Pak Bul vs Self Sabotage

Rizki Mustika 24 November 2013

Dulu jaman SD, aku pernah main Nintendo. Itu kepunyaan abangku, yang sebenarnya ia tak ijinkan aku mainkan. Haha, asal tahu saja Kawan, sibling rivalry-ku dengan abang berlangsung sengit. Kapan-kapan aku akan ajak ia duet menulis catatan tentang sibling rivalry kami. Nah di Nintendo itu, ada sebuah games namanya Mortal Kombat. Kawan pastilah tahu, kita mesti memilih dulu seorang jagoan untuk dimainkan. Jagoan yang dipilih biasanya yang kita tahu punya jurus mematikan. Seandainya musuhku di games itu bernama Self Sabotage, maka aku pasti pilih Pak Bul sebagai jagoanku. Karena aku tahu Pak Bul punya jurus pamungkas untuk menang.

7 Agustus 2013. Pak Bul mengumpulkan alumni Madrasah Diniyah Pulau Gili. Setelah tamat SD, anak-anak ini kebanyakan mondok di Pulau Bawean. Hanya karena sedang liburan lebaran saja mereka ada di Gili. Pak Bul, dan tokoh pemuda Gili; Pak Nding, dan Pak Suherman berencana mengadakan Halal Bihalal setelah Hari Raya nanti. Kabarnya, sudah 10 tahun di Gili tak ada Halal Bihalal. Makanya ingin diadakan lagi. Pengisi acaranya, ya para alumni.

Acara disusun, pengisi acara kemudian ditunjuk. Tak satupun remaja tanggung ini menyatakan dirinya siap jadi pengisi acara. Semua menolak, beralasan, sambil malu-malu. Sungguh, pertemuan berlangsung alot.

Aku beberapa waktu lalu mulai menegakkan hipotesis bahwa kebanyakan orang Gili, terlebih remajanya, menderita Self Esteem Unhealty jenis Self Sabotage. Ini semacam ketidakberesan pada kepercayaan diri seseorang yang mengarahkannya melakukan hal-hal yang menghalangi diri untuk sukses.  Hal-hal itu sederhana dan mudah sekali dilakukan, seperti menutupi perasaan, berbohong, menyontek, menyerang, menunda pekerjaan, tidak mau men-challange diri, atau menolak untuk beraktivitas dalam sebuah kegiatan.

Aku tak menyangka, hipotesis yang sama juga sedang ditegakkan oleh Pak Bul. Di akhir pertemuan, Pak Bul berpesan begini,

“... Jadikan ini sebagai hadiah buat orang tua kita. Dengan tampil di acara nanti, buat orang tua kita tersenyum. Saya mengharapkan ke depannya, kalau ditunjuk, anak-anak jangan malu-malu. Tidak perlu minder. Tidak mau dan menolak dengan berbagai alasan. Itu sama saja dengan menutup pintu sukses untuk masa depan kita.”

Aku tak pernah tahu bagaimana Pak Bul bisa ngeh dengan Self Sabotage. Ia mesti punya radar yang kuat untuk ini. Itu jurus pamungkas yang pertama. Lalu kedua, Pak Bul punya skill. Ia telah memberikan nasihat pada anak-anak dengan kalimat sederhana yang mudah dicerna.

Aku sedang belajar dari Pak Bul. Aku mencatat beberapa peristiwa perlawanan dan beberapa cara yang digunakannya melawan Self Sabotage. Kalau mau, Kawan bisa ikut belajar bersamaku.  

Nama lengkapnya Mohammad Saifullah. Dipanggil Pak Bul kurasa semata-mata lantaran bahasa. Dalam Bahasa Gili, F dibunyikan mirip B. Lama-lama Fullah menjadi Bulloh. Seiring berjalannya waktu menjadi Bul, Bul, Pak Bul. Ia lahir 8 September 1986. Berarti usianya baru 27 tahun sekarang. Ia punya seorang istri yang kupanggil Bu Jula dan dua anak lelaki yang ganteng luaaar biasa. Fuad kelas 2 SD, dan Farhan yang masih TK B.

Kalau Kawan ingat, di Gara-Gara Kutunya Hamim aku menyebut-nyebut Pak Bul. Aku bilang “... paginya pasti hanya ada aku dan Pak Bul”. Ya memang selalu begitu. Sekolah kami mulai pukul 07.30 waktu setempat. Jam segitu ramai sudah siswa SDN 4 Sidogedungbatu. Tapi jangan harap bisa melihat batang hidungnya guru-guru selain milik Pak Bul dan kepunyaanku. Pak Timu dan Pak Imam yang tinggal dalam pekarangan sekolah saja belum lagi siap. Aku bisa bilang Pak Bul ini satu-satunya guru yang –konsisten- rajin. Ia bahkan selalu sampai di sekolah sebelum aku. Beberapa kali, aku datang ketika ia sedang berkeliling dan menyapu-nyapu.

Pak Bul tidak saja pintar tapi cerdas. Pola pikir, perkataan, lawakan, dan perbuatannya jelas bukan karya cipta sekolah formal. Ia hanya tamatan SMP, Kawan. Kupikir itu hasil pahatan sekolah kehidupan. Kelasnya segala kejadian, aula sekolahnya alam, gurunya pengalaman dan pemaknaan. Itulah mengapa obrolan dengan Pak Bul selalu berisi. Tema remeh-temeh pun jadi.

Pak Bul ini tipe pembelajar. Ia belajar apapun dari siapapun dan dimanapun. Tentang apapun Pak Bul tak malu bertanya. Beberapa pertanyaannya mungkin disebut orang kebanyakan sebagai  “pertanyaan bodoh”. Tapi kurasa Pak Bul sudah khatam bahwa di dunia tak ada pertanyaan semacam itu, yang ada hanya orang bodoh yang tak mau bertanya. Dimanapun Pak Bul suka membaca. Bahkan di ekol (oto cigak baruak kalau kata orang Padang), yang sedang melintasi jalan lingkar Bawean yang mengenaskan, Pak Bul membaca. National Geographic pula.

Kompetensi aplied learning yang dimiliki Pak Bul kurasa lebih tinggi dari PM manapun angkatan berapapun. Apapun yang dipelajari Pak Bul langsung dipraktekkan. Jika saja semua orang di dunia punya applied learning macam Pak Bul, tak akan ada yang berlomba-lomba jadi penghapal Al-quran saja, tapi juga jadi pengamalnya. Maka tak perlu ada Sailor Moon, Ninja Hattori, Ksatria Baja Hitam, Power Rangers, dan Superman di dunia.

27 September 2013. Pak Bul baru dua hari lalu pulang. Selama 19 hari di Malang, Pak Bul dapat pelatihan untuk Calon PNS. Dari kelas 2 terdengar teriakan anak-anak bilang, “keciiiil!”, “besaaaaar!”, “panjaaang!”, “pendeeeek!”.  Tadi habis istirahat, kelas 2 ditinggal Bu Juna pulang. Seperti biasa, Pak Bul masuk menggantikan. Kedengarannya Pak Bul sedang mempraktekkan ilmu yang ia dapat dari Malang.

Siangnya, setelah pulang, datang pesan singkat dari Pak Bul, “Kenapa laptop saya tidak ada suaranya lagi, Bu?”. Pak Bul baru saja memulai belajar leptop. Hampir dua bulan sudah, Pak Bul menerima kiriman leptop canggih dari Ibu mertuanya yang tinggal di Malaysia. Sering sekali Pak Bul datang padaku, bertanya. Mulai dari “Gimana kalau mau ngetik, Bu?”, “Gimana ini mutar film kok gak bisa, Bu?”, “Gimana ngunci (bikin password)-nya, Bu?” Lalu kemarin malam, Pak Bul datang bersama istri, membawa leptopnya, dan bilang,

“Bu, leptop saya gak ada suaranya. Tadi habis dipakai nonton Taare Zameen Par, terus hilang suaranya!”

Aku lalu mengotak-atik leptopnya asal saja tapi entah bagaimana suaranya bisa nyala. Pak Bul dan istrinya girang. Kami lalu berbincang sampai tengah malam. Seperti yang tadi kubilang. Obrolan dengan Pak Bul tak pernah membosankan.

Lalu pesan singkat dari Pak Bul tadi kubalas, “Lha kok? Mungkin leptopnya lagi makan Pak Bul, makanya gak bersuara. Tunggu dulu aja Pak, tapi kalau masih gak bisa, coba dibawa ke rumah.”

Sekitar 30 menit setelah kubalas begitu, Pak Bul datang ke rumah. Melihatku sedang telungkup, mengetik di leptopku, Pak Bul bertanya,

“Lagi belajar, Bu?” Pertanyaan ini tak biasa. Baru saja Bu Juna mengintip dari jendela dan bertanya “Lagi kerja apa, Bu? Kok sendirian?” Oh God! pertanyaan kepo itu yang biasanya kudengar, Kawan. Aku percaya bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan adalah proyeksi diri. Maka kukira Pak Bul punya atensi besar pada kegiatan belajar. Makanya pertanyaan itu yang keluar.

Yah, begitulah Pak Bul. Ada banyak kejadian yang belum terceritakan. Nantilah kusambung kapan-kapan. Ohya, aku dari tadi menyebut Pak Bul sebagai guru. SK yang Pak Bul miliki sebenarnya menyatakannya secara resmi sebagai penjaga sekolah SDN 4 Sidogedungbatu. Tapi aku berani bersumpah pocong bahwa ia lebih pastas dari siapapun untuk disebut guru.

 

 

“Kita bisa pandai, menulis dan membaca dari siapa? Kita bisa tahu, beraneka bidang ilmu dari siapa?” (Sebuah lirik lagu yang biasa aku dan abangku dengar di masa kecil)

Replikatika, 27 September 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua