Saripku Anak Bintang

Rizki Mustika 7 November 2014

Kawan ingat pada Sarip? Dia yang Bisa Naik Tak Bisa Turun dalam “Maka jadilah Sebuah Kolase”. Ya, ini catatan tentang dia, tentang anakku Sarip.

16 Maret 2014. Aku duduk di durung depan rumah seorang guru. Kami sedang berbincang. Biasa. Obrolan bergulir pada Sarip. Singkat cerita aku dapat kisah keluarganya. Aku tak percaya. Siapa sangka Sarip punya cerita duka soal orang tuanya.

Seperti yang sudah sering kusebut-sebut, pemuda Gili (dulu) tidak begitu tertarik melanjutkan pendidikan. Begitu lulus SD, kebanyakan mereka menikah. Orang tua Sarip termasuk dalam kebanyakan itu. Kudengar, pernikahan muda punya lebih banyak dinamika. Begitupun orang tua Sarip. Ibunya suatu hari dipergoki melakukan sebuah kesalahan yang tidak bisa ditoleransi. Ayahnya menceraikan ibunya. Si Ayah pindah ke Madura dan menikah lagi. Si Ibu yang pergi ke Malaysia pun sama, menikah untuk kedua kali. Tinggallah Sarip hanya bersama Bibi di Pulau Gili.

Dengan latar belakang keluarga begitu, tak terpikir olehku bagaimana bisa Sarip tumbuh begini. Kawan tahu sendiri, dialah Sarip yang sangat cekatan dan ringan tangan membantu teman. Dia yang langsung saja naik meski tak tahu caranya turun. Demi mengambilkan sandal temannya yang nyangsang. Sarip seperti pohon tebu di tanah gersang. Kotras sekali hidupnya dengan kepribadian.

1 Oktober 2013. Sarip tidak pecicilan seperti biasa. Kepalanya terkulai di meja. Matanya yang jenaka terkatup. Sarip tidur, kusyuk sekali.

“Sarip berang, Bhu!” anak-anakku menunjuk-nunjuk.

Kuusap kening Sarip; panas. Anak-anakku benar, Sarip demam. Maka kubiarkan Sarip tidur. Sempat ia bangun sebentar, kutanya kenapa,

“Mabuk, Bhu”. Pusing, jawabnya lemas. Kutanya apa ia sarapan,

“Nten, Bhu”. Nten itu berarti tidak dalam Bahasa Gili halus. Oh Kawan harus tahu, anak kelas rendah rata-rata tidak berbahasa halus. Tapi Sarip berbahasa halus padaku.

Kubilang pada Sarip, kalau sebelum sekolah ia harus sarapan. Nasi dan jangan mie. Lalu, kutanya lagi apa ia mau diantar pulang saja. Tidak, Sarip mau tetap di kelas.

“Nengkene tak rapa-rapa Sarip bede e kelas. Jhela, mun detang sekola, Sarip langsong ngakan. Pabenyak nginum aeng, ngghi?!”

 “Ngghi, Bhu.” Sarip tidur lagi.  

Sepulang sekolah, kami mengantar Sarip ke rumah Bibinya. Ia ketuk pintu depan, tidak ada jawaban. Kupikir, mungkin Si Bibi sedang bertandang. Sarip memutar cukup jauh untuk sampai ke pintu belakang. Pintu itu pintu kayu yang langsung ke dapur. Dapur Sarip berlantai tanah dan berdinding kayu. Sarip masuk, dan tebak Kawan apa yang ia lakukan kemudian? Sarip melepas tas, menggantungnya, melepas seragam, menggantungnya, mengambil sepatu dan menaruh di raknya. Ia lalu melakukan persis yang tadi kupesankan. Ia langsung ke meja makan, menyendok nasi, ke tungku, mengambil ikan pindang dari panci, dan makan. Selesai, piringnya ia cuci. Ia lalu minum air putih banyak sekali. Sangat kentara ia berusaha keras menghabiskan sekaligus dua gelas.

Duh, kupikir mana bisa anak kecil begini, dalam keadaan sakit pula, bisa semandiri ini.

5 Maret 2014. Kami hampir selesai dengan ritual pagi. Anak-anakku sudah berbaris dan masuk kelas. Kami sudah selesai berdoa dan bernyanyi. Ketika akan membaca perkalian, Sarip buru-buru masuk. Wajahnya wajah bersalah. Kutanya,

“Kenapa Sarip terlambat?”

“Saya makan, Bu.” Sarip terus menunduk, menjawab dengan pelan. Rasa bersalahnya kentara.

Mendengar jawaban itu, Kawan kira aku bisa apa? Bahagia rasanya. Pertama, Sarip paham datang terlambat itu salah. Kedua, Sarip melakukan apa yang kupesankan padanya sejak Oktober lalu. Sejak ia sakit waktu itu.

Oh, bagaimana bisa ia sepatuh ini.

19 Maret 2014. Hari ini seekor kucing berseliweran di dalam kelas. Kucing Gili kebanyakan kotor dan takut pada manusia. Berbeda dengan yang ini. Kucing ini manja, bulunya bersih, dan tampak terawat. Usut punya usut, itu kucing Sarip. Namanya Raden.

Tiba-tiba dari bagian belakang, terdengar ribut-ribut. Sarip bersama Miftah sudah ada di lantai. Mereka tengah bergulat. Sarip jarang sekali marah. Maka aku tak punya ide apa yang bisa membuatnya semarah ini.

Esemble'e ka Mifta, ca’na, Bhu!!”. Sarip mengadu, ternyata Miftah telah bergurau kasar tentang Si Raden. Miftah bilang ia akan menyembelih Raden. Muka Sarip maupun Mifta masih merah. Tangan keduanya masih sibuk saling memiting. Kubiarkan sebentar sebelum akhirnya kupisahkan.

Sampai segitunya Sarip sayang pada hewan peliharaannya.

28 Februari 2014. Sudah 3 minggu Gili kedatangan anak KKN dari STIT, sebuah sekolah tinggi lokal. Besok sore mereka meninggalkan Pulau Gili. Maka malam ini mereka menyelenggarakan acara perpisahan.

Tadi siang kudengar dari anak-anakku, Sarip berkata kasar pada Anwar. Anwar itu salah satu peserta KKN. Ia yang menggantikanku mengajar kelas 3, sehari kemarin ketika aku sakit. Aku tidak akan percaya sebelum Sarip mengakui sendiri.

Di acara malam perpisahan itu aku tidak duduk di kursi-kursi tamu yang telah disediakan. Aku duduk bersama kanak-kanak di terpal yang digelar tepat di hadapan panggung. Ada Sarip di situ. Kami mengobrol.

“Eh, benar Sarip  ngocak tae ka Pak Anwar?”  Kukonfirmasi Sarip di sela obrolan kami. Pandang mata Sarip beranjak, seperti ingin menghindari topik pembicaraan. Kupasang senyum, tanda aku tak marah. Kutelengkan kepala ke kiri, tanda aku menunggu jawaban. Sarip menunduk dan bilang,

“Ngghi, Bhu.” Dia mengaku.

“Ole se ngocak cubek ka Pak Guru?” Kutanya begitu, makin dalam Sarip menunduk.

“Tiidak, Bu.” Jawaban pendek. Tapi sudah cukup buatku. Berkata kasar itu salah, ia tahu.

“Ooo.. kalau begitu, Sarip harus...” Kalimat kugantung.

“Minta maaf!” Sarip menyambung. Matanya yang jenaka sudah kembali menatapku.

Besoknya, pagi-pagi kuminta anakk-anakku menulis surat untuk anak-anak KKN. Buat kenang-kenangan, dalihku. Kusebut satu-satu nama anak KKN dan kutanya siapa yang mau membuat surat untuknya.

“Pak Yani? Siapa yang mau menulis surat untuk Pak Yani?” Madan, Toni, Alim menunjuk.

“Bu Oka?” kini Nami, Ria, Linda, dan Juliyah yang menunjuk.

“Pak Anwar??” Aku tidak perlu menunggu lama. Umpanku kena.

“Saya, Bu! Saya Pak Anwar, Bu!” Sarip mengacung-acung lantang.

Hari itu Sarip benar-benar membuatku bangga, Kawan. Di suratnya Sarip menulis, “maaf Pak Anwar”.

Seperti gemintang, mereka tetap gemerlap meski langitnya gelap.

Replikatika, 3 April 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua