Maka Jadilah Sebuah Kolase

Rizki Mustika 24 November 2013

7 Oktober 2013. Ini sudah penghujung hari. Speaker langgar sudah mengumandangkan azan maghrib sejak tadi. Aku berjalan pulang. Baru saja selesai belajar tambahan. Siang tadi, aku minta anak-anakku menggambar simbol negara. Hasilnya sungguh membuat bahagia. Di waktu yang sama, seseorang di tempat lain sedang berbahagia juga. Aku terima pesan singkatnya, “Bawa bakpia satu kotak untuk anak-anak.. How happy i am..”. Ya, catatan ini tentang kebahagiaan, Kawan.

Kupikir kebahagiaan itu unik. Setiap orang punya standar dan paket masing-masing. Maksudku, apa yang membuat satu orang merasa bahagia belum tentu berefek sama pada yang lainya. Terus, sesuatu yang membahagiakan seseorang sebesar X mungkin hanya membahagiakan orang lain sebesar Y. Berbeda-beda.

Makanya aku suka orang-orang yang mudah tertawa. Senang saja melihatnya. Menurutku mereka punya standar lebih rendah dari orang kebanyakan untuk bisa merasa bahagia. Jadi setiap hari mereka mendapat paket kebahagian yang lebih besar. Orang-orang sedikit-sedikit tertawa. Sedikit-sedikit tertawa. Seperti segala hal yang membahagiakan orang lain bisa ikut membahagiakan mereka. Seolah kebahagian orang lain milik mereka juga.

Nah, seharian ini aku dapat banyak sekali potret kebahagian Kawan. Akan kuceritakan. Dan jika berkenan, potret-potret ini boleh jadi milikmu juga.

 

Pijit-pijitan Oii... Senggol-Senggolan..

“Cubit-cubitaan oiii, senggol-senggolan...” Aku teringat lagu lawas ini ketika menemukan anak-anakku kurang bersemangat. Ohya, Kawan harus ingat kalau standar semangat anak Gili berbeda. Ketika kusebut ‘kurang bersemangat’ berarti mereka masih berlari-larian seputaran kelas dan masih bicara satu dengan yang lainnya dengan berteriak. Kurang maksudku, kurang dari biasanya. Biasanya mereka bisa merubuhkan sekolahan kalau mereka mau. Mereka habis Upacara Bendera. Beberapa anak bergantian menghampiriku dan bilang “leeeepang, Bu...”. Lepang dalam bahasa Gili berarti capek. Maka begitu masuk kelas, kuminta mereka membuat tiga barisan. Dua barisan anak lelaki dan satu perempuan.

“Selamat pagi anak-anak!” Sapaku biasa.

“Seeeelamat pagi Cik Gu!” Jawab mereka biasa, seperti yang kuceritakan di Gara-gara Kutunya Hamim.

“Anak-anak Ibu lepang??”

“Leeeeeeeeeepang, Bu!!”

“Tadi kalian sudah upacara, nah hari ini sebelum belajar, kita amaen kheluk. Nengkene abaris. Paloros, paloros. Seng di budi tekuk pundak kancana.” Aku mencontohkan. Aku berdiri lurus dan mengacungkan kedua tangan ke depan, seolah benar-benar sedang memegang pundak teman di depanku.

Pada mereka kukenalkan tembang tadi. Kutunjukkan apa yang harus mereka lakukan setiap menyanyikan kata “pijit” dan “senggol”. Lengkap dengan gerakan geal-geolnya. Dan hampir 15 menit mereka riuh tertawa-tawa. Anak-anakku girang luar biasa. Akupun juga.

 

Garuda di Dadaku

Jadwal hari ini adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Kami sedang belajar simbol negara. Sama seperti dasar dan semboyan negara, anak-anakku tak tahu simbol negara juga. Lalu kutanya,

“Anak-anak suka nonton bola?”

“Sukaaaaaaa!”

“Nah, anak-anak tahu lagu Garuda di Dadadaku?”

“Tauuu... Garuda Pancaaasiiilaaa!!!” Mereka langsung bernyanyi. Kurasa mereka melakukan ini tanpa pikir-pikir dulu. Itu lagu yang baru beberapa hari lalu kuajarkan memang, tapi kan tak ada kaitan sama bola.

“Ahahaa.. Buuukaan.. Garudaaa di dadaku..” Aku mulai menyanyikan lagu yang kumaksudkan.

“Garuda kebangsaanku...” Kalau soal menyambung nyanyi dan bergendang-gendut pukul-pukul meja anak-anakku jagonya. Tapi coba dengar iramanya, Kawan. Itu masih nada Garuda Pancasila!

Syukurlah, 10 menit kemudian kami berhasil menyanyikan lagu Garuda di Dadaku dengan (hampir) benar. Aku lalu meminta mereka menggambarkan Burung Garuda di buku tulis mereka. Kugambarkan dulu contohnya di papan tulis. Aku menunggu hampir setengah jam sampai ada yang mengumpulkan. Dan Kawan, kau mesti liat sendiri apa yang mereka gambar. Lucu-lucu. Ada Burung Garuda dengan kepala super besar dan badan teramat kecil, ada yang berkaki seperti manusia lengkap dengan sepatunya,  ada yang mirip ayam kalkun, dan yang mirip kupu-kupu pun ada. Aku tertawa-tawa memeriksanya. Meski bingung aku kenapa, anak-anakku ikut tertawa juga.  

 

Temanku Sayang

Jam istirahat sudah selesai. Aku memberi kode pada beberapa anak untuk memanggil teman-temannya masuk kelas. Anak-anak terpilih ini langsung lari ke depan pintu dan teriak,

“Kelas telo’ masok.... Kelas teeeeloooo’ maaaasoooook!!!” Berkali-kali.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya lengkap juga. Mungkin karena kepanasan, anak-anakku jadi lepas kendali. Anak lelaki naik meja, main pedang-pedangan, menendang-nendang dan bergulat di kelas bagian depan. Anak perempuan di bagian belakang berteriak-teriak sambil saling kejaran. Kusapa mereka,

“Selamat pagi anak-anak!”

“Seeeelamat...” Anak-anakku lari ke kursi, sambil geliat-geliut. “... paaagi...” Duduk rapi, tetap sambil geliat-geliut. “... Cik Gu!!” Goyang kepala kanan-kiri, tapi masih saja geliat-geliut.

“Nah Ibu minta anak-anak, NAIK KE KURSI SEKARANG! Naik.. naik...” Semua anakku berhenti bergeliat-geliut. Beberapa bingung, beberapa cekikikan, selebihnya nyengir kuda. Mungkin karena selama ini, mereka taunya naik ke kursi adalah pelanggaran yang bisa kena hukuman. Atau mungkin karena mereka penasaran. “ Sudah semua?” Masih sambil bingung, cekikikan, dan nyengir kuda, mereka kompak menjawab sudah. “Sekarang, berpegangan tangan dengan teman di kiri dan kanan!” Anak-anakku yang bingung jadi cekikikan, yang cekikikan sekarang nyengir kuda, yang nyengir kuda jadi nyengir onta. Mereka semua berpegangan. “Tangan yang sudah berpegangan, digoyangkan ke depan dan kebelakang!” Dan Kawan pasti sudah menebak, tidak hanya tangan, badan mereka ikut bergoyang-goyang. “Sekarang, ikuti kata-kata Ibu, yah..” Sambil cengar-cengir mereka mengangguk setuju. “SIAP semuanya?!!”

“SIAP KOMANDAAAAAN! Mereka menjawab gahar. Mungkin penasaran mereka sudah sampai di ubun-ubun sekarang.  

 “Teman.. teman..” Aku mulai mendiktekan.

“Teman.. teman..” Anak-anak mengikuti.

“Temanku sayang....”

“Temanku sayang....”

Aku terus mendikte, dan anak-anakku setia mengikuti. Intinya aku mengajak mereka berjanji untuk selalu saling mengingatkan. Ketika malas belajar, malas datang les, malas mengerjakan tugas, ketika mengganggu teman atau bertengkar, ketika bertingkah tidak sopan atau tidak bertanggung jawab, dan ketika membuang sampah tidak di tempat sampah. Aku mengajak mereka berjanji untuk saling mengingatkan agar selalu jadi anak baik dan anak berani. Jadi anak yang rajin belajar dan rajin menabung. Jadi anak yang gigih mengejar cita-cita.

 

 

“Hore!!!” Kataku mengakhiri dikteannya.

“HOREEEEEEE!!!” mereka berteriak girang gembira.  

 

Ini Rahasia Kita Berdua

Seharian ini, Fita kurang enak badan. Anak yang kurang sehat di sekolah biasanya aku dan anak-anaku antarkan sampai rumah. Niatnya sih sambil menghasut orang tua mereka, supaya menyediakan sarapan sehat setiap anaknya akan berangkat sekolah. Ke rumah Fita, ada enam anak yang ikut. Pulang ke rumahku, hanya Anul yang ikut. Ingatkah Kawan pada Anul? Aku pernah ceritakan dia di Badboyku, Bintang Anak Baik di Kelasku. Ya, Anul ini “Badboyku”.

Sepanjang jalan kami bergandengan. Anul tidak berhenti bercerita tentang buku yang baru dipinjamnya dari Sanggar Pintar, tentang pesawat, keramba, ikan, dan tentang layang-layang. Aku masih ingin mendengarkan Anul cerita. Maka aku putuskan, berhenti duduk sebentar di sebuah ambin yang menghadap lurus ke lautan. Di seberang sana tampak siluet wajah Bawean.

Tiba-tiba Anul berhenti cerita dan bertanya,

“Bu, siapa yang ulang tahun besok Bu?” Haha. Dia masih ingat saja perkataanku di awal bulan. Aku bilang kalau ada yang berulang tahun di bulan ini, tanggal delapan.

 

“Siapa yaa...”

“Siapa Bu?”

“Anul benar ingin tahu?”

“Maaau Bu..”

“Anul bisa jaga rahasia?”

“Biiisa Bu..”

“Ini rahasia kita berdua ya, besok, Nami yang berulang tahun. Anul janji tidak akan bilang pada siapa-siapa?”

“Janji, Bu!”

 “Janji dulu..” Anul kusodorkan kelingking kanan. Ia menirukan. Aku menggamit kelingkingnya dengan kelingking yang tadi kusodorkan. Ia menggamit balik. Kami telah berjanji menjaga rahasia kami berdua. Di depan bentangan lautan. Di hadapan siluet wajah Bawean.

Setelah mengantarku, Anul pulang dengan wajah bahagia. Akupun juga.

 

Bisa Naik Tak Bisa Turun

Dari mesjid terdengar suara azan ashar. Dari madrasah suara anak-anak berdoa pulang pun terdengar. Aku hapal betul, dalam hitungan menit, akan muncul wajah kanak-kanak di jendela. Memanggil-manggil untuk les tambahan, “Bu Tikaaa... Bu Tiiiiikaaaa..”. Tak mau anak-anak menunggu lama, aku segera shalat. Dan benar saja, selesai shalat, sudah ada Sarif, Alim, Toni, dan Miftah datang menjemput.

Hari ini kami les di rumah Maniri. Kami berlima berjalan beriring. Melewati sekolah, Miftah reflek menendang sebuah kelapa kering. Tapi bukannya kena, malah sendal Miftah yang melayang, nyangsang, di atap rumah warga.

Kalau urusan begini, anak-anakku panjang akalnya. Mereka langsung berlarian ke samping rumah mencari-cari tiang antena. Tiang itu akan dipanjat untuk sampai ke atap. Sarif langsung menawarkan diri dengan berani,

“Engkok! Engkok!” katanya mengajukan diri. Ia taktis memanjat. Tiang antena itu kayu kecil setinggi hampir empat meter. Tapi dalam hitungan detik Sarif sudah sampai di ujung tiang, tinggal naik ke atap. Atapnya asbes. Waktu kecil aku pernah memanjat atap jenis ini, jadi aku tahu atap itu rapuh dan tipis. Kuingatkan Sarif,

“Hati-hati Sarif. Injak atap segaris yang ada pakunya..” Setauku itu bagian atap yang kuat karena ada tulang kayu di bawahnya. “Pelan-pelan saja Sarif jalannya..”

Sandal Miftah ada di atap bagian belakang. Tiang antena itu ada di samping rumah bagian depan. Jadi Sarif harus melewati puncak segitiga atap untuk sampai ke sandal Miftah. Dia harus mendaki dan menuruni puncak, lalu berjalan sedikit ke belakang. Sarif bergerak sigap. Tak sampai 3 menit, sandal Miftah telah kembali ke tanah. Tapi tak tahu apa yang terjadi, Sarif tiba-tiba diam sendiri. Ia tak bergerak. Mukanya penuh keringat. Sarif pasti ketakutan. Melihat wajahnya Kawan akan kasian. Aku cemas. Kalau aku laki-laki aku akan langsung naik menyelamatkan Sarif. Sayangnya bukan. Jadi dari bawah aku cuma bisa bilang,

“Ayo Sarif, kembali lewat jalan yang tadi..” Sarif tidak beranjak. “Bisa Sarif, ikuti jalan yang tadi.” Sarif menengok kanan kiri, tampak panik. “Ayo, biisaa Sarif..” Sarif masih tak berani bergerak. Kulihat Alim, Toni, dan Miftah. “Cari tangga..” aku meminta.

Tak lama, Alim, Toni, dan Miftah datang. Dan tebak apa yang mereka bawa, Kawan. Bukan tangga atau sejenisnya. Tapi batang bambu kecil yang biasa dipakai orang-orang sebagai penggalan buah mangga. Diameternya tak lebih dari sekepalan tangan. Kupikir baiklah, mereka anak-anak tangguh, tak ada tangga penggalan pun jadi. Kami taruh penggalan itu di tepi atap terdekat dengan Sarif. Pelan-pelan kami mengarahkannya untuk menginjak atap yang ada tulang kayunya, sampai ke batang penggalan. Batangnya kami tahan dari bawah. Sarif pelan-pelan merayap turun. Mirip sekali ular daun.

Haha. Sarif ada-ada saja. Bisa naik, tapi tak bisa turun dia.       

 

Jurus Tenaga Dalam

Jadwal  anak Gili sungguh padat. Pagi mereka sekolah, siangnya madrasah, dilanjut mengaji, lalu les tambahan. Malamnya, sebagian anak mengaji lagi. Kupikir harusnya waktu les jadi jatah bermain buat anak-anakku. Maka setiap les kami pasti bernyanyi-nyanyi, menari, dan melompat-lompat. Kalau hari ini? Kami akan belajar Jurus Tenaga Dalam.

“Anak-anak Ibu tau Damar Wulan?” Jurus Tenaga Dalam sebenarnya muncul karena teringat pada Wiro Sableng. Tapi aku sadar, aku dan anak-anakku beda jaman Kawan. Mereka tak kenal Wiro Si Murid Sableng dan Sinto Si Guru Gendeng lagi. Mereka taunya  Si Damar ini.

“TAU BU! TAU BU! TAUUUU... IBU IBU SAYA TAUU BU...” Oh tentu mereka tau. Aku sudah cerita kan, Kawan? Di Gili cuma ada listrik dari jam 18.00 sampai 22.00. Nah sinetron Damar Wulan ini tayang pukul 20.00. Jadi anak-anakku bisa nonton. Asal Kawan tahu, Damar Wulan ini tontonan seribu umat Gili. Datanglah ke rumah manapun antara pukul delapan sampai sembilan malam. Jika ada TV, pasti semua anggota keluarga rumah itu sedang nonton Damar Wulan.

“Anak-anak Ibu tau? Jaka Umbaran punya jurus rahasia!”

“Leeeeeek, jurus rahasia, leeeek...” Anak-anakku terperdaya. ‘Lek’ itu seruan khas Gili.

“Namanya Jurus Tenaga Dalam!”

“Leeeeeeeek, tenaga daaaaalam leeeeek...”

 “Anak-anak ibu mau belajar??”

“MAU BU! MAU BU! MAUUUU... SAYA MAUU BU...”

Maka kuajarkan tarikan napas seperti ibu-ibu melahirkan. Tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan. Tarik lagi dalam-dalam lalu hembuskan. Dengan suara dan ekspresi jagoan dunia persilatan. Tangan ditaruh di depan dada, mengikuti tarikan dan hembusan napas. Nanti yang ketiga kalinya, kedua telapak tangan di majukan ke depan, bergaya seperti sedang mentransfer tenaga dalam. Sabil berteriak “Ha!!”. Dan seperti biasa, elaborasi mereka lebih kaya. Suara dan ekspresinya jauh lebih konyol dari yang kucontohkan. Haha. Kocak, nih anak-anak.

 

 

Dan potret mereka siap kususun jadi kolase.

Replikatika, 14 Oktober 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua