Robin itu Jay di Men in Black

Rizki Mustika 7 September 2013

Di catatan yang lalu aku berjanji akan menceritakan Robin. Inilah dia. Mungkin Kawan ingat kalau Robin kusebut-sebut sebagai pengecualian di catatan pertama dan kubilang dia murid kesayangan dan paling sayang pada Kak Wahyu di catatan kedua. Itu akan kuceritakan satu-persatu, tapi ada lagi yang mesti Kawan dengar tentang Robin.

18 Juni 2013. Ingat ceritaku tentang malam pertama di rumah Kak Wahyu? Malam dimana anak-anak berdatangan dengan malu-malu.  Malam itu Robin telah hadir lebih dulu. Berbeda dengan yang lain, ia santai saja. Robin asik dengan pianika di pojok ruangan, melantunkan tembang BollywoodTomke Tomke Sanem” diselingi lagu “Ibu Kita Kartini”. Semua anak –kecuali Robin- duduk bergerombol di hadapanku, melihatku dengan antusias. Aku salah tingkah akut. Mencoba mengalihkan perhatian mereka, aku bertanya “Anak-anak ke sini mau baca ya?”. Gagal. Mereka mengangguk-angguk geleng-geleng tanggung, tapi sedikitpun mata mereka tak teralih. “Oh, kalau sekarang zamannya main pantun. Coba, siapa yang punya pantun?” Krik-krik. Anak-anak diam, lalu tunjuk-tunjukan satu dengan yang lain. Tiba-tiba “Saya, Bu!”. Nadanya lugas dan bersemangat. Itu suara Robin. “Kunang-kunang goyangnya bambu, Robin senang sayang ayah sama ibu.” Haha, itulah Robin. Dia berani, cepat sekali nyambung, dan satu-satunya anak yang tidak membuatku salting.

23 Juni 2013. Ini hari kepindahanku dari rumah Kak Wahyu. Di jalan menuju rumahku, Kak Wahyu bercerita lagi tentang Robin. Entah sudah keberapa kalinya, terhitung sejak aku masih camp di Purwakarta (lewat telfon), selama sesi transisi di Gresik, sampai ketika sudah di Gili. Jelas sekali kalau ia jatuh cinta pada Robin.

Ini cerita yang paling sering diulang, tapi aku tak pernah bosan. “Saya lagi sakit itu.” Dengan aksen khasnya Kak Wahyu mulai bercerita. “Tidak bisa kemana-mana kan. Saya di kamar aja. Terus datang Robin. Dia tanya “Bapak, sampean katanya sakit ya, Pak?” Saya jawab “Tidak” kan. Robin diam aja. Lama itu. Lalu dia bilang “Pak nanti kita nyolo* ya Pak?!” Ya saya jawab, “Iya, kalau sehat.” Terus Robin bilang “Iya kan, Bapak sakit!”. Berarti kan dia mikir itu.” Ya, aku setuju sepenuhnya. Itulah Robin. Otaknya jalan. Ia tahu bahwa sesuatu sedang ditutupi-tutupi dan dia bisa cari jalan untuk menemukan informasi yang ia inginkan.   

27 Juni 2013. Aku bertiga Ainun dan Robin membaca-baca buku di ruang tengah. Robin memilih bukunya, berjudul Asyik Menempel Angkasa Luar. Belum lagi buku itu dibuka, tiba-tiba Robin berkata “Bu, dulu bintang jatuh dari langit, terus sekarang Bu, wahyu turun membawa rizki ke Gili.” Aku spontan tertawa. Bukan karena kalimat itu lucu, tapi aku tertawa kagum. Pantas Kak Wahyu jatuh cinta. Aku bisa bilang bahwa sekarang, aku pun jatuh cinta.   

Kalimat itu mungkin biasa buatmu, Kawan. Jadi biar kutulis kalimatnya begini, “Bu, dulu Wintang jatuh dari langit, terus sekarang Bu, Wahyu turun membawa Rizki ke Gili.” Wintang-Wahyu-Rizki adalah nama kami, Pengajar Muda yang ditempatkan di Pulau Gili. Jujur, aku sendiri -dan mungkin Kawan juga sama sepertiku- tidak melihat kesamaan atau kemiripan dalam bentuk apapun dari ketiga nama itu. Tapi Robin melihatnya. Kemudian dia mengategorisasi, memberikan konteks, sekaligus melakukan improvisasi (mem­-pleset­-kan w jadi b pada nama Wintang). Konteks yang dipilihkan Robin pun tidak sembarangan. Ia melibatkan urutan. Kak Wintang adalah PM pertama penempatan Gili , lalu kedua Kak Wahyu, dan aku yang ketiga. Urutan ini yang membuat pendengar jadi lebih mudah menangkap maksudnya. Ainun yang waktu itu bersama kami juga langsung tertawa, mengerti maksud Robin.

6 Juli 2013. Aku ke darat (istilah untuk berlayar dari Pulau Gili ke Pulau Bawean), hendak mengisi kegiatan MOS di sebuah SMP swasta di kecamatan Tambak. Ternyata hari itu Robin juga akan ke Sangkapura dengan pamannya. Maka aku dan Robin se-klotok. Aku ajak Robin duduk di tengah, bagian klotok yang berundak, lebih tinggi dari bagian lain. Ini tempat favoritku. Jika duduk di bagian ini kau akan leluasa memandang kemana-mana, Kawan. Tidak terhalang apa-apa.

Jauh di Utara, aku melihat sebuah perahu. Bentuk dan warna layarnya unik; oval memanjang dan biru toska. Aku tanya Robin,

“Itu apa, Bin?”

“Sama dengan kapal ini Bu, tapi pakai layar Bu!” Robin menjelaskan.

Aku mau dengar pemahamannya, maka aku tanya lagi “Layar? Supaya apa, Bin?”

“Supaya cepat, Bu!” nadanya lugas dan bersemangat, seperti biasa.

“Oo yayaya” kataku refleks.

Robin tertawa, “Nanti Ibu disuruh pulang, Bu!”

“Ha??” Aku excited, penasaran apa yang akan dikatakan Robin selanjutnya. Aku yakin dia pasti sedang memikirkan sesuatu yang tidak terpikirkan.

“Iya Bu! Habis ibu bilangnya Oo yayayaya, bukan Oo iyaiyaiya.”

“Hahaha” puas dan lepas tawaku. “Iya ya, Ibu harusnya bilang Oo iyaiyaiya, biar Kak Yaya tidak marah dan suruh Ibu pulang.”

Tawaku puas karena anak ini benar luar biasa. Aku tidak salah jatuh cinta padanya. Tawaku lepas karena benar dugaanku tadi. Robin lagi-lagi sedang memikirkan sesuatu yang tidak terpikirkan. Jadi Kawan, Yaya adalah nama kakak angkatku. Aku tinggal di rumahnya selama masa penugasan. Ia biasa dipanggil Kak Yaya. Begitu aku menyebut “Oo yayaya” Robin langsung mengasosiasikannya dengan Kak Yaya. Robin secara otomatis  menemukan hubungan dari premis jika “aku berani menyebut nama Yaya tanpa menggunakan kata sapaan Kak”, maka “Kak Yaya akan marah”. Lalu sampai pada kesimpulan “aku bisa-bisa diusir”.

Aku jadi teringat mata kuliahku di semester enam; KAUP. Kepanjangannya memang bukan Kutukan Allah Untuk Psikologi, tapi percayalah Kawan sesungguhnya KAUP begitu. Ah, mari lupakan masa kelam perkuliahan. Jadi pada mata kuliah ini, aku dan kelompok mengonstruksi sebuah alat untuk mengukur inductive reasoning seseorang. Menurut Klauer (1989) inductive reasoning ini adalah “the systematic and analytic comparison of objects aimed at discovering regularity in apparent chaos and irregularity in apparent order.” Hei, jangan tanyakan padaku apa maksudnya kalimat barusan! Kalau kualihbahasakan dengan kemampuan berbahasa Inggrisku yang payah kira-kira begini “perbandingan yang sistematis dan analitis untuk menemukan keteraturan dalam suatu kekacauan dan kekacauan dalam suatu (yang tampaknya) keteraturan. Intinya, ini proses penalaran mulai dari menemukan atribut-atribut yang melekat pada suatu elemen, membandingkannya, mencari hubungan antar elemen berdasarkan atribut-atribut itu, dan melakukan generalisasi atau diskriminasi dari hubungannya. Yah, Otakku yang minimalis menyederhanakannya jadi semacam bakat detektif gitu lah.

Alat ukur ini kami buat untuk polisi reskrim yang memang tugasnya menyelidik dan menyidik kasus. Jika Robin kami berikan alat ukur ini untuk dikerjakan, aku yakin score-nya akan berada di atas rata-rata. Lebih dari itu, aku menduga Robin punya tombol automaticly switch di working memory-nya. Makanya Robin bisa beralih dengan cepat dari pikiran yang satu ke pikirannya yang lain, seolah kognisinya bekerja paralel. Sungguh melihat Robin seperti melihat Jay dalam film Men in Black.

 

*nyolo adalah kegiatan turun ke pantai di malam hari untuk menangkap, kepiting, kerang, atau hasil laut lain dengan tangan kosong. Kegiatan ini biasanya dilakukan anak-anak lelaki.

 

Betapa anak-anak itu selalu saja menarik ya, Kawan.

Replikatika, 11 Juli 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua