Gara-Gara Kutunya Hamim

Rizki Mustika 7 September 2013

Aku sepakat bahwa anak-anak belajar lebih cepat daripada orang dewasa. Sudah kulihat sendiri Kawan, mereka bisa mengelaborasi lebih luas dan mengimprovisasi dengan lebih kaya. Mungkin dari sinilah datangnya pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Tapi jujur, aku masih bertanya-tanya kenapa kata kerja “kencing” yang digunakan. Oh, entahlah.

19 Agustus 2013. Ini hari pertama kembali ke sekolah setelah liburan lebaran. Seperti hari-hari sekolah yang biasa, paginya pasti hanya ada aku dan Pak Bul. Jangan tanya mana guru-guru yang lain atau kepala sekolahnya, Kawan. Alkisah mereka sibuk dengan urusan rumah tangga. Tapi entah urusan rumah tangga macam apa yang tak kelar dikerjakan dari sebelum subuh sampai 07.30 waktu setempat. Kalau kata Pak Bul “Ya, inilah sekolah kita, Bu. Gurunya tak pernah cukup.” Terhitung aku, guru SDN 4 Sidogedungbatu ada sepuluh orang. Jumlah yang cukup untuk enam kelas, sebenarnya. Tapi setiap hari kami selalu saja kekurangan guru. Guru-guru di sini penganut fanatik aliran gabut-isme. Terlambat datang ke sekolah dan memulangkan siswa lebih cepat sudah jadi ritualnya. Menginisiasi liburan lokal dan memperpanjang masa libur resmi jadi ibadah wajibnya. Tidak hadir tanpa kabar atau hadir tapi tak mengajar sudah macam naik haji saja, hampir semua guru berlomba-lomba menunaikannya.    

Ya, itulah mengapa hari ini hanya tiga orang guru yang hadir. Jadinya kami masing-masing mesti mengajar rangkap di dua kelas. Ini bukan kelas rangkap biasa. Keduanya tidak digabung dalam satu ruangan. Siswanya juga tidak seperti anak kucing yang paling banyak berjumlah belasan. Ini dua kelas yang terpisah lapangan sekolah berkisar 20 meter panjangnya. Ini dua kelas yang siswanya berjumlah normal, 20-30 anak perkelas.

Mengajar rangkap itu dampaknya sistemik, Kawan. Jadwalku untuk anak-anakku sendiri di kelas III jadi kacau. Untuk pelajaran IPA, aku harusnya sudah menyampaikan pengelompokkan hewan berdasarkan makanan dan jumlah kakinya. Tapi hanya pengelompokkan hewan berdasarkan makanannya saja yang berhasil tersampaikan. Maka kualokasikan les hari ini untuk mengejar ketinggalan. Setelah menobatkan Bintang Anak Baik dan Bintang Anak Berani kuumumkan ada anak-anak,

“Selamat pagi anak-anak!” meski sudah tak pagi lagi tetap anak-anak kusapa begini. Ini semacam signal di kelas. Sudah kubiasakan sejak perjumpaan pertama kami.

“Seelamat paagi cikgu!”  meski aku bukan Ibu Guru yang di Upin Ipin, anak-anak harus menjawab begini. Harus pula dengan berteriak, dalam keadaan duduk rapi, dan kepala bergoyang kanan dan kiri. Menurutmu konyol ya, Kawan? Oh ayolah, kau pikir apalagi yang bisa kutularkan selain kekonyolan? Dan beruntungnya, ini efektif. Dalam keadaan seliar apapun, anak-anakku langsung bisa terkendali.

“Anak-anak... Jhela mare ashar kita ales,  e bengkona Pak Wahyu ye.. Ekibhe buku i pi a-na ye?!.” Selain mengajar di sekolah, PM biasa mengadakan belajar tambahan. Sesekali les kuadakan di rumah PM terdahulu.

Ebhu! Ebhu! E bengkona Pak Wahyu, Bhu?” Hamim, Yadi, Nami, Maniri, Fikri, Anwar, Fuat, Madan, Nuril, berteriak. Kuduga karena mereka teringat nostalgia di rumah Pak Gurunya.

Iye. Ebhu lekhu disan datang madrasah, ye. Yang mengaji sore, ngaji kheluk. Tak ole tak madrasah. Tak ole tak ngaji.

Ekibhe buku i pi a, Bhu?” Masih Hamim, Nami, Fikri, Fuat, Madan, Nuril, Anwar, Maniri yang teriak. Dugaanku gugur. Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kisah nostalgia bersama Kak Wahyu, mereka senang saja mengonfirmasi. Lagi dan lagi.

Pukul 14.00 aku sudah stand by. Duduk di ayunan halaman depan rumah Kak Wahyu, menunggu anak-anakku. Sebuah Animal Encyclopedia sudah kutaruh di dalam. Sebuah Papan tulis portable sudah kupasang. Oh maaf bukan papan, maksudku selembar poster ukuran 1x2 meter yang bagian belakangnya bisa ditulisi spidol dan bisa dihapus lagi. Seperti papan tulis saja, yang enteng dan mudah di bawa ke mana-mana.

Pukul 15.00 anak-anak berdatangan. Umpanku kena. Sebagian besar langsung melihat-lihat ensiklopedi hewan yang tadi kutaruh di dalam. Kujelaskan apa yang mereka lihat, kujawab apa yang mereka tanya, terus kukait-kaitkan dengan materi sebelumnya. Lumayan, buat review.

Tak lama, sudah ada 19 (dari total 23) anak Kelas III, dan 2-3 anak kelas IV dan V. Ini jumlah peserta les terbanyak, bukti rumah Kak Wahyu masih jadi tempat favorit anak-anak. Muncul beberapa batang hidung baru. Salah satunya kepunyaan Hamim. Kalau Kawan baca Badboyku, Bintang Anak Baik di Kelasku, Hamim termasuk anak yang dicap Bu Junna sebagai Ketua Preman. Hobinya mancing. Tak peduli betapapun panas garang matahari ia tetap setia pada seutas benang pancing, umpan, dan piggiran pantai. Kurasa inilah mengapa Hamin tak pernah datang sebelumnya.

Belajar tambahan kumulai. Materinya, yang tadi tertinggal; penggolongan hewan berdasarkan jumlah kakinya. Pertama, hewan berkaki dua. Kuminta mereka menuliskan 5 contoh. Tak ada masalah. Selain Ayam dan Itik yang memang tersedia di Gili, mereka sudah bisa menuliskan Flaminggo, Kiwi, Burung Unta, Pinguin, Gagak, dan Burung Beo yang sudah dilihat di ensiklopedi. Dilanjut hewan berkaki empat. Gampang. Anak-anak ini sudah biasa lihat kambing, kucing, anjing, dan sapi. Mereka pun sudah tahu gajah, jerapah, badak, kuda nil, zebra, tapir, hyena, dan trenggiling dari ensiklopedi. Nah masuk ke hewan berkaki enam, mereka bimbang. Beberapa mulai menebak-nebak sembarangan.

“Ebhu! Kalowang sokonya enem ye, Bhu??” Kalowang itu kelelawar dalam bahasa Gili.

“Coba, kaki kalowang bede berampa?”  Tanyaku sok-sok memfasilitasi dan bukan menyuapi.

Kalowang bede sayap, Bhu!”

“Iya. Kakinya? Bede berampa? Ituu.. yang dipakai untuk menggantung, kalau malam-malam, di pohon, ingat?” Aku sebenarnya sedang mendesak mereka untuk membayangkan langsung.

“Duue.. ye, Bhu??” Sudah kubilang kan, anak-anak ini suka sekali mengonfirmasi. Aku senyum, mengangguk, mengisyaratkan “Ya, kalian benar.” Lalu datang tebakan yang lebih ngaco lagi, ini dari Anwar.

“Bireng-bireng ye, Bhu??” Bireng-bireng itu ulat kaki seribu, Kawan. Aku senyum lagi. Kali ini tidak mengangguk, tapi menaikkan alis mata. Mengisyaratkan “Yakin? Coba dipikir lagi...”

“Benyak sokona, Waaar!” Nami meneriaki Anwar.

“Saebhu sokona, Waaar!” Fuat ikut-ikutan.

“Eh, benyak ye, Bhu!” Anwar garuk-garuk kepala, nyengir dengan khas. Itu selalu jadi tanda buatku kalau Anwar sadar bahwa ia telah khilaf. 

Ada banyak semut di rumah Kak Wahyu. Kuambil satu. Kuperlihatkan pada anak-anak dan kuminta mereka menghitung kakinya.

“Jadi, bilis bede berampa sokona?

“Enaaaaam.....” Anak-anak sepakat.

“Nah, coba sekarang tangkap rengek. Kita etong sokona bede berampa.” Tak perlu diminta dua kali, anak-anak langsung berlari-lari kian kemari. Kecuali Hamim, semua sibuk berburu nyamuk. Nami yang berdiri paling dekat Hamim mengadu,

“Ebhu, Hamim kalak koto, Bhu!” Entah bagaimana Nami punya pikiran mengambil kutu dari kepala sendiri adalah pelanggaran yang perlu diadukan. Eh tunggu, intinya bukan itu. Bagaimana mungkin aku melewatkan ide ini. Mengambil kutu di kepala masing-masing untuk dihitung jumlah kakinya sungguh adalah ide bagus. Kutu adalah hewan yang semua anak punya, dan aku yakin mereka belum tahu jumlah kakinya. Kenapa aku sama sekali tak kepikiran. Malah Hamim yang menemukan. Lagi-lagi aku dibuat takjub anak-anak Gili.

 

Aku mendekat. Di telapak tangan Hamim bergeming seekor kutu. Si kutu sepertinya shock tertangkap basah tuannya. Langsung kuajak anak-anak berkumpul dan meminta mereka semua menghitung kaki kutu Hamim.

“Enaaaaam.....” Sekali lagi anak-anak sepakat. Dan satu hal lagi mereka ketahui dengan mengalami sendiri. Bukankah kata Pak Piaget beginilah experimental epistemologist itu? Seingatku, ia pernah bilang pengetahuan itu bukan bawaan lahir, tapi dibangun sendiri melalui pengalaman dan terus akan berkembang. Nah, Om Lev Semyonovich Vygotsky waktu itu nimbrung. Dia bilang pengalaman itu difasilitasi oleh orang yang lebih tahu. Pelakunya disebut more capable peers yang bisa saja ayah, ibu, kakak, teman bermain, atau guru. Fungsinya? Scaffolding. Ya Kawan, scaffold itu rangka kayu yang digunakan dalam pembangunan gedung. Biasa untuk pijakan sementara sampai bangunannya jadi. Scaffolding yang dimaksud Vygotsky sama saja; memfasilitasi anak membangun jembatan untuk meminimalkan jarak antara pengetahuan dan kemampuan aktual dengan potensialnya. Caranya? Bisa mendorong/mendesak, menjelaskan, mengarahkan, bertanya, berdiskusi, melibatkan, atau memberikan petunjuk/isyarat, contoh, dan semangat.   

Aku ingat. Dulu saat meminang Indonesia Mengajar, di lembar essai kutulis begini; “Aku ingin jadi rangka bagi tumbuh kembang potensi anak-anak bangsa di penjuru tanah air.” Taunya kini mereka yang membangunkan rangka itu buatku. Dengan caranya sendiri, mereka yang jadi more capable peers-ku.

 

Aku hanya memperlihatkan bagaimana membangun sebuah benteng dan melibatkan anak-anak ini membuat sebuah tank dari pasir. Dan mereka membangun sebuah Negara Pasir. Lengkap dengan gemunung, bukit dan kolam bintang laut, terowongan, gapura, dan jalur kereta api listrik. 

Replikatika, 29 Agustus 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua