Celoteh Pengecut Muda

Herdimas Anggara 10 Agustus 2013

Malam hari, angin berhembus sejuk. Sehabis menyaksikan aksi komedi dari Megan Amram, Dimas berdiri di samping trotoar suatu jalan di bilangan Manhattan sambil mendengarkan musik dari Steve Reich melalui iPodnya untuk berencana pulang ke apartemen dengan menggunakan taksi. “Berhenti!” teriak Dimas kepada sedan kuning bertuliskan “NYC”. “Malam Pak, bisakah mengantarku ke 740 Park Avenue?” tanya Dimas kepada supir taksi. “I’m sorry, I cannot speak any languages other than English,” jawabnya dengan logat New York kental.

(Tapi karena tulisan ini adalah imajinasi belaka penulis, entah mengapa, tiba-tiba supir taksi tersebut bisa fasih berbahasa Indonesia dan tahu bahwa Dimas telah mengikuti Indonesia Mengajar sekitar tiga tahun yang lalu.)

“Oh, ini Herdimas Anggara yang waktu itu pernah ikut Indonesia Mengajar ya?” tanyanya. “Lho, iya, kok Bapak tahu tentangku?” jawab Dimas kaget. “Iya, aku kebetulan pernah baca-baca di situs Indonesia Mengajar tentangmu ketika sedang mencari-cari ekivalensinya Teach for America di Indonesia melalui Google,” ujarnya. Dimaspun menjadi tersanjung, tak habis pikir bahwa ternyata ada yang tahu tentang dirinya melalui situs pencari Google. “Iya, aku sangat suka dengan tulisanmu. Kalau boleh tahu, apa yang kamu rasakan ketika mengikuti program Indonesia Mengajar?” tanya sang supir bak reporter sebagai pertanyaan pembuka, memulai perjalanan taksi yang tampaknya akan cukup lama.

“Bagaimana ya? Mungkin begini, diawali saat pelatihan. Pada saat itu, aku terlalu berkelut dengan pemikiranku sendiri. Sok-sok merenung ala filsuf modern seperti Bertrand Russell. Selalu menganggap orang lain pasti mempunyai intensi buruk di setiap aksinya seperti udang di balik batu. Selalu menganggap apabila teman-teman yang lain mengajukan pendapat di forum, yang mereka lakukan hanyalah untuk mengimpresi pengajar muda yang lain, bukan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Padahal itu semua hanyalah asumsiku belaka. Seolah-olah aku ini adalah detektif jiwa yang menginvestigasi dalamnya orang tanpa berkenalan langsung kepada mereka,” jabar Dimas kepadanya.

“Memangnya, latar belakangmu seperti apa, sampai-sampai bisa berpikiran seperti itu?” tanya supir taksi sambil menyodorkan cokelat Hershey’s yang kebetulan ada di saku mobil, guna membuat suasana lebih rileks.

“Selama ini, aku selalu menjadi orang kedua di dalam suatu organisasi. Wakil ini, wakil itu, pokoknya wakil, tidak pernah mencalonkan diri untuk menjadi ketua. Memang pada dasarnya cari aman, agar kritik yang tersampaikan kepada diriku hanya sedikit. Biarlah sang ketua yang menampung seluruh kritik-kritik dari para anggotanya. Bagai badan legislatif saja diriku. Evaluasi, evaluasi, dan evaluasi. Mungkin ini mengapa aku adalah orang yang sangat reflektif namun tidak berani untuk beraksi. Aku yang biasa melamun di depan laptop sambil membaca novel-novel karya Dostoevsky juga artikel-artikel di The New Yorker, berlaga seperti kaum intelektual yang tahu segalanya. Aku yang biasa menyaksikan konser musisi independen dari kejauhan dan memberikan komentar terhadap karya-karya seni yang terdapat di Art Basel, berlaga seperti kritikus yang berselera seni tinggi. Pengecut,” jawab Dimas sendu, seraya mengunyah cokelat Hershey’s yang diberikan oleh sang supir.

“Lalu bagaimana ketika di penempatan, apakah kamu mulai berubah?” lanjut sang supir.

“Lebih-lebih ketika di dusunku tempat aku mengajar. Dari segi infrastruktur? Tidak ada listrik, tidak ada sinyal, dan bahkan tidak ada MCK. Secara sosiologis? Masyarakatnya terpecah-belah, untuk menginisiasi gotong royong harus butuh tenaga ekstra. Secara geografis? Acap kali disebut-sebut oleh tatanan pemerintah Bima sebagai daerah yang paling terisolasi. Kondisi KBM di sekolah? Tidak perlu ditanya, sangat memprihatinkan. Pokoknya benar-benar terbelakang dari segi peradaban. Namun, hal-hal inilah yang membuatku merasa paling altruis dibanding yang lain. Aku seperti berlomba-lomba, daerah penempatan mana yang paling sulit untuk ditempati. Sehingga yang secara manusiawi muncul adalah ego bahwa dirikulah yang mendapatkan tempat yang paling membutuhkan bantuan dari pengajar muda. Lucu kan? Betapa egosentrisnya diriku,” ujar Dimas sembari menghabiskan cokelat Hershey’s terakhir.

“Tapi semua itu berubah kan?” tanya supir taksi tersebut, mencoba mengakhiri pembicaraan.

“Biar orang lain yang melihat perubahan tersebut karena aku pada masa itu masih punya banyak waktu untuk berubah. Terlepas dari itu semua, aku merasa beruntung masuk Indonesia Mengajar. Di pelatihan, aku beruntung diperkenalkan dengan orang-orang yang murni nuraninya yang sama-sama ingin memajukan generasi penerus bangsa. Di masyarakat, aku beruntung diperkenalkan dengan kaum proletar sehingga kepekaanku terhadap kondisi sosial Indonesia tingkat paling bawah bisa meningkat. Di sekolah, aku beruntung diperkenalkan dengan murid-muridku bagaimana cara menjadi orang tua yang baik. Terakhir, dan yang terpenting, mereka semua mengajarkan kepadaku bagaimana menurunkan ego secara perlahan-lahan. Aku pun sempat bingung, sebenarnya yang lebih banyak mendapatkan manfaat itu aku sebagai pengajar muda atau mereka?” simpul Dimas.

“Baguslah kalau begitu. Aku harap pertanyaan terakhir itu suatu saat bisa kamu jawab. Omong-omong, kita sudah sampai ke apartemenmu. Biayanya gratis, karena aku sudah terinspirasi olehmu, Dimas,” tutup sang supir, mengakhiri pembicaraan. Dimaspun kembali ke apartemen dengan hati riang gembira karena telah dipuji oleh supir taksi.

Sebelum memejamkan matanya untuk tidur, Dimas bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, ia tidak tahu apakah kontemplasinya dengan sang supir itu benar-benar tulus dari dalam hatinya atau pada nyatanya hanya mengharapkan like di Facebook atau retweet/favorite di Twitter. Tapi, semoga saja Dimas bisa mengaplikasikan suatu pepatah yang baru ia baca, “Everything I have done, I have done for hope of recognition and fame. But now, let me do it for none.”

Semoga.


Cerita Lainnya

Lihat Semua