“Menggila Membaca” Mencari Menginspirasi

Indarta Aji 24 Maret 2012

 

“Coba ambil buku putih itu”Sambil aku tunjukkan buku yang aku maksud kepada Lukman. Ditengoknya sebentar, lalu ia kembali membongkar-bongkar tumpukan buku sains dikamarku dan bahkan tidak ia sentuh sama sekali buku yang aku maksud tersebut. “Ngapain kamu?, udah baca itu saja dulu, yang Bapak bilang.” kataku berusaha untuk meyakinkannya. Diambilnya sebentar, dilihatnya gambar di covernya, terlihat tidak menarik dari ekspresi wajahnya yang aku lihat, lalu ia letakkan kembali buku itu. Kemudian membongkar-bongkar kembali tumpukan buku sains.

*****

“Pak, nonton film e... Pak?”Kata Umam, salah satu muridku di SMP yang kini masih duduk di kelas satu yang tiba-tiba datang masuk kedalam kamarku yang pintunya sedang terbuka lebar.

“Film apa?”Kataku.

“Laskar Pelangi Pak!”

“Yah... bukannya kamu sudah nonton. Kan sudah sering nonton kan? Yang lain aja gimana?”Kataku mencoba untuk menawarkan film lain.

“Iya, memang Pak. Tapi menginspirasi Pak. Makanya Umam suka!”Katanya yang kemudian diiyakan oleh Lukman.

“Gimana kalau Sang Pemimpi? Kelanjutannya Laskar Pelangi.”Boleh-boleh kata Umam. Salah satu muridku yang memiliki banyak kisah hidup yang menarik, kisah yang tidak akan aku ceritakan dalam ruang ini, tapi akan aku ceritakan di ruang lain yang berbeda.

*****

Lukman selesai dengan pilihannya. Ensiklopedia bertemakan “Listrik dan Magnet” untuk level siswa sekolah menengah. Kemudian duduk rapih bersila menghadap layar komputer jinjing milikku dan mulai menyimak tontonya yang sudah sering dilihatnya bersama Umam. Lalu ku tinggal tidur sejenak karena lelah setelah pulang dari O2SN (Porseni). Berjalan menyusuri hutan kerumah berjam-jam hingga larut karena tak ada kendaraan yang dapat masuk ke desaku di musim hujan seperti ini. Ada banyak cerita soal O2SN, tapi tidak untuk saat ini aku bercerita. Tentang murid-muridku yang ikut serta sebagai kontingen sekolah kami dari berbagai macam cabang olah raga, dan tidak ada nama Lukman di daftar kontingen sekolah kami.

Tubuhnya kurus dan kecil, terlihat seperti ringkih dan tak bertenaga, tapi tak ada yang menyangka bahwa dia lebih kuat mengangkat balokan kayu besar yang tidak dapat aku angkat dengan pundakku. Tapi bukan soal itu Lukman menjadi istimewa, dari yang tak terlihat menjadi mulai percaya diri dan terlihat, terpandang oleh teman-temannya. Namun tetap rendah diri.

Cita-citanya menjadi seorang Kyai. Itu dulu. Tapi sampai kapanpun menjadi seorang Kyai bagiku adalah sebuah cita-cita yang sangat besar, karena aku juga seorang alumni pesantren. Tapi itu bukan sebuah cita-cita profesi. Itulah yang sering aku katakan kepada murid-muridku yang tinggal di kobong, tempat tinggal santri di pesantren tradisional yang letaknya tepat di belakang rumah tempat tinggalku. Pesantren tradisional dimana hanya mengajarkan tentang mengaji soal tajwid, fiqih dan aqidah. Berbeda dengan pesantren modern yang sudah ada ilmu-ilmu kehidupan seperti sains, sosial maupun sastra.

“Terus kalau nanti kamu jadi Kyai, kalian mau makan apa kalau nggak bekerja?”

“Kalian harus sekolah biar bisa dapat kerja yang enak. Kyai itu bukan pekerjaan, tapi penuntun agama.”

“Kyai juga butuh makan. Memangnya Kyai bisa ngasilin duit? Mungkin bisa dari ceramah. Tapi kalau seandainya kalian semua mau jadi Kyai, terus siapa yang mau bayar orang ceramah?”

“Coba kalian hitung, berapa banyak pesantren di Lebak ini!. Terus hitung berapa banyak jumlah santrinya!. Kalau semuanya mau jadi santri terus bagaimana? Terus siapa yang mau bangun Lebak.”

“Cara yang paling bagus adalah menjadi Kyai sambil punya pekerjaan lain. Contohnya guru, pengusaha, ilmuwan dan banyak lah yang lainnya”

Kalimat yang selalu ku gunakan untuk merasuki pikiran-pikiran mereka. Agar hidup tak sebatas kemarin, harini atapun besok.

*****

Lukman sendiri adalah salah satu bagian dari anak-anak kobong di belakang rumahku. Sama seperti Umam. Pertama kali mengajar di kelas 6 SD kehadiran Lukman nampak kasat mata bagiku. Tidak ada yang bisa ia tonjolkan untuk aku lihat diantara teman-teman sekelas lainnya. Namun semenjak perpustakaan aku buka, dia yang paling sering meminjam buku. Katanya “Sekarang enak ada pak Aji, perpustakaan di buka terus. Kalau dulu perpustakaan tidak ada yang boleh masuk.” Katanya sama seperti anak muridku lainnya. Mengenai alasanya, murid-muridku berkata bahwa Pak penjaga sekolah melarang mereka masuk kedalam perpustakaan karena takut ada buku yang hilang atau rusak.

Semenjak kehadiranku, segalanya memang aku bebaskan soal buku. Boleh pinjam, kalau rusaknya karena dibaca itu wajar, asal jangan hilang. Amanat itu yang selalu aku sampaikan kepada murid-muridku, amanat yang mereka jadikan acuan dalam meminjam buku hingga tidak ada lagi yang malu-malu atau takut meminjam buku.

Sama seperti Lukman, buku kegemaran sebagian besar muridku adalah seri kisah 25 nabi, terlebih muridku kelas empat yang masih suka dengan cerita-cerita dongeng bergambar. Namun semakin hari kegemaran mulai terpecah, anak-anak kelas empat dan kelas tiga masih gemar dengan seri kisah 25 nabi beserta cerita bergambar lainnya. Sedangkan kelas lima dan enam mulai aktif dengan buku buku ensiklopedia sains atau sosial, tak terkecuali Lukman. Dikelas Lukman pun mulai nampak menonjol soal sains, dan lebih percaya diri. Itu juga yang aku jadikan alasan untuk mengikutkanya dalam sebuah kompetisi sains.

Semangatnya semakin tinggi menggila untuk membaca saat aku umumkan bahwa dia akan ikut serta dalam sebuah kompetisi sains. Kadang satu buku ensiklopedia sains bisa ia selesaikan hanya dalam semalam. Terkadang aku memberinya lebih untuk dia baca. Satu buku perhari, dan ada satu buku lagi yang harus ia cicil selama satu minggu. Pastinya enam buku per minggu, karena sabtu dan minggu aku liburkan untuk mebaca buku yang habis baca per hari.

*****

Buku yang menjadi kegemarannya adalah Doraemon seri Pengetahuan Alam (Listrik) yang aku dapatkan dari seorang teman sebelum aku berangkat mengikut pelatihan sebagai Pengajar Muda (Thanks for Aliya). Bahkan murid-muridku lainnya pun menjadikan buku itu sebagai bahan rebutan. Terkadang aku mengajarinya dan beberapa muridku mengenai isi buku itu yang aku nilai masih terlalu berat untuk anak seusia SD. rangkaian seri, rangkaian paralel hingga RL, RC, RLC,  dan berbagai macam lainnya yang ada dibuku tersebut. Tapi mereka mengerti walau aku yakin tidak 100% mengerti.

*****

“Luk, udah bawa pulang itu buku! Baca dirumah.”Saat aku terbangun dari tidurku dan Sang Pemimpi pun sudah mulai berakhir. Tapi wajahnya masih menunjukkan tidak setuju. “Itu kisah nyata Luk. Katanya kamu cari cerita-cerita yang inspiratif” Kataku. “He....” Suaranya datar sambil ia ambil buku yang berjudul “Toto Chan” tersebut dan bergegas pulang.

Keesokan harinya buku tersebutpun ia tenteng kemana-mana, di sekolah maupun di kobong sepulangnya dari sekolah, bahkan dihari yang berikutnya pun demikian.

“Tenang saja Luk, “Negeri Lima Menara” sudah menanti untuk kamu baca.” Kataku dalam hati saat terkesimak dengan prilaku muridku yang satu ini.

Lukman tidak lolos mengikuti kompetisi sains ke babak selanjutnya. Tapi itu tidak penting. Kini ia lebih gila soal sains. Ayahnya yang tidak peduli kini pun mulai perhatian dengannya, terutama soal pendidikannya. Bahkan Ayahnya sempat berkata padaku dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata saat kami berpapasan bertemu di jalan. “Pak, saya titip Lukman untuk dididik menjadi anak yang pintar. Apalagi semenjak ada Pak Aji, Lukman jadi sering baca buku. Mumpung ada Pak Aji disini, kata saya ke Lukman geh Gitu.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua