Satu itu Kosong, Kosong itu Isi

Rizki Mustika 7 September 2013

26 Juni 2013. Aku ditinggalkan Kak Wahyu (Pengajar Muda angkatan IV). Tugasnya telah purna. Saatnya ia pergi dan melanjutkan roadmap pengembangan dirinya. Mulai beberapa hari lalu rasanya ada yang hilang. Lalu hari ini, rasanya kosong.

Aku mengantarnya ke dermaga. Sama seperti berpuluh-puluh murid dan warga yang juga ikut mengantar, aku menangis. Teman-teman (PM seangkatan VI dan sepenampatan) yang sudah berkumpul sejak tadi, melihatku. Mereka berteriak riang gembira memanggil-manggil. Aku tidak memenuhi panggilan mereka, hanya membatin “Hei! Tolong ya, ini bukan waktunya reunian!” Seorang teman mendatangi dan bertanya “Tik, are you sick?” Aku menjawab pertanyaannya dalam hati  “ Argh.. Pertanyaan macam apa itu?!”, lalu pergi. Gantian, temanku yang lain mendekati, menepuk-nepuk pundakku sok pengertian dan bilang “Udah Tik, udah..” Aku tak terima, tetapi hanya memakinya dalam hati “Heh! Aku yang paling tau kapan aku butuh nangis dan kapan aku mau berhenti!”. Tidak cukup sampai di situ, temanku yang tadi bertanya apakah aku sakit datang lagi. Dengan sok pahlawannya dia bilang “You are not alone..” Ya Tuhan, kali ini aku benar-benar tidak bisa mendeskripsikan betapa kesalnya aku. Rasanya ingin mengikatkan kakinya ke jangkar kapal Ekspress Bahari dan melemparnya ke palung Laut Jawa.

Teman-temanku ini sungguh tidak paham. Sedihku sama sekali bukan karena merasa sendiri di tempat asing. Bukan. Setelah hampir seminggu aku di penempatan, aku punya banyak anak yang lucu-lucu dan perhatian. Aku sudah berkeliling desa dan bertemu warga. Mereka semua ramah dan baik. Aku bisa katakan bahwa di sini aku punya keluarga baru. Sedihku karena selama hampir dua minggu (4 hari di Gresik, 2 hari di Bawean, dan 6 hari di pulau kecil kami Gili) Kak Wahyu ini sudah seperti kakakku sendiri. Terlepas dari segala “pembunuhan karakter” yang dilakukannya,  Kak Wahyu orang yang menyenangkan. Ia melindungi dan mengayomi. Kakakku ini harus pergi ke Jakarta untuk OPP (Orientasi Pasca Penugasan). Setelah itu, ia akan kembali ke kota asalnya. Mamuju yang jauh. Jadi ini benar-benar adalah perpisahan. Kami sama sekali tidak tahu bisa bertemu lagi kapan.

Dari dermaga aku ikut rombongan pulang ke Gili. Aku membonceng  sepeda (sebutan untuk sepeda motor) pada Bu Hekmah. Sampai di labuan desa Pamona, anak Bu Hekmah bernama Robin mengajariku sesuatu. Begini. Robin –menurutku- adalah murid kesayangan dan paling sayang pada Kak Wahyu. Aku rasa dialah orang yang paling sedih atas berpulangnya Kak Wahyu. Di dermaga tadi ia yang menangis paling maksimal. Tetapi ketika sampai di Pamona dia sudah tertawa-tawa lepas bersama anak lain. Aku yakin Robin akan menangis lagi jika ia diingatkan bahwa Pak Wahyu-nya sudah pergi. Hanya saja Robin lupa- atau sengaja lupa. Maksudku, Robin sebenarnya punya satu alasan yang kuat untuk merasa  sedih. Ketika ia lupa atau melupakannya, ada begitu banyak hal menyenangkan di sekelilingnya yang segera mengisi hatinya dan membuatnya bahagia. Ya, satu itu kosong, kosong itu isi.

Aku sepenuhnya menyadari itu. Bakat transendensi menunjukkan nilai pembelajarannya dengan nyata. Tetapi ego menahanku untuk segera belajar. Seharian itu aku masih berfokus pada yang satu. Makanya aku kosong. Lelah sekali rasanya. Seharian aku tidak keluar kamar. Aku baru keluar selepas Maghrib. Aku pikir aku mesti seperti Robin. Dan apa yang terjadi? Hal menyenangkan datang saat itu juga; Murti dan suratnya (ini yang kuceritakan dalam catatanku kemarin, Kawan).

27 Juni 2013. Aku –berusaha- kembali ke jalan yang benar. Aku –berusaha- melupakan. Maka hari itu terjadi banyak hal menyenangkan. Siangnya, aku bersama anak-anak berkeliling dusun, mengunjungi keluarga Murti (memenuhi permintaan di suratnya), menjenguk anak-anak yang jatuh sakit (korban Pak Wahyu), dan main ke hostfam  kedua PM terdahulu (rumahnya Ina, Syakur, juga rumahnya Buang). Sorenya, santap rujak jeruk bali dan main ayunan gila di rumah keluarga Kak Wahyu. Malamnya, makan kepiting rebus hasil nyolo anak-anak lalake, menyiapkan tempat tidur buat anak-anakku yang menginap, meminta mereka sholat Isya dulu sebelum tidur, dan akhirnya menyaksikan mereka tertidur pulas. Itu semua menyenangkan.  Aku terisi penuh kebahagiaan.

Menariknya, sekarang aku bahkan bisa melihat hal yang sebelumnya kuanggap menyebalkan sebagai hal yang menyenangkan. Seperti kejadian di dermaga, ketika teman-temanku berdatangan mengerecoki. Kalau diingat-ingat mereka manis sekali. Semua perlakuan mereka adalah bentuk perhatian kepadaku. Alih-alih berniat jahat mengikatkan mereka ke jangkar kapal dan melempar mereka ke palung Laut Jawa, aku seharusnya berterimakasih. Oh, betapa aku ini teman yang durhakaaa *jeduk-jedukin kepala ke klotok sambil tobat T.T*

Ini semua soal men-setting diri, Kawan. Setting satu atau kosong. Ini tentang memasang setting tertentu di waktu tertentu, sesuai situasi dan kondisi. Setting apa di situasi dan kondisi yang bagaimana? Kita sendiri yang paling tahu. Bukankah setiap manusia diciptakan untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Ya, ini latihan jadi pemimpin buat diri sendiri.

 

 

Aku di Pulau Gili. Sedang belajar kosong untuk menjadi isi.

Replikatika, 03 Juli 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua