oleh Bu Junna? Kurasa saat itu mereka sedang berusaha menemukan alasan mengapa disebut begitu. Ingat ketika Anul tersenyum janggal dan bicara sendiri “Ketua preman...”? kurasa ia sudah berada di tahap internalisasi dan meyakini dirinya memang ketua preman.
Kupikir proses yang sama akan terjadi jika kugunakan setting Anak Baik. Makanya kupilih setting yang ini saja. Jujur Kawan, kau pasti juga akan melakukan hal yang sama denganku, bukan? Kalau sudah begitu kita tinggal mencari cara yang tepat buat masing-masing anak. Mungkin Anul bisa jadi anak baik dengan mempercayakannya peran penting di kelompok. Tapi cara ini belum berhasil pada bocah-ku yang lain. Ya, pasti ada cara lain dan aku janji akan menemukannya.
Coba temukan Kawan, mana Anul Si Ulat Bulu?
Kalau kata Padi, “Kau membuatku mengerti hidup ini. Kita terlahir bagai selembar kertas putih, tinggal kulukis dengan tinta pesan damai dan terwujud harmoni.” Aku akan bilang begitu pada bocah-bocahku ini.
Replikatika, 19 Juli 2013
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda