Namanya Dini

Rizki Mustika 24 Januari 2014

Madan, salah satu anak laki-lakiku. Kawan ingat Bintang Anak Baik dan Bintang Anak Berani yang pernah kuceritakan di “Badboyku, Bintang Anak Baik di Kelasku”? Bintang-bintang itu seringkali Madan yang bawa pulang. Anaknya memang spontan dan ringan tangan sih.

1 Oktober 2013. Sudah hampir Ujian Tengah Semester. Setiap Selasa ada Bahasa Indonesia di jadwal pelajaran kami. Hari ini aku akhirnya melanggar idealismeku sendiri. Aku memutuskan anak-anak mesti tetap mengisi buku LKS mereka.

LKS ini dikirim dari pusat. Usahlah membahas soal tender pengadaan LKS, yang memungkinkan beberapa oknum bisa mengantongi, eh, mengarungi sejumlah uang. Kita bahas saja isinya. Ketinggian. Mereka pikir infrastruktur sudah merata? Mereka pikir semua anak Indonesia dapat stimulus yang sama? Dapat asupan informasi yang sama? Entah mereka lupa atau sengaja lupa kalau kondisi masing-masing daerah berbeda.

Anak-anakku, sama seperti anak lain di penjuru negeri, punya akses informasi yang sangat terbatas. Mereka lahir dan dibesarkan di pulau kecil. Banyak hal yang tidak tersedia di dalam pulau. Tanyakan pada anak-anakku sungai dan danau. Mereka tak tahu. Mereka tak pernah lihat. Apalagi mall, kemacetan, dan polusi?

Mau lihat di TV? Jika beruntung, jika genset pulau tak ada gangguan, listrik akan tersedia dari pukul 18.00-22.00 WIB. Hanya 4 jam. Waktu yang cukup pendek untuk membuat penonton tidak lagi selektif memilih tontonan. Sudah sifatnya, pemenuhan kebutuhan itu dimulai dari yang paling bawah. Maka TV akan difungsikan paling standar, yaitu untuk mendapatkan hiburan. Lupakan soal menambah pengetahuan. Lupakan soal ajang pendampingan anak. Para orang tua juga asik memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Akses informasi mereka juga terbatasi dengan bahasa. Anak-anakku, seperti anak lain di penjuru negeri, jauh dari Bahasa Indonesia. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah. Dengan siapapun, bahkan guru.  Maka banyak sekali kosa kata yang mereka hanya bisa baca, tidak tahu artinya, tidak paham maknanya. Butuh berkali-kali mengulang instruksi sampai anak-anak mengerjakan tugasnya. Dan hanya 1 atau 2 anak yang bisa tertawa membaca komik lucu.

Jika tak percaya, Kawan datang dan temuilah anak-anak di Muara Enim, Musi Banyuasin, Lebak, Kapuas Hulu, Bima, Rote, Sangihe, Fakfak, atau Maluku Tenggara Barat. Terjadi hal yang kurang lebih sama. Kawan mungkin mengira ada yang salah dengan kognitif mereka. Sebenarnya, mereka dapat stimulus dan asupan informasi yang berbeda saja.

Lalu mengapa pula mereka harus mengisi LKS yang sama dengan LKS yang diisi anak-anak ibukota? Mengapa pula anak-anakku diberi standar yang sama? Sungguh tak adil. Tapi kemudian aku ingat. Pak Anis berulang-ulang bilang, “It’s not about me. It’s about them.“ Bukankah sejak awal begitu? Lalu apa pula bedanya sekarang? Aku harusnya melakukan apa yang ideal buat anak-anak, sekolah, dan para orang tua. Bukan apa yang ideal buatku. Maka setelah berdoa dan bernyanyi “Selamat Pagi Teman” kuminta anak-anak mengerjakan LKS mereka,

“Selamat pagi, Anak-anak..” Sinyal kelas yang biasa.

“Seeelamat pagiii cikgu!” Teriakan dan goyangan kepala biasa.

“Anak-anak, ayo keluarkan buku Bahasa Indonesia?” Instruksi yang biasa.

Seng raaaje, Bhu??” Pertanyaan konfirmasi seperti biasa.

“Iya, yang besar, Anak-anak.” Jawaban ini yang tidak biasa. Biasanya aku meminta mereka mengeluarkan buku tugas dan catatan dengan menjawab “Yang kecil.”

“Sebelum menjawab pertanyaan di halaman 4, baca dulu halaman 3. Bacaan yang judulnya Sekolahku di Tengah Kebun Buah, ya Anak-anak. Mun bede seng tak tao artina, tanya ka Ebhu.” Aku melanjutkan instruksi.

Bacaan itu narasi pendek yang dikutip dari Kompas (Ya, Kompas dan bukan Bobo atau majalah anak sejenisnya). Kupikir akan ada banyak kata yang anak-anakku tidak tahu artinya. Dan benar saja. Mereka bolak-balik bertanya. Setengah jam begitu, mereka masih bolak-balik. Tetapi tidak lagi bartanya arti kata. Beberapa mulai mengadu,

Nomer sitong taadek jawabanna, Bhu!” kecewa tidak menemukan jawaban pertanyaan nomer satu, Aril mengacung-acungkan LKSnya, maju.

Ebhu.. nomer satu aaapa ya, Bhu?” bukan lagi sekadar mengadu, sekarang Nami dan Ria bertanya apa jawabannya. Ups, aku skip! Bacaan ini memang sudah kubaca, tapi belum kujawab pertanyaannya. Harusnya sudah kuselesaikan sebelum anak-anak kutugaskan.

Kubaca pertanyaan nomer 1, “Siapa yang bersekolah di tempat kebun buah?”. Itu pertanyaan mudah. Tinggal mencari sebuah nama di awal wacana. Bukankah setiap tulisan narasi dimulai dengan pengenalan tokoh dan setting? Maka kubaca lagi. Kawan boleh ikut mencari.

Sekolahku di Tengah Kebun Buah

Umurku masih lima tahun, tapi aku sudah bersekolah di Pendidikan Anak Usia Dini Bunda. Tempat belajarku adalah bangunan sederhana tanpa lampu tanpa cat warna-warni karena hanya berdinding batako dan lantainya semen. Bangunannya ada di tengah kebun, di sekitarnya ada pohon bambu, pohon duku, nangka, rambutan, juga pohon belinjo.

Bila hujan, halaman sekolahku becek dan tanahnya lengket di kaki. Jadi kalau habis hujan, ada teman yang digendong ibunya menuju tempat belajar supaya kaki dan bajunya tidak kotor. Bila hari mau hujan, Bunda yang mengajar mengizinkan aku pulang cepat karena takut tertimpa pohon.

O ya teman-teman, walau sekolah di kebun buah, aku pakai seragam lho. Kalau ada teman-teman yang mau datang ke sekolahku dan berkenalan denganku. Boleh saja. Kalau ada om dan tante yang mau datang juga boleh, tetapi bawakan aku dan teman-teman bangku karena kami duduk di tikar.

Disarikan dari Kompas, Minggu , 14 Desember 2008. (Pendamping Materi Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas 3 Semester 1).

Tidak kutemukan. Kubaca lagi. Lagi. Jawaban nomer satu tak kutemukan tersurat di bacaan. Kita yang sudah ada pada tahap perkembangan Young Adulthood bisa dengan mudah menjawab pertanyaan itu dengan, “seorang anak yang masih berusia lima tahun”. Tapi untuk anak kelas 3 SD? Mereka masih Middle Childhood. Kalau kata Jean Piaget, mereka masih berpikir here and now.Mereka butuh sebuah nama yang tersurat. Misal Udin, Buyung, Upik, Fulan, atau apapun. Tapi tak ada. Bahkan untuk anak-anakku, aku harusnya sujud syukur mereka paham apa maksud pertanyaannya. Jidatku berlipat.

“Saya, Bu! Saya tau, Bu!” Madan mengacung-ngacung brutal. Khas anak-anakku.

Madan salah atu anak yang bisa ber-Bahasa Indonesia dengan baik. Tapi sungguh aku tak sangka dia seteliti itu, bisa menemukan nama. Aku excited,

“Oya?? Siapa, Madan?”

“Dini, Bu! Namanya Dini!” yakin sekali Madan menjawab.

“Ahahahaaaa....” aku reflek tertawa.

“Ihihi..” Madan bingung, tapi ikut tertawa. Khas.

Mau bilang apa. Madan.. Madan... Kau benar, Nak. Ibu harusnya menjelaskan makna kata-perkata pada kalian. Menceritakan segala apa yang di pulau ini tak tersedia. Termasuk apa “Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini” itu.

Aku salah, telah berfokus pada kelemahan sistem. Waktuku habis merutuki infrastruktur yang tidak merata. Menyalahkan proses pengadaan LKS yang (kupikir) kotor, penggunaannya yang diwajibkan ke semua sekolah, isinya yang ketinggian dan berbahasa dewa, dan pihak-pihak yang malah menjadikannya bahan utama untuk membuat soal UTS serta UAS anak-anakku.

Aku lupa, mungkin pusat punya niat baik. LKS mungkin mereka gunakan untuk mendorong peningkatan pengetahuan siswa. Aku lupa, anak-anakku membayar LKS ini dari penghasilan pas-pasan ayah mereka melaut atau ibu yang meninggalkan mereka pergi kerja ke Malaysia. Sayang sekali jika LKS malah tidak kumanfaatkan.

Terlebih dari itu, aku lupa aku adalah guru. Sudah tugasku membentuk ilmu jadi bangun yang kongruen dengan tingkat kognisi anak-anakku. Untuk telah mengingatkan, Madan membawa pulang lagi Bintang Anak Baik hari itu.

 

 

Ketika kita semua tahu mengecam itu tidak berguna, yuk turun tangan.  

Replikatika, 12 Januari 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua