Mitos Itu Masih Berlaku

Rizki Mustika 7 September 2013

16 Juli 2013. Waktu itu masih Bulan Ramadhan. Sahur ketujuhku di Pulau Gili. Aku bangun lebih awal. Pukul 02.30 WIB, aku tak mau tidur lagi. Ingin langsung menyiapkan makan sahur tapi tak bisa, Kawan. Dapur keluargaku adanya di rumah sebelah. Rumah sebelah itu milik hostfam-ku juga, tapi cuma Ibu yang tidur di sana. Pintu dapur itu masih terkunci, tanda Ibu masih tidur.

Seperti biasa, seharian kemarin anak-anak di rumah. Membaca buku atau sekadar membuka-bukanya, lalu tidak menaruh kembali di tempatnya. Malamnya Syarip, Robin, dan Anto di rumah hingga larut. Makan ikan-ikan hasil mancing mereka yang kugorengkan, kemudian meninggalkan sisanya tanpa dibereskan. Rumah berantakan. Kemarin juga, setelah selesai dengan RPP (Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran) aku membuat Lembar Tugas IPA untuk anak-anakku sampai larut. Ya kawan, membuat dan bukan mengetik lalu menge-print. Maknanya literal, aku menulis, menggambari, dan mewarnai Lembar Tugas IPA itu dengan tangan. Kalau kau tanya bagaimana rasanya, sungguh seru tak ada obat Kawan! Makanya aku baru ngeh pada keberantakan itu di detik-detik terakhir sebelum tewas.

Mungkin keberantakan ini yang jadi semacam alarm otomatis, membangunkanku sebelum waktu yang biasanya. Maka daripada digantung si pintu dapur yang entah kapan bukanya, aku beberes saja dulu. Lalu seluruh rumah kusapu. Hampir saja selesai, ketika tiba-tiba terdengar teriakan Ibu.

“Bu*! Bu! Jangan Bu! Jangan Bu!” Ibu panik. Seruannya jadi lebih mirip teriakan.

“Ho?” Aku terbengong-bengong. Aku diteriaki seolah-olah aku sedang merebus bayi untuk hidangan makan sahur.

“Jangan Bu! Sini saja! Sini saja! Masih maaalam ini Bu!” Ibu semakin nggak santai, menunjuk-nunjuk sudut pintu. 

Aku paham. Alih-alih ke luar pintu, aku segera mengarahkan sapuan ke sudut pintu. Jadi di Gili mitos tentang menyapu di malam hari itu masih berlaku, Kawan. Waktu kecil, selain sering diceritakan dongeng, aku juga dikenalkan ibu dan ayahku pada mitos. Maksudku ibu dan ayah kandung ya, bukan hostfam. Nah aku ingat, mitos ini diperkenalkan oleh ibuku, di malam hari ketika ia sedang menyapu. “Kalau zaman dulu, kita tidak boleh menyapu di malam hari. Orang-orang dulu percaya kalau semua rizki akan ikut tersapu keluar”, kata Ibu. Ibu lalu berhenti menyapu dan menatapku, “Tika, rizki itu Tuhan yang punya. Tuhan sudah menentukan bagian masing-masing manusia sesuai dengan usahanya. Jadi, menyapu pagi, siang, ataupun malam tidak masalah. Kan kalau sering menyapu, rumah jadi bersih, kita jadi senang.”

Lima tahun lalu, karena sedang beruntung, aku diterima sebuah perguruan tinggi pada sebuah jurusan yang menyediakan mata kuliah Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial, dan Psikologi Pendidikan Keluarga. Maka aku paham apa yang dulu dilakukan Ibuku. Ibu sedang mendidik anak perempuannya. Meski tak bersekolah tinggi, Ibu sepertinya tahu bahwa ketika itu aku sedang banyak-banyaknya menyerap nilai dari interaksi dengan orang terdekat. Ibu juga sepertinya paham bahwa kognisiku baru bisa mencerna operasional yang konkret. Makanya Ibu menggunakan cara tadi.

Orang tua adalah orang terdekat. Kalau kata Bronfenbrenner, ibu dan ayah berada di lapisan microsystem seorang anak. Mungkin ibu dan ayahku paham tentang ini. Jadi segala internalisasi nilai mereka yang lakukan. Internalisasi itu dilakukan ibu ayahku dengan cara yang konkret. Ya Kawan, melalui mitos. Mitos itu hasil karya simbolik pertama manusia. Dasarnya adalah simpati pada alam semesta dan manusia. Topik mitos selalu dekat, selalu berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan sehari-hari. Makanya mudah untuk menggunakan mitos sebagai media internalisasi nilai ke anak.

Melalui nilai yang terinternalisasi itu seorang anak mengembangkan sikapnya (Rokeach, 1973). Ohya, sikap itu penilaian seseorang terhadap suatu konsep. Sikapku terhadap konsep kebersihan mungkin dikembangkan dari nilai yang diinternalisasi ibu lewat mitos tadi. Sumpah Kawan! Aku tak bermaksud melamar kerja, tapi aku bisa bilang kegiatan bersih-bersih kamar, rumah, dan halaman sudah jadi hobiku. Keberantakan saja bisa jadi semacam alarm yang otomatis membangunkan lebih awal untuk beberes sebelum sahur.Tuh, mitos banyak gunanya ternyata.

Inilah dia bedanya aku dengan Ibu hostfam-ku. Orang tua kami menggunakan mitos dengan cara yang berbeda. Orang tuaku menggunakannya untuk mendidik anak, menjadikannya media internalisasi nilai. Orang tua Ibu hostfam-ku tidak. Mitos mereka turunkan tok sebagai doktrin. Bulat-bulat mesti ditelan, tanpa filtrasi sama sekali.

 

*Ibu-hostfam-ku memanggilku dengan sapaan Bu. Itu singkatan dari Bu Guru.

 

 

Dari Ibu dan Ayah kita bisa lihat contohnya, dari kampus kita bisa belajar teorinya, dengan jadi guru kita bisa praktekan caranya. Tidakkah ini seperti belajar menjadi orang tua?

Replikatika, 18 Agustus 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua