info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Indonesia, ini bukan hanya cerita mengajar

Rinay Tyta Febriana 14 Agustus 2013

Juli 2013. Duduk di dermaga sore, memandangi indahnya matahari terbenam diiringi semilir angin yang lembut membelai. Kaupun menyaksikan gelombang air sungai seolah berbisik menyuarakan sambutan untukmu, “Selamat datang di kerajaan anak sungai Musi, ibu guru.. Sampai satu tahun kedepan, kami dan mereka, yang kalian sebut sebagai mutiara-mutiara terpendam di pelosok negeri, akan menjadi saksi hidupmu di tanah pengabdian ini. Suka dukamu akan terekam jelas di benak kami sekalipun hanya tersirat dalam bisu. Ibu guru.. Selamat datang di bumi Sriwijaya, selamat berbakti..”. Matahari sore itu pun hangat menyapa seorang anak manusia yang sedang berdiri di tepi dermaga, yang rindu akan damainya suara cicit burung dari hutan, rindu harum tanah baru, rindu petualangan baru, dan semakin ingin terbang tinggi dari sangkar untuk menyentuh dunia luar.

Ada perasaan berbeda ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di Desa Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan. Ya, sebuah desa dimana aku ditugaskan oleh Indonesia Mengajar untuk mengajar anak-anak di Sekolah Dasar Negeri Kepayang, melanjutkan tongkat estafet kak Adji Prakoso (Pengajar Muda Angkatan IV) selama satu tahun kedepan. Warga desa dan anak-anak itu menyambutku dengan sangat hangat, terdengar bisik-bisik dari beberapa anak, “Ibu gurunya mirip ibu guru Mila ya”. Aku dibilang mirip ibu guru Milastri Muzakkar (Pengajar Muda Angkatan II, sebelum kak Adji). Sosok seorang ibu guru Mila yang mengajar mereka 2 tahun lalu, bayangannya masih melekat jelas di benak anak-anak SD N Kepayang. Begitu juga sosok bapak guru Adji. Anak-anak masih saja sering menyebut-nyebut nama kedua Pengajar Muda tersebut, sekalipun ibu dan bapak gurunya sudah tidak menemani mereka di desa. Inilah bukti ketulusan dari sebuah pengabdian. Ketulusan itu terukir jelas di memori anak-anak SD N Kepayang. Bekas langkah mereka meninggalkan warna pelangi di kehidupan sebuah desa yang terletak di tepi sungai berkedalaman 40-50 meter. Ada kekaguman tersendiri ketika aku mendengar kisah kedua Pengajar Muda tersebut dari mulut kecil anak-anak, dari cerita ayah dan ibu angkat, dari guru-guru di sekolah. Mereka meninggalkan kesan luar biasa yang akan tertanam di hati setiap warga, di hati setiap anak yang sedang tumbuh, berkembang untuk menjadi generasi penerus yang lebih baik, lebih tangguh tentunya, dan siap untuk membangun negeri kelak.

Hampir 2 bulan aku tinggal dan berinteraksi bersama anak-anak itu. Sekolah tempat mereka belajar memang tidak semegah sekolah di kota-kota besar. Diantara enam ruang kelas, tiga ruang kelas berlantai kayu (ruang kelas 1-3), dua ruang kelas berlantai tanah (ruang kelas 4 dan 5), satu ruang kelas berlantai keramik (ruang kelas 6). Tapi, di dalam sebuah bangunan sederhana itu, aku melihat semangat mereka untuk mau belajar sungguh luar biasa. Antusias sekali ketika kuajak mereka belajar sambil bernyanyi. Anak-anak cepat sekali menghafal sebuah lagu yang sering kunyanyikan untuk mereka di saat kami sedang bermain bersama. Sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Sherina, berjudul “Ku Bahagia”.

Kita bermain-main.. Siang-siang hari Senin..

Tertawa satu sama lain.. Semua bahagia, semua bahagia..

Kita berangan-angan.. Merangkai masa depan..

Di bawah kerindangan dahan.. Semua bahagia, semua bahagia..

Matahari seakan tersenyum…

Walau makan susah.. Walau hidup susah.. Walau ‘tuk senyumpun susah..

Rasa syukur ini karena bersamamu juga susah dilupakan

Oh ku bahagia.. Oh ku bahagia…

Kita berlari-lari.. Bersama mengejar mimpi

Tak ada kata ‘tuk berhenti, Semua bahagia.. Semua bahagia..

Aah, cepat sekali anak-anak mungil itu menghafal lagu yang kunyanyikan tanpa melihat liriknya, anak-anakku sama sekali tidak pernah membaca lirik lagunya, atau pernah mendengar lagu itu sebelumnya. Namun hanya dalam waktu satu minggu saja mereka sudah mampu menyanyikannya dengan nada yang tepat, mirip seperti yang dinyanyikan oleh penyanyi aslinya.

Benar kata kebanyakan dari mereka, bahwa bahagia itu memang sederhana, sangat sederhana.

Bahagia itu ketika setiap pagi beberapa anak menggandeng tangan kanan kirimu saat kamu berjalan, mengajakmu berangkat ke sekolah bersama-sama.

Bahagia itu ketika setiap apa yang kamu sampaikan di kelas membuat mereka antusias untuk bertanya, untuk mau belajar hal baru, sekalipun sebenarnya sulit bagi mereka untuk mengerti, untuk memahami apa yang ibu gurunya sampaikan :p

Bahagia itu ketika kamu sedang menganalisis kemampuan membaca anak didikmu, lalu masih banyak diantara mereka yang membaca satu kalimat saja sangat terbata-bata, tapi mereka masih mau berusaha menyelesaikan satu paragraf bacaan untuk membuat ibu gurunya bangga. 

Lalu…. Setiap pulang sekolah dan suasana sekolah sudah sepi, beberapa anak mendatangimu di ruang guru sambil berkata, “Ibu, aku mau tunggu ibu pulangnya, aku mau menemani ibu disini,  janji tidak akan gaduh dan ganggu ibu”, itulah bahagia :)

Lalu…. Setiap sore ketika kamu duduk sendiri di tepi dermaga sedang mengharapkan sinyal handphone muncul barang satu batang saja, tiba-tiba anak-anak datang berlarian menghampirimu, langkah kaki kecil mereka menghentak kayu-kayu dermaga, membuatnya bergoyang-goyang, dan buyarlah rasa sepi itu.. Itulah bahagia :) 

Semenjak saat itu, seorang rinay semakin menemukan alasan, apa yang akan membuatnya bertahan di tempat tinggal barunya, menemukan alasan kenapa diri ini tidak boleh mudah merasakan kesendirian, menemukan alasan kenapa seorang guru harus selalu tersenyum sekalipun sedang dalam suasana hati yang buruk, dan semakin menemukan banyak alasan untuk terus menyalakan lilin di kegelapan sekalipun dalam tiupan badai. Ya, anak-anak itu adalah harapan bangsa. Tunas muda itulah yang kelak akan membangun negara Indonesia. Tengoklah, mereka yang hidup dalam keterbatasan juga bisa tumbuh besar seperti anak-anak lain yang berkembang pesat dengan kemudahan dalam berbagai hal di luar sana. Anak-anak itulah yang kelak akan membuat Indonesia menjadi negara yang mandiri, dan inilah tugas kita semua, untuk turut mencari, menemukan, dan mengangkat mutiara-mutiara terpendam sekalipun mereka berada di pelosok negeri, sekalipun mereka tertimbun di dasar samudra yang paling dalam.

Ternyata, anak-anak di pelosok negeri itu… justru membuat diri ini lebih banyak belajar akan arti hidup, arti sebuah rasa syukur. Seperti kata bapak guru Adji bahwa, Ini bukan hanya cerita mengajar. Ya, tidak hanya sekedar cerita, tidak hanya sekedar mengajar, tapi juga belajar untuk memaknai setiap langkah dengan ketulusan, belajar untuk menahan diri dari ekspektasi yang terlalu tinggi tanpa melihat realita, belajar untuk tetap optimis dalam kondisi tidak stabil, belajar untuk memperjuangkan dan juga berjuang dalam keterbatasan, belajar untuk mencintai negeri sendiri, dan belajar untuk melihat Indonesia dari sisi lain. Ingin sekali aku berdiri diatas puncak tertinggi gunung bersalju (seperti mbak eMJe Pengajar Muda Fakfak angkatan II :p), lalu ingin kuteriakkan kepada negeriku,

“Indonesia… dengarlah, anak-anak di ujung negeri ini masih mampu untuk menjunjung tinggi tanah airnya! Anak-anak di pelosok negeri ini masih mau belajar sekalipun dalam keterbatasan! Mulut-mulut mungil mereka tak pernah meminta yang muluk-muluk kepada para petinggi negara agar membenahi bangku kursi mereka yang telah patah, rapuh dimakan usia. Tangan-tangan kecil mereka tak pernah menengadah untuk meminta agar lantai kelasnya diperbaiki supaya tidak ada murid yang jatuh karena kakinya terperosok diantara lantai kayu yang berlubang. Tahukah Indonesia??? Anak-anak itu hanya mengharapkan sosok guru yang hangat hadir di tengah-tengah mereka, tidak hanya untuk belajar, tapi juga membantu membentuk kepribadian dan mental mereka yang sangat ingin bisa menjadi seperti atau bahkan lebih hebat dari bapak dan ibu gurunya. Indonesia, tunggulah… dan saksikanlah mereka tumbuh berkembang dengan potensi yang luar biasa, hingga kelak mereka akan mampu menopang bangsanya untuk menjadi bangsa yang lebih maju dan mandiri. Dan ketika waktu itu tiba, tahukah Indonesia?? Dari berbagai titik di negeri ini tersenyum bangga sambil berkata -Itu dulu murid saya sewaktu saya mengajar di desa, sekarang dia sudah jadi orang besar, lebih hebat dari gurunya ini-". :')

Salam hangat dari anak-anak bertubuh mungil di tepi anak sungai Musi, Desa Kepayang :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua