info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Kucing Binti Paene

Maharsi Wahyu Kinasih 7 September 2013

Serambah di masa pergantian musim adalah Serambah yang berangin kencang. Hujan dan panas datang silih berganti, langsung membuat ambruk siapapun yang tidak menjaga kesehatannya. Hari pertama masuk sekolah di Serambah bertepatan dengan bulan ramadhan, kurang lebih tiga minggu setelah saya menapakkan kaki di bumi Bawean. Di bulan ramadhan, anak-anak masuk lebih siang dan pulang lebih awal dari hari biasanya. Jam istirahat yang agak panjang membuat hari itu banyak waktu kosong yang saya manfaatkan untuk melakukan pendekatan kepada anak-anak.

Saat itu saya tengah menemani siswa kelas 3 dan 4 menggambar di kelas ketika terjadi keributan di depan halaman sekolah. Beberapa siswa berdiri mengerumuni sesuatu sambil berteriak, "Woo.. Pingsan, pingsan!"

"Ibu, ada anak kucing pingsan dilempar Paene!" seorang anak lelaki kelas 2 setengah berlari menghampiri saya. Paene adalah nama siswa kelas 2 SD berbadan mungil dengan senyum tanggung yang khas. Anak kelas rendah nampaknya memang cenderung lebih sulit diatur dan sering berulah di sekolah. Baru dua hari saja saya sudah menghadapi anak-anak yang bertengkar, menangis, atau mencari perhatian dengan bertingkah berlebihan di kelas, tapi yang satu ini membuat saya garuk-garuk kepala.

"Pingsan?" tanya saya heran. Baru kali ini saya mendengar ada kucing bisa pingsan karena dilempar.

"Iya Bu, tadi dilempar Paene dari sini ke sana..." siswa-siswa saya sibuk membuat reka kejadian ulang dengan menunjukkan jarak lempar jauh yang dilakukan Paene.

Saat itu semua guru tengah duduk-duduk di depan teras sekolah tetapi tak satupun menggubris keributan yang dilakukan oleh para siswa. Segera saya dekati kerumunan dan melihat seekor anak kucing tergeletak lemas di atas rerumputan. Anak-anak menyenggol-nyenggol tubuhnya agar bergerak, memegangi tangan dan kakinya, dan makin lama mereka makin beringas membangunkan si kucing. Akhirnya saya suruh salah satu anak membawanya ke pinggir.

Anak kucing itu benar-benar nampak lemas seperti sudah mati. Kelopak matanya terbuka dan lidahnya menjulur keluar. Duh... Saya hampir menangis melihatnya. Meskipun tak suka kucing, saya tidak pernah tega melihat makhluk hidup meregang nyawa. Berlagak seperti dokter, saya memeriksa napas dan denyut nadi si anak kucing. Nihil. Nampaknya makhluk malang ini memang belum bisa mempertahankan diri ketika dilempar seperti layaknya kucing dewasa yang bisa langsung berdiri tegak di atas kaki-kakinya.

"Paene di mana?" tanya saya perlahan. Paene muncul dari kerumunan dengan raut muka kebingungan, ia nampak merasa bersalah. Saya tersenyum melihat Paene yang ketakutan.

"Paene, dan kalian semua, kucing itu juga makhluk hidup lho. Kita harus berbuat baik pada sesama makhluk hidup, mereka tidak boleh kita sakiti. Anak kucing ini pasti sedih sekali tadi dilempar sama Paene. Oh iya kalian tahu tidak? Kucing itu hewan yang disukai Rasulullah, jadi harus disayangi," saya berceramah singkat di depan Paene dan para siswa yang berkumpul di halaman sekolah. Saat itu hampir semua siswa ingin melihat anak-kucing-yang-mati-dilempar-Paene.

Paene mengangguk sedih. Ia terlihat sangat menyesal sudah melakukan perbuatan yang tidak baik. Saya pun merangkulnya dan mengajaknya berdoa untuk si anak kucing. Akhirnya Pak Jamsuri, salah satu guru, datang tergopoh-gopoh membawa sebuah cangkul. "Ibu, ayo kita kuburkan kucingnya!"

Anak-anak saya seakan mendapatkan permainan baru. Mungkin terpancing oleh Pak Jamsuri yang mulai membuat lubang galian, mereka meributkan bahwa si kucing harus dibuatkan ritual. "Bu, e ba'aken tahlilan Bu?" 

Saya hanya tersenyum sambil geleng-geleng heran. "Iya, ayo kita buat biar si kucing tidak sedih lagi."

Mereka langsung membagi tugas tanpa diminta. Dua orang anak membuatkan tandu untuk si kucing dari kayu dan ranting, beberapa lainnya mencarikan tanah yang cocok dicarikan kuburan, ada pula yang bertugas mencari batu dan bunga tabur, sisanya berlagak seperti para peziarah kubur.

"Saudara-saudara, marilah pagi ini kita doakan arwah kucing binti Paene..." Hafiz, siswa kelas 5 yang suka berpidato, mengambil peran sebagai MC.

Sembari Hafiz terus berceloteh layaknya pada acara pemakaman manusia, anak-anak bergotong royong membuatkan kuburan untuk anak kucing tersebut. Sebenarnya saya waswas apakah anak kucing ini benar-benar sudah mati atau masih hidup. Tetapi Pak Jamsuri juga yakin bahwa anak kucing sudah tidak berdetak lagi jantungnya sehingga kami langsung menguburkannya saat itu juga.

"Kepada seluruh warga Dusun Serambah, mulai nanti malam hingga malam ketujuh akan dilakukan tahlilan untuk arwah kucing binti Paene di rumah Paene di hilir..." Hafiz masih terus beraksi. Kami tergelak mendengar Hafiz memberi nama kucing dengan embel-embel 'binti Paene' dan berencana membuatkan tahlilan di rumah Paene. Sementara Paene sendiri seperti kerabat yang kehilangan, ia menunggu dengan cemas di dekat kuburan si kucing.

Selesai menguburkan si kucing, anak-anak menaburinya dengan bunga, memberinya nisan batu, dan kami pun berdoa bersama-sama agar arwah kucing dapat tenang di sana. Hari ini, anak-anak saya telah belajar satu hal baru: menyayangi sesama makhluk hidup. Nampak pula mereka sangat memperhatikan tradisi yang biasa dilakukan para orangtua di desanya, yaitu dengan membuat tahlilan. Tapi untuk kucing binti Paene? Saya masih saja tersenyum saat mengingat kejadian tersebut.


Cerita Lainnya

Lihat Semua