info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Warna Warni Hariku di Belebak

Rini Mayasari 31 Januari 2012

 

Warna Warni Hari Ku di Belebak

31 Januari 2012

 

Hari rabu biasanya adalah hari yang panjang buat saya. Saya mengajar dari jam 7.30  -  jam 12.00 WITA,  dilanjutkan dengan les jam 12.30 – jam 15.30 WITA, dan les di dusun transmigrasi dari pukul 16.00 hingga pukul 17.30 WITA.

Singkat cerita, hari ini hujan sangat deras sejak dini hari. Saya sudah ketar ketir bahwa guru-guru dan para murid akan kesulitan untuk datang ke sekolah karena hujan yang deras, (kebanyakan guru di sekolah saya rumahnya cukup jauh dari sekolah). Di desa kami, ada 3 alternatif ada paling umum yang bisa dilakukan untuk menuju suatu tempat , termasuk sekolah. Pertama, jalan kaki. Kedua bersepeda, dan ketiga dengan mengendarai motor. Dari ketiga pilihan ini tidak ada satupun cukup mudah jika cuaca mulai tidak menentu. Karena itu, hujan selalu membuat saya was-was apakah para guru dan juga murid bisa datang ke sekolah atau tidak.

Ketika hujan sudah agak reda, saya berangkat ke sekolah dengan payung sebagai penghalau hujan. Ketika sampai di sekolah, aalangkah terkejutnya saya. Ternyata, tidak hanya kantor guru yang sepi, kelas-kelas pun tidak seramai biasanya. Mengingat  hari sudah pukul 7.30, saya pun membunyikan lonceng.

 “Teng..teng..”  Anak-anak pun mulai berbaris di teras kelas. Baru kelihatan bahwa siswa kelas I, yang yang seluruhnya berjumlah 18 orang, ternyata yang sekolah hari ini hanya 3 orang. Kelas II ada 7 orang , kelas III pun hanya beberapa siswa saja. Para siswa pun dengan eria mengusulkan agar kelasnya (kelas I, II, dan III) digabung saja seperti yang biasa dilakukan Pengajar Muda sebelum saya. Detik itu juga, saya baru merasakan perasaaan sendirian, benar-benar sendirian di sekolah, dan ada beberapa siswa dari berbagai kelas yang harus saya ajar. Rasanya, teman saya yang bertugas di Labuang Kalo sudah mengalami hal seperti ini sejak November lalu. Lain halnya dengan Hendi, yang bertugas di Tanjung Aru, yang baru bercerita sendirian di sekolah  dengan siswa berjumlah 460 orang beberapa hari lalu. Saya menamakan pengalaman semacam ini dengan school alone, plesetan dari home alone. Saya pun bersemangat karena akan merasakan serunya pengalaman school alone walau jumlah murid saya yang hadir hari ini bahkan tidak mencapai 50 orang.

Pukul 07.45 WITA

Siswa gabungan sudah berdoa dan siap. Saya pun mulai menerangkan peajaran dan meminta siswa untuk mengerjakan tugas.

Pukul 08.05 WITA

Saya harus menyebrangi lapangan untuk mencapai kelas IV, V, dan VI karena bangunan kelas I, II, dan  III  terpisah dari kelas-kelas tersebut. Saya sudah akan menyebrangi lapangan ketika Ibu Sholikha sang guru agama datang.  Yah, tidak jadi school alone deh. Saya menyapa bu Sholikha sebentar lalu mengatakan bahwa saya meberi tugas pada kelas gabungan. Saya sendiri merasa senang walaupun tidak jadi mengalami pengalaman school alone. Di hari berhujan cukup deras seperti ini sang guru, yang rumahnya jauh dari sekolah, tetap berusaha datang memenuhi janji untuk mencerdaskan anak bangsa.  Padahal, itu artinya mereka kehujanan dan kedinginan di perjalanan yang cukup jauh dengan mengendarai motor. Diam-diam saya pu tersenyum bangga bekerja sama dengan guru yang penuh dedikasi tersebut.

Pukul 08.06 WITA

Saya masuk ke kelas 6 terlebih dahulu. Ada sekitar 8 siswa yang turun hari ini.Para siswa terlihat sibuk mengerjakan tugas kesenian walau sebenarnya jam pertama adalah pelajaran IPA. Setelah berdialog dengan anak-anak, saya mengijinkan mereka untuk melanjutkan tugas kesenian mereka yang sebenarnya merupakan pekerjaan rumah.

Pukul 08.21 WITA

Saya pun beranjak ke kelas V. Siswa kelas V harusnya belajar olahrga pagi ini. Namun tidak mungkin berolahraga di lapangan. Jangankan memiliki lapangan indoor laiknya sekolah-sekolah internasional di kota-kota besar, kelas IV, V, dan VI ini bahkan bocor, plafonnya sudah sebagian rontok tripleknya hingga bolong-bolong. Kursi dan meja lebih banyak yang goyang karena sudah reot. Kadang ada meja yang sebelah sisinya saja yang bisa dipakai sebagian lagi sisinya sudah bolong. Ada juga meja yang lacinya bolong sehingga anak-anak tidak bisa menaruh tas dan buku di laci.

Saya memberikan tugas menggambar pada siswa kelas 5 dan bergegas menuju ke kelas IV. Siswa kelas IV harusnya belajar IPA pagi ini. Jadi, saya mengadakan tanya jawab mengenai pelajaran IPA dengan anak-anak sesekali memantau kelas lain. Ketika sedang asyik tanya jawab, tiba-tiba Erfan, siswa kelas V, menegtuk pintu dan mengucapkan salam.  Dia memberitahukan bahwa Bu Ros, guru olahraga telah datang. Saya pun makin senang, walau kehilangan petualangan school alone.

Pukul 08.35 WITA

Saya melanjutkan tanya jawab dengan siswa kelas IV. Akhirnya diputuskan mereka akan menulis surat balasan untuk siswa SDN Belang-belang (murid dari teman saya yang bernama Syakur, salah satu PM di Halmahera Selatan).

Pukul 08.45 WITA

Hujan telah berganti gerimis. Saya menuju kantor guru, yang tergabung dengan perpustakaan, untuk mengambil beberapa komik Kuark. Terlihat Pak Mahput, yang merupakan wali kelas VI dan rumahnya juga jauh dari Belebak, sudah mengajar di kelas VI, dan Bu Tini, wali kelas IV juga sudah datang. Rasanya senang sekali menyaksikan betapa para guru ini begitu berdedikasi bagi pendidikan para muridnya.  

Pukul 10.00 WITA

Hari mulai terlihat agak cerah. Saya mengajar kelas V, lima orang saja siswa yang turun hari ini. Anak-anak terlihat bersemangat dan tidak terganggu dengan sebagian besar bangku dan meja yang basah karena atap bocor.

 

Pukul 13.30

Aktifitas saya dianjutkan dengan mengajar les persiapan Olimpiade Sains Kuark (OSK). Saya terpaksa membatalkan les Matematika untuk kelas V karena harus menghadiri undangan peringatan 100 hari meninggalnya istri kepala sekolah.

Pukul 15.30

Seusai mengajar les persiapan OSK, saya bergegas pulang, sholat, lalu menuju ke dusu transmigrasi  yang berjarak 2 km dengan mengendarai sepeda baru milik adik angkat saya. Lelah juga mengayuh sepeda  2 km melewati hutan-hutan seorang diri, setelah mengajar seharian. Saya yakin lelah itu juga dirasakan siswa-siswa saya setiap hari ketika mengayuh sepeda sepulang sekolah. Tapi lelah itu hilang ketika anak-anak berteriak kegirangan, “  Bu Rini datang, Bu Rini datang” dan menyambut saya dengan senyum terbaik mereka.

Pukul 17.15

Les berlangsung menyenangkan. Kami belajar bahasa Inggris dan tanya jawab seputar sains. Tiba saat saya pulang. Berpamitan dengan Ibunya Atul, yang rumahnya saya tumpangi untuk les, saya pun pulang. Wah, saya harus mengayuh sepeda lagi seorang diri. Bersepeda seorang diri itu membuat perjaalanan terasa jauh. Itu yang saya kurang sukai. Alhamdulillah, ketika berpapasan dengan dua siswi kelas VI , mereka mau mengantar saya bersepeda hingga ujung dusun trans supaya saya tidak kesepian selama perjalanan. Saya terharu.

Di perjalanan kami mengobrol santai tentang banyak hal. Tiba-tiba siswi yang bernama Rita berkata, “Ibu, Ibu kayak masih anak kuliahan sama topi dengan pakaian Ibu sekarang” (Saya mengenakan kaos hijau tentara, celana panjang, dan topi). Lalu saya jawab dengan antusias, “Iya, kalau kalian kuliah nanti ndak pakai seragam memang. Kuliah itu seru loh”,

Dengan wajah sedih dan suara pesimis, Irma menjawab, “ Iya, Bu, kalau bisa sampai kuliah.” Saya tertohok mendengar jawaban Irma. Saja jawab, “Pasti bisa, kalian anak-anak Ibu yang cerdas. Kalian pasti bisa kuliah asalkan kalian mau bersungguh-sungguh. Ada banyak beasiswa, Nak”.  Raut wajah Irma dan Rita terlihat sedikit lebih lega walau masih tersisa keraguan disana nampaknya.

Kami lalu mengobrol tentang cita-cita dua siswi saya ini. Irma ingin jadi guru sains, dan Rita ingin jadi pemain bulutangkis. Saya membatin, berdoa dalam hati, “Ya Tuhan, tolong peluk mimpi mereka. Tolong jangan pernah biarkan anak-anak ini kehilangan mimpinya.”

Pukul 17.45 WITA

Kami berpisah di ujung jalan, namun hati saya benar-benar terenyuh karena obrolan singkat ini. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua