info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ketika Preman kampung Belajar Iqro’

Agus Arifin 24 Maret 2012

“Wahai diri, janganlah sekali-kali engkau menilai rendah orang lain, bisa jadi mereka lebih baik darimu di mata Tuhan-mu, karena seburuk apapun seseorang pasti memiliki sisi baik yang dapat diungkap meski sedikit”

Rabu, 16 November 2011

Malam semakin larut. Anak-anak telah selesai  mengaji dan mereka pun berlarian menuju rumah masing-masing. Langkahku terus  kuayunkan membelah hitam pekatnya malam. Kulihat masih ada beberapa warga yang masih saling bercengkerama dengan tetangga sebelahnya. Sayup-sayup suara mereka masih dapat kutangkap, meski tak terdengar begitu jelas. Biarpun terdengar jelas, aku juga tak akan paham  apa yang mereka bicarakan, karena mereka memakai bahasa mandar. Sampai saat ini aku masih berjuang dengan semangat ’45 agar bisa berbahasa Mandar, khususnya mandar Gunung, karena menurut orang disini, bahasa mandar Gunung berbeda dengan Bahasa Mandar kota. Ya, kira-kira seperti Bahasa Jawa dengan Bahasa Sunda (Beda  Bangeeeeeet). Untuk ukuran 12 hari di sini, perbendaharaan kata yang kumiliki sudah lumayan, lumayan sedikit maksudnya..hehe. Aku baru bisa beberapa kata yang biasa digunakan sehari-hari dan beberapa kata-kata kotor yang biasa diucapkan murid-muridku, agar ketika mereka mengucapkan kata-kata kotor itu, akutahu dan  dapat menegurnya.

Kakiku terus kuayunkan melintasi jalanan tanah yang becek dan berlumpur. Suara sayup-sayup warga masih juga tertangkap oleh telingaku. Sesekali gelak tawa keras, terdengar memecah malam yang sedari tadi mencoba membangun kesunyian. Aku tak tahu, pasti ada sesuatu yang lucu yang mereka bicarakan.. Mungkin anda akan berkomentar “Ya iyalah, semua orang juga sudah tau kalee...kalo ketawa terbahak-bahak pasti ada yang lucu, nggak mungkin kalo sedih ketawa..itu namanya orgil alias orang gila!..hehe peace, maaf Cuma intermezo. Di tengah malam yang senyap itu tiba-tiba terdengar suara orang memanggilku. Suara itu tak jauh dari tempatku berdiri. Meski sosok itu  tak terlihat wajahnya karena tertutupi oleh gelapnya malam, tapi  aku sangat mengenal suara itu “ Pak Arif, bisa kesini sebentar?”, Siapa itu? Reno ya?..”iya pak?”jawabnya singkat.  Oh kamu Ren.. ada apa?” Begini pak,anu...emmmm sbnrnya saya malu pak ngomongnya ”katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebanarnya tidak gatal. “Kenapa harus malu?” tanyaku penasaran..  “Anu pak...anu...saya mau belajar mengaji sama bapak, boleh kah? Sebenarnya sejak kemarin saya mau belajar pak, tapi saya malu...” ungkapnya lirih. “Oh boleh...boleh...boleh ...tidak perlu malu...justru bagus kalo ada kemauan untuk belajar....tidak ada kata terlambat dalam belajar..kapan kita bisa mulai belajarnya? Besok malam ya?” tanyaku dengan senyum kegirangan. “ besok ya pak? Tanyanya kembali meminta kepastian..”Ok besok malam, sekalian saya bawakan buku ‘Iqro buatmu’” jawabku mencoba memastikan. Aku bahagia bukan kepalang. Rasanya bagai menemukan durian runtuh. Betapa tidak, Reno yang notabene adalah salah satu preman di kampung tati Bajo. Usianya 26 tahun, sudah menikah dua kali dan kedua-duanya gagal alias cerai. Pekerjaannya sehari-hari suka sabung ayam. Tak ada angin tak ada hujan, dia datang kepadaku dan meminta untuk diajari mengaji. “Duh Gusti...mimpi apa aku tadi malam”pikirku. Begitulah jika hidayah Allah sudah datang, akal manusia pun tak akan sanggup mencernanya. “Kun fayakun...Jadilah maka jadilah”.

“Assalamu’alaikum”...wa’laikum salam” kudengar jawaban salam itu dari seorang laki-laki separuh baya yang tidak lain adalah bapak angkatku. Rupanya sudah sejak tadi beliau duduk menungguku untuk makan malam bersama. Seperti biasa, orang rumah tidak akan ada yang makan sebelum aku makan. Padahal sudah sangat sering aku mengingatkan mereka, bahwa kalau makanan sudah tersedia dan saya belum pulang silahkan makan saja dulu, tak perlu menungguku pulang. Tapi tetap saja, mereka lebih memilih menahan lapar, menunggu sampai aku pulang. Kecuali kalau aku memang pergi ke kota dan pasti akan terlambat pulang , baru mereka mau makan tanpa kehadiranku. Itulah  yang kusuka dari mereka dan seluruh penduduk kampung ini. Mereka sangat menghargai guru, bahkan menempatkan guru lebih tinggi dari tokoh masyarakat mereka sendiri. Terkadang aku sering tidak enak hati dengan perlakuan mereka yang menurutku terlalu berlebihan, tapi itulah budaya mereka, budaya yang menurutku sangat baik dan patut untuk dicontoh.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk berganti pakaian, kemudian menuju ruang tempat bapak angkatku duduk untuk makan malam. Disana juga telah duduk ibu dan kedua adik angkatku Memi dan Panji. Sambil menyantap hidangan yang telah tersedia, kuceritakan beberapa kejadian lucu dan unik yang kualami sepanjang malam itu. Mulai dari tingkah laku anak-anak saat mengaji di masjid, Ronald yang tiba-tiba datang untuk belajar mengaji,  sampai pada Reno yang juga tiba-tiba meminta diajari mengaji. Mendengar ceritaku, kulihat bapak angkatku tampak tertegun, diam sejenak. “Pak Guru, saya juga  mau belajar mengaji, bisakah?”...kalimat itu meluncur begitu saja, tak kuduga sama sekali...”bapak ingin belajar ngaji?” tanyaku mencoba menyakinkan bahwa apa yang aku dengar barusan tidak salah..”.iya pak, saya mau belajar mengaji..”jawabnya penuh semangat.” Oh bisa pak, besok malam kita belajar ngaji di masjid ya, tidak ada kata terlambat dalam belajar pak, yang penting ada kemauan kuat, insya Allah, nanti bapak bisa ngaji dengan lancar. Besok ya pak, mulai jam 6 sore” ungkapku mencoba memastikan.  Ah, bapak, perkataanmu sungguh melegakanku. Subhanallah, nikmat Tuhan manakah yang hendak kau dustakan? Rasanya masih seperti mimpi, dua orang seperti Reno dan bapak angkatku mau belajar mengaji dan sholat 5 waktu di masjid. Ya Robbana, jika memang ini adalah hidayah dari-Mu, kumohon juga berikanlah hidayah yang sama kepada penduduk lainnya, agar kampung ini menjadi kampung yang penuh berkah, karena semua akan bertasbih memuji-Mu. Semoga mereka berdua, akan menjadi penggerak yang lainnya untuk terus menyembah-Mu. Mungkin ini terlalu berlebihan, namun tak ada yang mustahil jika engkau telah berkehendak. Jika Umar dan Abu Sufiyan yang sangat keras memusuhi Rasululloh saja bisa  berubah 180 derajad menjadi  Hamba-Mu yang taat, maka kuyakin tak akan sulit bagi-Mu untuk menjadikan mereka sebagai hambaMu yang taat pula. Semoga...(Arif)

 

Catatan Agus Arifin

Pengajar Muda Kabupaten Majene

Di Kegelapan Malam


Cerita Lainnya

Lihat Semua