Jeane Tonu, a man of value

Gloria Maria Foster Pingak 8 November 2014

“Try not to be a man of success, but try to be a man of value” 

-Tony Wenas (Mantan direktur PT Freeport Indonesia, salah satu produsen emas terbesar di dunia)

Kata-kata seorang Tony Wenas ini membawaku melayang ke kenangan malam itu, di sebuah rumah tua sederhana, di desa Werain.

 

Anak-anak, kalau biru dia pung bahasa Inggris apa?”, tanya sang guru.

Salah seorang anak menjawab, “Green”.

Aah, biru?”, tanya sang guru.

Anak-anak kembali menjawab, “Green”.

Biru itu Blue”, tegas sang guru.

Guru pun memberi nasihat, “Kamong su belajar warna toh? Ibu guru su tempel jadi kamong su bisa lia-liat”.

 

Berbekal penerangan temaram lampu minyak, seorang perempuan muda mengajarkan bahasa yang tidak familiar di telinga masyarakat desa Werain. Orang di luar sana mengatakan bahasa tersebut berasal dari negara Inggris, negara yang tak pernah dilihat bahkan dibayangkan oleh orang desa. Kata-katanya asing, cara membacanya pun unik, namun kulihat anak-anak tetap antusias mengikuti setiap tutur kata baru yang diucapkan sang guru. Terkadang anak-anak tertawa terbahak ketika salah seorang anak kurang tepat meniru ucapan sang guru. Kesunyian Werain malam itu pun terpecah oleh tawa anak-anak.

Bau sangit asap dari lampu minyak makin kuat. Asap kelabunya meliuk-liuk di atas atap, sebagian masuk dalam hidung anak-anak, sementara sisanya menghilang bersama angin. Tak terasa, dua jam telah berlalu. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIT. Anak-anak mulai melangkahkan kaki ke tempat peraduan. Werain kembali sunyi.

Siapa bilang pembangunan di daerah perbatasan Indonesia terbatas? Bagaimana dengan desa Werain, desa di mana aku ditempatkan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat? Yah, mungkin di desa Werain memang belum ada listrik, aliran air bersih dan belum ada jaringan komunikasi yang memadai. Pembangunan infrastruktur secara fisik memang belum tampak. Tapi ketika kutengok lebih dalam lagi, di sini ada pembangunan dengan investasi besar. Pembangunan jenis ini kusebut pembangunan manusia.

Tak pernah kusangka di desa yang berpenduduk 574 jiwa (data bulan September 2013) ini aku bertemu dengan seorang arsitek muda. Ia jujur, tulus, tekun, disiplin dan seorang pekerja keras. Ia bukanlah seorang arsitek biasa. Ia adalah seorang guru sang arsitek pembangunan manusia. Sang arsitek ini bernama Jeane Tonu, seorang pemudi yang tinggal di desa Werain. Jeane Tonu atau yang akrab dipanggil Ibu Tonu adalah sarjana dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Ia mendedikasikan dirinya sebagai seorang guru honor di SD Kristen Werain. Di sela waktu mengajarnya, ia membuka kursus bahasa Inggris. Bayangkan saja, ada kursus Bahasa Inggris di desa Werain. Desa terluar dan terdepan di Indonesia, belajar bahasa Inggris? Terpikirkan saja tidak.

Banyak kesempatan yang bisa diambil oleh Ibu Tonu di luar sana. Modal sarjana serta kemampuan yang dimilikinya mampu membawanya melanglang buana di kota besar dengan berbagai pilihan pekerjaan. Jauh daripada itu, ia meninggalkan semua kesempatan dan memilih tinggal untuk mengabdi di desa Werain bersama suaminya. Hari ini Ibu Tonu meyakinkan saya bahwa hidup tak hanya untuk menjadi seperti kata dunia saat ini. Ibu Tonu telah mengambil langkah berani dengan meninggalkan semua kenyamanan yang mungkin dapat ia peroleh di kota besar. Ia telah memutuskan untuk menjelma menjadi sesosok arsitek manusia bagi anak-anak di desa Werain. Ia inilah yang membuatku yakin bahwa semua keterbatasan yang ada bukan alasan untuk diam dan menyerah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua