JANUARI

Monika Yeshika Harahap 22 Januari 2014

Apa yang terjadi di Bulan Januari 2014 ini?

Saya menghabiskan malam pergantian tahun bersama dengan teman-teman saya di Manado. Masuk di bulan awal 2014 tidak saya mulai dengan banyak harapan dan ramalan. Selain karena saya tidak punya harapan muluk-muluk, saya juga tidak pintar meramal nasib saya sendiri.

Ketika berangkat pulang menuju pulau Para, rumah ketiga saya, saya tidak memiliki ramalan tentang cuaca hari itu. Selama kurang lebih 5 jam di perjalanan laut, saya baru merasakan ada sesuatu yang janggal dengan cuaca hari itu setelah mendekati pulau saya.

Kapal yang kami tumpangi tidak bisa bersandar di dermaga dikarenakan ombak yang sangat besar. Nahkoda kapal tidak mau mengambil risiko, akhirnya kami berhenti di tengah lautan tidak jauh dari pulau. Kami dijemput oleh warga dengan perahu tambangan. Satu-persatu kami turun dengan segala barang bawaan kami.

Belum selesai sampai disitu, setelah menginjakkan kaki di kapal tambangan, ombak langsung membawa kami pada pengalaman lain. Kapal yang terombang-ambing oleh ombak membawa saya semakin dekat dengan dalamnya laut ini.

Kapal kami miring ke kanan dan ke kiri. Saya berusaha tenang dan tidak berteriak. Ceritanya karena belakangan ini sudah jadi anak pulau. Sombong kan? Anak pulau sih anak pulau, tapi kalau diminta berenang di tengah lautan sama dengan bunuh diri juga.

Kami di bawa sampai ke bibir pantai yang bersebelahan dengan dermaga. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan sampai ke rumah masing-masing. Hujan sore itu seperti membisikkan sesuatu yang belum bisa saya mengerti.

Petualangan baru saya di pulau pada tahun yang baru ini sudah dimulai sejak sore itu...

***

Sudah satu minggu sejak saya terombang-ambing di atas kapal keadaan ombak di pulau belum juga berubah. Bahkan, semakin hari ombak semakin besar dan tinggi. Kalau kami di pulau punya papan seluncur, mungkin berselancar akan menjadi hobi baru kami. Tapi, tenang saja itu tidak akan terjadi.

Ombak yang semakin meninggi pun ternyata berhasil menembus pembatas pantai yang sudah lumayan tinggi. Air laut naik membanjiri perumahan yang berada di dekat pembatas pantai.

Tidak hanya itu, sinyal di tempat biasa kami mencari pun hilang di telan ombak. Kami tidak bisa mengabari keluarga maupun teman terdekat mengenai keadaan kami. Selama satu minggu ini pun kapal yang biasa mengangkut penumpang tidak beroperasi. Alhasil, kami terisolasi di pulau.

Semakin hari persediaan makanan pun semakin menipis. Warga mulai memutar otak untuk mencari ikan maupun bahan makanan lain. Ada warga beramai-ramai menuju pantai yang paling jauh dari desa untuk mencari ikan dan bahan makanan.

Peristiwa banjir di Manado juga membawa dampak bagi masyarakat di pulau. Kapal yang tidak beroperasi karena gelombang juga berakibat semakin menipisnya persediaan makanan di kota maupun di pulau.

Kalau sudah begini, yang muncul hanya harapan dan doa kapan peristiwa ini akan berakhir. Kapan gelombang akan mereda dan tenang kembali. Kapan kapal akan beroperasi lagi. Kapan kehidupan berjalan dan beroperasi seperti semula.

Satu minggu ini ketika berjalan ke sekolah kami tidak lagi melihat ke depan. Leher kami sakit karena harus melihat ke atas. Berjaga-jaga supaya kepala kami tidak menjadi sasaran buah kelapa yang kapan saja bisa jatuh oleh angin yang berhembus kencang. Persediaan minyak untuk listrik yang habis membuat kami semakin berada di dalam pusara kegelapan.

Seperti orang yang selalu punya harapan baru di tahun yang baru, di bulan baru tahun yang baru ini saya sempatkan untuk berharap. Berdoa semoga gelombang segera mereda. Semua kerusakan akibat bencana bisa mendapat perbaikan.

Semoga semua hal yang saat ini sedang tidak berada pada tempatnya, boleh kembali ke tempatnya semula. Sehingga, semua hal boleh kembali baik adanya.

Pulau Para, 18.01.2014.


Cerita Lainnya

Lihat Semua