info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Murti Si Calon Psikolog

Rizki Mustika 7 September 2013

19 Juni 2013. Setelah hampir seharian berkeliling Bawean mengantar kelima temanku ke desanya masing-masing, aku dan Kak Wahyu (Pengajar Muda angkatan IV) melanjutkan perjalanan menyeberang menuju Pulau Gili. Pulau Gili berada di sebelah Timur Pulau Bawean. Membutuhkan waktu berkisar 30-45 menit untuk mengarung laut dari labuan desa Pamona (masih di Pulau Bawean) ke Pulau Gili. Perjalanan ini kami tempuh menggunakan klotok (perahu kecil dengan mesin penggerak yang berbunyi “klotok klotok klotok”). Sebuah pulau kecil, indah, dan padat penduduk. Hari itu kali pertamaku menapak di Gili. Sejenak sebelum Maghrib kami sampai di rumah hostfam (keluarga angkat) Kak Wahyu.

Menjelang  Isya, rumah sudah dipenuhi anak-anak. Aku pikir memang setiap hari seperti ini, tapi ternyata tidak. Kak Wahyu telah menyebar gosip kedatanganku. Khas Pulau Gili, informasi sekecil apapun cepat sekali menyebar. Alhasil anak-anak ini berbondong-bondong datang untuk melihatku. Ya, arti kata melihat itu harfiah Kawan. Sepersekian detik aku sempat berpikir jangan-jangan aku ini titisan rusa Bawean, lantaran melihat antusiasme mereka melihatku.

Anak-anak ini semua ramah, sangat terbuka, tetapi juga pemalu (kecuali seorang anak lelaki bernama Robin, di catatan berikutnya akan kuceritakan tentang dia). Hari kedua sama saja. Anak-anak yang datang ramah namun pemalu. Lalu di hari ketiga ada yang berbeda. Sehabis Zuhur datang seorang anak perempuan, cantik, membawa netbook. Saya ingat, “Oh anak ini adalah anak Ibu yang kemarin sore, ketika kami berkeliling desa (untuk silaturrahmi) sedang menjemur teripang.” Saya ingat Kak Wahyu menyebut-nyebut “leptop”, “rusak”, dan “bawa saja ke rumah”. Ini bukan tentang Bidang Tugas PM yang merambah dunia service-menyervice. Tetapi tentang anak perempuan yang masih kelas 3 SD ini. Ia berbeda. Ia tidak pemalu, bukan tidak ramah, tapi menjaga jarak.  Di kali pertamaku bertemu, aku bisa bilang dia berkelas.   

Aku ajak dia berkenalan, namanya Murti. Kuajak mengobrol, ia tersenyum. Manis sekali. Pertanyaan-pertanyaanku tidak dijawabnya dengan serius tapi candaan. Semi gombalan malah. Sekilas saja Murti di rumah, lalu pergi setelah menyerahkan netbook-nya pada Kak Wahyu. Pertemuan yang sangat singkat. Hari-hari berikutnya aku dan Kak Wahyu sering sekali bermain bersama anak-anak. Namun, dengan Murti aku tidak pernah berinteraksi.

26 Juni 2013. Setelah pagi ini bersama dengan sebagian besar warga pulau mengantar Kak Wahyu ke dermaga, aku kembali ke rumah-hostfam-ku. Lelah sekali rasanya. Maka sepulangnya aku hanya di kamar, beristirahat. Tidak seperti biasanya, dari siang sampai sore hari pintu kamar kututup. Sehabis Maghrib aku mendapat kejutan. Murti datang. Dia rapi sekali. Menggunakan baju kurung lengkap dengan jilbabnya. Aku kira ia dari atau akan ke suatu tempat, jadi kutanya “Kama’a be’na , Murti?” dan Murti menjawab “Mau ke sini, Bu. Mau lihat Ibu.” Glek, aku menelan ludah, salah tingkah. Cukup lama ia di rumah, menemaniku mengedit timeline-ku. Murti kubiarkan menulis-nulis di binderku.   

Sebelum jam 9 malam, Murti pamit pulang. Sambil senyum-senyum ia bilang, “Bu, ada surat Bu. Dibaca ya, Bu.” Aku kaget. Kutanya “Dimana, Murti?” Dia menunjukkan lembar yang telah ditulisinya penuh di binderku. Sini kuketikkan suratnya kata-perkata agar kau bisa melihat bakat psikolognya, Kawan.

“ Dari Murti Untuk Ibu Tika, guruku yang cantik

Assalamualaikum, Bu

Sekarang Ibu kesepian ya, Bu? Kalau Ibu kesepian ada aku Bu yang ingin menemani Ibu yang cantik dan baik hati. Jangan kuatir ya. Meski Pak Wahyu tidak ada, tapi ada aku Bu.

Ibu kalau ada waktu, main-main lah ke rumahku ya. Aku mau perkenalkan dengan keluargaku. Keluargaku baik-baik, lho. Aku senang bisa punya guru seperti Ibu Tika yang baik hati dan ramah.

Orang mau tau dengan sifat Ibu. Makanya main-main. Jangan terus kurung di rumah. Kalau orang lihat Ibu, pasti senang. Kalau gak percaya, coba aja Bu.Orang senang lihat karena ibu suka tersenyum, suka sapa orang. Meski aku belum kenal Ibu, aku yakin Ibu orangnya baik.

Tetap semangat Bu, ada aku yang ingin menggantikan Pak Wahyu.”

Hmm, dugaannya kebanyakan salah. Tentang kesepian itu, apalagi tentang cantik, baik hati, dan ramah itu. Tapi cobalah lihat, Kawan. Betapa anak ini punya radar yang kuat untuk menangkap issue kemanusiaan. Ia juga memaknainya mendalam. Matanya menangkap perubahan telah terjadi padaku. Ia mendefinisikan perubahan itu sebagai akibat dari kesepian. Ia mencoba mengerti, ia menghiburku, dan berusaha membantu. Ia tidak akan bisa begitu jika tidak melihat dan memaknai fenomena perpisahan menggunakan sudut pandangku. Untuk seumurnya, Murti menurutku  ahli berempati. Di Fakultas Psikologi, empat tahun aku secara formal belajar memahami tingkah laku manusia. Sejauh ini aku setuju kuncinya adalah empati.

 

Aku telah menemukan satu calon psikolog di Gili. Entah nanti apalagi.

Replikatika, 30 Juni 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua