Bahagia Itu Sederhana
Angga Oktra Pria Fambudi 8 November 2014Sekitar satu minggu aku meninggalkan kampung penempatanku yang nyaman untuk pergi ke kabupaten. Hal ini bererti anak – anak kelas 5 – 6 yang aku ajar harus pergi kesekolah tanpa kehadiranku. Sekolah menjadi sepi yang jelas karena tak terdengar lagi suara Pak Guru yang biasanya selalu menceramahi mereka atas keajaiban yang mereka lakukan setiap harinya. Hal yang seringkali kutemui ketika aku berpamitan ataupun akan berangkat kekabupaten adalah sebuah tatapan penuh arti yang datang dari mata mereka. Mereka menatapku, namun terkadang aku tak bisa mengetahui mengetahui apa arti dari tatapan itu, entah sebuah perasaan senang atau bahkan sedih karena aku tidak mengajar mereka untuk beberapa hari.
Tanpaku, mereka tetap pergi kesekolah meskipun disekolah mereka hanya ditemani oleh tugas yang telah aku berikan untuk menggantikan ketidak hadiranku. Kalau sedang ada guru dikampung mereka terkadang mendapatkan pelajaran ala kadarnya saja dari sang guru. Tak bisa disalahkan karena memang disini seorang guru harus menghandle minimal 2 kelas dan bahkan terkadang 6 kelas ketika sedang mengajar sendiri. Selesai dari itu mereka pergi bermain karena tugas sudah selasai ataupun karena disekolah sudah tidak ada yang mengawasi mereka.
Ketika dikelas, tingkah unik mereka terkadang sangat menggemaskan dan menggelitik. Tak jarang kelas menjadi ramai karena candaan mereka. Bagiku dulu, anak – anak adalah partner yang sangat aku hindari ketika aku melakukan aktivitas apapun. Maklum aku sendiri kurang telaten dalam mengurus mereka. Disini semua itu telah berubah 360 ®, anak – anak adalah sang malaikat penyelamat sekaligus penghibur dikala aku sedang penat. Setiap hari ku bertemu mereka, mulai dari pagi bangun tidur, disekolah, les dan bahkan dimasjid tiap malamnya, ditambah lagi kalau aku sedang ada waktu kosong panjang, merekalah yang menemaniku jalan ke hutan dan cari ikan dilaut.
Ketika aku berangkat kekota, selalu saja tersisip perasaan mengganjal dihati. Perasaan mengganjal karena aku harus meninggalkan mereka kekabupaten untuk beberapa hari sedangkan dikampung tidak ada yang secara maksimal menggantikanku mengajar. Namun aku tak bisa terlarut dalam perasaan tersebut karena dikabupaten aku harus meneruskan program yang nantinya akan mereka rasakan dampaknya. Disekolah memang sering sekali tingkah ajaib mereka membuatku gemas, namun ketika tak bertemu mereka rasanya rindu juga.
Aku turun kota tiap bulannya karena memang ada agenda kabupaten yang harus aku kerjakan, yakni melanjutkan program pengembangan daerah selama 5 tahun yang sudah dirintis oleh seniorku mulai tiga tahun yang lalu. Aku harus sadar akan posisiku disini karena aku bukan hanya mengembangkan kampung dan distrik ( Kecamatan) penempatanku saja, melainkan juga ke lingkup yang lebih besar lagi yakni kabupaten penempatan. Susah sebenarnya meninggalkan kampungku mengingat anak – anakku sendiri dikampung masih bisa dikatakan membutuhkan asupan pelajaran yang cukup intens.
Satu minggu telah berlalu dan akhirnya aku telah menyelesaikan tanggunganku di kabupaten. Waktunya aku pulang kembali kekampung. Sesampainya dikampung aku pun segera pulang dan menyiapkan materi untuk mengajar besok harinya.
Ketika aku datang kesekolah dan masuk kekelas, terlihat hal yang cukup berbeda dari biasanya. Mereka semua menyambutku dengan mata yang berbinar dan terus menatapku tiada henti sampai kami selesai berdoa. Aku heran melihat hal tersebut kemudian akupun bertanya pada mereka.
“Anak- anak kenapa kok hari ini terlihat senang sekali”
“ Tidak ada apa – apa pak guru, kitong senang saja pak guru sudah kembali ke kampung”
“ Memang kenapa kalau Pak Guru ada dikota”
“Kalau Pak Guru dikota kitong ini tara(tidak) semangat belajar pak guru, tidak ada yang awasi katorang(kita semua)”
Mendengar hal tersebut akupun tersenyum senang dan kemudian melanjutkan pelajaran. Seusai pelajaran akupun berkata lagi pada mereka.
“ Nak, nanti pulang sekolah kelas 6 les yah, Pak Guru mau kasih kamong tambahan makanan biar pintar”
“ Yah, pak guruuuu” sambil sebagian siswa kelas 5 ber tos ria karena bebas dari les.
“ loh, katanya kangen pak guru, jadi nanti pulang sekolah kitong les yah biar bisa ketemu lagi”
Sempat tersenyum ketika aku melihat ekspesi keluguan mereka,polos dan jujur. Ternyata,mereka juga merindukanku dan ingin melihat ada aku disekolah mengajar mereka.
Bagi mereka bahagia itu sederhana, cukup ada Pak Guru yang mengawasi mereka belajar saja sudah bahagia.
Bagi mereka bahagia itu sederhana, Cukup ada Pak Guru yang memperhatikan mereka ketika pelajaran berlangsung.
Bagi mereka ternyata kebahagiaan itu sangat sederhana, cukup ada guru yang masuk kesekolah setiap harinya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda