info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Gili Dinanti

Rizki Mustika 7 November 2014

13 Juli 2014. Kurang lebih seminggu sudah pesan-pesan singkat itu menunggu dibalas. Sejak tanggal 29 Juni, ke Jakarta aku telah kembali. Aku dan kawan-kawan seangkatan menjalani Orientasi Pasca Penugasan kami di kawasan Slipi. Selama diorientasi banyak pesan masuk dari Gili. Satu datang dari emak-nya Anul. Ya, Anul. Jika Kawan lupa, mungkin kata ‘badboy’ bisa mengingatkan lagi. Atau ‘ulat bulu’ barangkali?

Seperti yang Kawan sudah duga, isi pesannya menanyakan kabarku. Apakah sudah kembali ke rumah dan bertemu keluarga? Juga menyampaikan salam rindu dari anak-anak. Jawabankupun mungkin Kawan sudah bisa duga. Aku sehat, keluargaku sehat. Aku tanya bagaimana kabar Anul sekeluarga? Juga minta tolong sampaikan salamku buat anak-anak dan semua warga.

Emak-nya Anul membalas lagi.

“Alhamdulillah semua sehat. Anul sempat sakit 3 hari, 1 hari Anul tidak puasa. Setiap Anul mau buka puasa, Anul pasti bilang, ‘Bu Tika adek-adek-an se buka ngghi, Mak? Marena Bu Tika bede e Jakarta.’ Bu, Anul sekarang lagi buat kapal kecil. Katanya, lebaran nanti mau nyusul Bu Tika ke Jakarta. Bu, kalau ada waktu tolong telfon anak-anak di sini, soalnya selalu bertanya.”

Duh, Kawan kira aku bisa apa? Itu kabar tentang anak-anak kecintaanku. Itu cerita tentang badboy kesayangannku. Maka menangis bombay-lah aku. Kuakui itu tangis rindu. Tapi sumpah, komposisinya lebih banyak bangga, bahagia, dan haru. Kenapa?

Begini, Kawan. Pertama, Anul sakit 3 hari tapi ia tidak puasa hanya 1 hari. Aku dan anak-anakku memang sering saling cerita soal kejujuran dan tanggung jawab. Tapi aku kenal anak-anak Gili. Bukan cerita-cerita itu yang buat mereka begini. Kebanyakan mereka dari sono-nya sudah kuat dan madiri. Dulu, ketika Anul ikut sebuah kompetisi sains, ia membayar biaya pendaftaran dengan uang tabungannya sendiri. Aku bangga. Rasanya persis sama, seperti hari ini.

Kedua, Anul mengira bahwa aku yang di Jakarta berbuka lebih dulu darinya yang berada di Pulau Gili. Anul salah mengira soal ini. Meski sama-sama berada dalam satu kawasan waktu, Jakarta berada cukup jauh ke Barat dari Pulau Gili. Waktu setempat Gili lebih cepat setengah jam. Jadi, Anul-lah yang sesungguhnya berbuka lebih dulu.

Tapi aku bahagia. Anul dan anak-anakku lainnya lahir dan besar di Pulau Gili. Dunia bagi anak-anakku adalah pulau tempat mereka berada. Tadinya, mungkin sama sekali tidak terbayang oleh mereka ada belasan ribu pulau di Indonesia dan lebih banyak lagi pulau di dunia. Seperti yang sering kami bincangkan, Pulau Gili adalah bagian kecil saja dari rangkaian kepulauan dalam Negara Indonesia. Mengetahui Anul mengingat ini saja sudah membuatku bahagia. Apalagi mendengarnya mengakomodasi pengetahuannya tentang Indonesia dengan konsep perbedaan waktu. Ya Tuhan, itu sungguh lompatan kognisi yang luar biasa.

Ketiga, Anul sedang membuat sebuah kapal kecil yang katanya akan ia gunakan ke Jakarta untuk menyusulku. Bukan tujuannya yang membuatku haru. Tapi ini mengingatkan pada hari pertama kami bertemu. Anak-anak kuminta menggambar cita-cita mereka di hari itu. Kawan tahu Anul menggambar apa? Anul menggambar sebuah perahu. Katanya ia ingin jadi nelayan, menangkap ikan di sekitaran pulau. Kini, Anul berkembang. Ia tidak lagi hanya menggambar perahu, tapi membuat kapal. Ia tidak lagi hanya ingin mengitari pulaunya sendiri; Gili untuk menangkap ikan, tapi ingin ke ibukota; Jakarta dengan kapal mengarungi lautan. Aku haru.

Lebih dari itu, dengan keinginannya ke Jakarta Anul membantu menguatkan kami untuk terus cerita tentang pentingnya melanjutkan pendidikan. Ia membuat kami bisa berulang-ulang bilang “Bu Tika bisa ke Jakarta karena Bu Tika sekolah yang tinggi. Pak Wintang kean, Pak Wahyu kean, Pak Teguh kean. Mun tak sakola tengghi tak bisa Ebhu ka Jakarta.”

Nak, di Jakarta Bu Tika menanti. Ya, akan ada anak Gili yang sampai ke ibukota bersekolah tinggi.

Replikatika, 16 Juli 2014.


Cerita Lainnya

Lihat Semua