Kami Adalah Kompor-Kompor Berjalan

Rizki Mustika 24 November 2013

9 Agustus 2013. Ruang tamu rumah Pak Nding sesak asap rokok. Kalau sudah begini, aku biasanya tahan napas. Tapi untuk kali ini tak bisa, Kawan. Otakku yang minim dendrit sedang bekerja ekstra untuk menyusun kalimat-kalimat selanjutnya. Tak ada lagi bagian untuk urusan remeh semacam mengatur tarikan napas, menghindari asap rokok lawan bicara.

Di sekelilingku duduk Pak Bul, Pak Jamali, Pak Suherman, Pak Nding, dan Pak Jaka. Inilah orang-orang Gili yang menurutku paham pada kata pergerakan dan peduli akan perubahan. Aku curiga, hanya mereka berlima yang hadir di madrasah ketika Pak Ustadz mengajari makna surat Ar Rad ayat 11. Tuhanpun tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika mereka tidak mengusahakan perubahan itu sendiri, begitu kira-kira.   

Tadi pukul 08.00, aku bertemu Pak Bul. Aku mengajaknya ‘main’ ke rumah Pak Nding yang kudengar adalah pentolan dari kalangan pemuda. Agendaku satu; exit strategy Keramba Gili. Keramba Gili ini media informasi berupa selebaran yang diinisiasi Kak Wintang pada masanya. Eksistensinya telah dijaga dengan sangat baik oleh Kak Wahyu di jamannya. Nah, kini waktuku. Aku ingin Keramba Gili sepenuhnya jadi milik warga Gili dan bukan PM lagi. Pak Bul dan Pak Nding tampaknya ngeh kalau aku tak mungkin hanya ‘main’. Mesti ada hal lain. Makanya mereka segera memanggil Pak Jaka dan Pak Suherman ikut serta.

Pukul  08.30, aku mulai bicara. Awalnya datar saja, basa basi biasa. Ketika alurnya pelan-pelan menjadi nyaman, canggung mulai tak terasa, aku masuk ke agenda. Bicaraku tak lagi lurus, mulai memutar, mengajak mereka berpikir “apa pentingnya Keramba Gili”. Mulai memancing-mancing mereka menyatakan sendiri “tetap perlu ada Keramba Gili”. Dan memanas-manasi mereka turun tangan “Keramba Gili memang mesti dikelola sendiri”.

Pukul 11.30, kepalaku rasanya panas, otakku masak sudah. Untunglah itu Hari Jumat. Bapak-bapak ini harus bersiap-siap berangkat shalat. Sungguh Kawan, baru itu aku merasa jadi tokoh politik. Bicaraku berbelit-belit penuh intrik. Ada banyak sekali udang dibalik setiap omongan.

02 September 2013. Pak Bul datang dan bilang,

“Buu, nanti siang sampean ada acaaara, Bu? Setelah Zuhur, nanti, ketemu di rumah Pak Nding, Bu. Kemarin juga Pak Suherman taaaanya, sama saya.. bagaimana itu, kelanjutannya Kerammba?” Padaku Pak Bul selalu berbahasa Indonesia, tapi tetap dengan nada dan logat Gili.

Aha! Hampir sebulan aku menunggu-nunggu ini. Aku sengaja tidak menyebut-nyebutnya lagi. Di pertemuan lalu mereka sendiri telah bersepakat mengadakan pertemuan lanjutan, menyusun struktur pengurus Keramba Gili. Kupikir aku mengambil langkah mundur jika pertemuan kedua terjadi karena aku yang ingatkan.

03 September 2013. Aku bersama Pak Bul, Pak Ending dan Pak Jamali datang ke rumah Pak Wahed, Kepala Dusun. Mengabarkan tentang pergantian kepengurusan, sekaligus minta dukungan. Kemarin kami sudah tetapkan struktur pengurus. Dari ketua redaksi sampai penanggung jawab-penanggung jawabnya sudah tidak lagi dipegang PM sendiri. Kami juga sudah tentukan hari. Edisi pertama direncanakan terbit 22 hari lagi. Bertepatan Hari Sumpah Pemuda. Moment peluncuran perdana pun sudah direncanakan. Upacara bendera se-Pulau Gili dan acara hiburan bola dangdutan.

Pak Wahed setuju, ia menyatakan dukungan. Pak Wahed malah janji, setiap bulan akan menganggarkan dana operasional dusun untuk Keramba Gili. Obrolan antara tokoh-tokoh pemuda dan pemangku jabatan ini bergulir ke arah yang sama sekali tidak kuduga. Mereka bersepakat mempercepat hari peluncuran perdananya jadi 15 Oktober, bertepatan dengan Idul Adha. Kata mereka sekaligus untuk sosialisasi peringatan Sumpah Pemuda.

Pukul 19.30, Pak Bul, Pak Nding, dan Pak Jamali datang ke rumahku. Kami langsung membahas konten. Dua jam berdiskusi, konten Keramba Gili edisi perdana akhirnya fixed.

                                                                                  ***

5 Juni 2013. Tak butuh pikir panjang, aku langsung menempelkan namaku di gerbong kedua pada flipchart di hadapan kami. Itu adalah hari terakhir camp kami di Purwakarta. Di setiap detik sejak hari pertama kami, Senin 22 April, kami belajar. Di hari terakhirnya, kami menjalani post test. Ini adalah post test yang tidak biasa. Jangan bayangkan ada banyak lembar soal dan jawaban, Kawan. Tim IM bersama panitia camp dan fasilitator training telah mengonsepnya menjadi jauh berbeda. Ada beberapa pos simulasi, role play, evaluasi diri, dan pemaknaan. Kami per kelompok penempatan mendatangi pos itu satu-persatu. Ya, inilah mengapa aku selalu angkat topi mendengar nama IM disebut-sebut. Segala treatment mereka selalu saja istimewa.

Di salah satu pos, kami di hadapkan dengan flip chart bergambar mirip kereta api dengan tiga gerbong. Setelah digiring fasilitator sedemikian rupa, baru akhirnya kami mendapatkan insight bahwa gerbong-gerbong itu sebenarnya adalah semacam kuadran kependidikan. Singkat kata, ketiga gerbong mewakili tiga posisi dan fungsi pendidik. Posisi depan, tengah, dan belakang. Fungsinya, seperti semboyan kependidikan milik Ki Hajar Dewantara. Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Ketika di depan memberikan contoh, di tengah menggugah niat dan membangkitan kemauan, di belakang memberi dorongan moral dan semangat. Kami lalu diminta untuk menuliskan nama dan menempelkannya di gerbong mana kami sekarang berada.

Di pos ini kami belajar, bahwa tak masalah di gerbong mana kami berada. Terpenting adalah posisi dan fungsi harus sesuai dan tujuannya mesti searah. Jika di depan benar-benar menjadi teladan, ketika di tengah sungguh-sungguh menjadi pendukung, dan kalau di belakang ya dengan sekuat tenaga menjadi pendorong. Arahnya mesti sama. Tak satu pun yang boleh mengarah sebaliknya. Mesti sama-sama menuju ke tujuan.

Di penempatan, kami pelan-pelan menemukan. Kedua PM sebelum kami telah berada di gerbong pertama. Selama ini mereka yang menginisiasi dan menjadi pelaksana program. Demi melanjutkan outcome mapping, kami PM ketiga mesti mundur perlahan duduk di gerbong tengah. Jika PM pertama dan kedua dulu adalah wajan, kami kini harus jadi kompor. Kompor yang tahu kapan harus menyala dan kapan menunggu. Kompor yang tahu kapan apinya mesti besar dan kapan kecil. Tergantung pada bahan makanan apa yang sedang dimasak.

 

 

Selamat berulang tahun, Gerakan Indonesia Mengajar. Berjanjilah untuk tak berhenti bergerak mengajar Indonesia.

Replikatika, 6 Oktober 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua