Melihat Negeri Lebih Dekat dari Pelosok Nusantara
Rini Mayasari 6 September 2012Tahun ini adalah 17 Agustus ketiga yang saya rayakan di luar kampung halaman, Sumatera Selatan. Yang pertama adalah 17 Agustus 2004 di Istana Merdeka. Ketika itu saya merayakannya sebagai seorang siswa yang berjuang datang ke ibu kota untuk bersaing di ajang final lomba Resensi Buku Nasional, untuk membuktikan anak daerah tidak kalah dari anak-anak ibu kota.
Lalu 17 Agustus yang kedua yaitu pada tahun 2008, ketika saya diamanahi beasiswa untuk berkuliah di Los Angeles, Amerika Serikat, ajang pembuktian diri bahwa anak Indonesia tidak kalah dari bangsa-bangsa lain yang kuliah di tanah Paman Sam tersebut. Tahun ini saya berkesempatan merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia di Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Paser, tepatnya di Desa Suliliran, sebagai seorang Pengajar Muda yang diberikan kesempatan untuk mengenal negeri ini lebih dekat ketika berada di pelosok.
Rasanya baru kemarin hati saya mengharu biru ketika keluar dari stasiun Metro di Los Angeles untuk menghadiri peringatan 17an. Masih terekam dalam ingatan rasa haru itu membuncah ketika dari kejauhan saya dengar musik khas Indonesia mengalun ceria menyemarakkan Whilshire Boulevard dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di sana. Makin girang saya ketika melihat para saudara sebangsa mengenakan batik kala itu. Ah, saya jadi ingat pada hari itu saya mengirimkan sebuah email update kepada supervisor saya di Amerika Serikat yang kira-kira begini bunyinya :
“Merayakan hari kemerdekaan Indonesia adalah sebuah pengalaman berharga. Saya bisa membandingkan Indonnesia dan Amerika Serikat dalam sektor pembangunan dan pendidikan. Saya merasa beruntung mendapatkan kesempatan untuk belajar disini. Oleh karena itu, saya harus belajar dengan giat untuk meningkatkan kualitas diri agar dapat memberikan kontribusi besar bagi negara ku, Indonesia. Selain itu, sejak tiba di Amerika Serikat saya merasa nasionalisme saya semakin meningkat karena jauh dari Indonesia....”
Cukup sederhana makna kemerdekaan bagi saya saat itu.
Habis sholat tarawih, saya mengumumkan melalui pengeras suara mesjid bahwa besoknya, 17 Agustus 2012, akan diadakan upacara peringatan kemerdekaan Indonesia. Karena desa kami terbagi menjadi dua dusun, Belebak dan Trans, pengumuman ini sepertinya hanya dapat di dengar oleh siswa-siswa saya yang tinggal di Belebak. Oleh karena itu, tadi sore saya sudah mengantisipasi hal tersebut dengan meminta Lala dan Irvan, murid kelas IV, yang les sore bersama saya untuk menyebarkan pengumuman upacara kepada teman-temannya di dusun trans.
Sungguh tidak saya sangka ketika sudah berumur 23 tahun, saya bisa begitu excited untuk upacara 17an bersama murid-murid, hingga saya kesulitan tidur. Saya gelisah apakah anak-anak akan datang ke sekolah ketika hari libur seperti ini, -sekolah sudah libur sejak tanggal 6, red. Beberapa murid mencoba menghubungi saya melalui sms untuk menanyakan benar tidaknya akan upacara. Dengan tegas, saya jawab ya. Agaknya, dua tahun terakhir ini desa kami tidak melakukan peringatan 17 Agustus. Oleh karena itu, saya mencoba menghadirkan cita rasa nasionalisme sederhana dalam upacara besok.
Pagi ini, pagi sekali, saya dibangunkan oleh Jaya, murid kelas IV, yang menjemput kunci sekolah. Jaya masih juga bertanya, “Sekolah kah kita, Bu?.” Saya jawab dengan tegas, “Ya.” Nah, ternyata, menurut pengakuan Jaya dan teman-temannya, mereka belum pernah upacara 17an sebelumnya. Itulah alasan kenapa mereka heran dan bertanya-tanya.
Setelah memberikan kunci sekolah pada Jaya, saya bergegas menghubungi semua guru. Intinya saya minta ijin mengajak anak-anak untuk upacara 17an. Alhamdulillah respon para guru sangat positif. Saya pun berangkat ke sekoah dengan dijemput oleh beberapa murid kelas VI dan kelas IV. Ketika melawati beberapa rumah murid, tak lupa kami memanggil mereka untuk berangkat ke sekolah. Ketika kami hampiri bahkan ada murid yang baru bangun tidur.
Dari kejauhan, saya melihat anak-anak sudah siap di sekolah. Lengkap dengan seragam merah putih dan senyum sumringah . Alhamdulillah, sekitar tiga puluhan anak yang datang. Bung Karno sendiri pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, akan ku guncang dunia.” Saya harap tiga puluh anak ini insya Allah bisa mengguncang dunia nantinya. Amin.
Langkah pertama yang kami lakukan adalah membersihkan sekolah dan lapangan. Gesit dan bersemangat sekali anak-anak bergotong-royong. Selesai bersih-bersih, kami sudah siap untuk memulai upacara ketika dari kejauhan terlihat ada seorang murid kelas I yang sedang menuju sekolah untuk mengikuti upacara 17an. Anak ini, Puji namanya, disambut teman-temannya, yang rata-rata kelas VI – III, dengan suka cita dan bangga. Anak sekecil ini pun semangat untuk ikut merayakan kemerdekaan Indonesia dengan upacara 17an. Heroik sekali!
Saya juga tidak kesulitan mencari para petugas upacara. Linda, murid kelas VI, dengan mantap mengajukan diri untuk jadi komandan upacara. Sedangkan Jumarding, kelas VI, yang biasanya sangat pemalu pun langsung bersedia di daulat jadi petugas baca doa. Sementara murid-murid lain berebutan untuk jadi dirigen paduan suara dan tugas-tugas lainnya.Alhamdulillah, tiada daya dan upaya serta kemudahan 17 Agustus kali ini tanpa ridho dari Allah. Sungguh berkah Ramadhan.
Langkah tegap dari pasukan pengibar bendera yaitu Asif, Rifan, dan Veni, membuncahkan rasa haru di hati saya. Ketika Veni berseru, “Bendera siap!”, Linda dengan lantang memimpin peserta hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Saya pun ingin rasanya waktu berhenti sebentar untuk menikmati ledakan perasaan haru ini, nasionalisme sederhana yang kami coba hadirkan di pelosok Borneo.
Saya sendiri bertindak sebagai pembina upacara 17 Agustus ini. Tibalah giliran saya membacakan teks proklamasi. Hati saya bergemuruh ketika mengucapkan, “Kami bangsa Indonesia....” untuk sebuah perasaan bangga yang tidak bisa saya jelaskan. Ini rasanya ketika berdiri diantara anak-anak bermata cemerlang ini sebagai satu kesatuan dari bangsa Indonesia, walau suku kami berbeda-beda namun tetap harmonis dalam kebersamaan. Ini rasanya ketika mengenang bahwa bangsa ini dibangun dengan perjuangan panjang, dengan keringat, darah, air mata, dan bahkan nyawa para pejuang, kesyahduan upacara 17an.
“Kita tahu bahwa perjuangan bangsa ini belum berakhir. Masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau desa-desa yang tidak punya aliran listrik. Lalu jadi tanggung jawab siapakah itu?”, prolog amanat saya. Suasana hening. Saya pun melanjutkan, “Itu tanggung jawab kita bersama untuk memperbaiki semua kondisi ini dan memajukan Indonesia, anak-anak.”
Saya mengakhiri amanat upacara dengan pertanyaan, “Siapkah kalian meneruskan perjuangan Indonesia? Siapkah kalian memajukan negeri ini? Lima sampai sepuluh tahun lagi nasib bangsa Indonesia akan sangat ditentukan oleh kalian, anak-anak,” dengan suara yang mulai dikuasai perasaan haru. Jawaban para murid saya ini cukup singkat, dan tegas, “Siap!”
“Bekali diri kalian dengan ilmu, akhlak, dan agama yang kuat, anak-anak! Insya Allah kalian bisa jadi pemimpin negeri ini yang bijak dan memakmurkan umat!” itu lah kalimat penutup amanat 17 Agustus yang saya sampaikan.
Setelah selesai upacara, saya dan anak-anak pulang bersama. Betapa senangnya saya mendengar celotehan anak-anak tentang berkesannya peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini bagi mereka. Sore harinya, ibunya Puji, bercerita kepada saya bahwa anaknya sejak subuh sudah bangun dan mengatakan ingin ikut upacara, dan bercerita bahwa anaknya sempat menangis dua kali ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya karena terharu.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda