Tangan Ajaib

RinaAnggraeni Safia 7 November 2015

“Pernahkah kalian mendengar kisah tentang tangan ajaib? Tangan yang lebih ajaib dari  tongkat Nirmala”

                Kelopak mata terbuka pelan-pelan, entah karena bau anyir yang terlalu kuat atau nyeri yang terlampau perih. Beberapa orang asing berdiri di sekitarku, tidak jelas, satu kah, dua kah, tiga kah, atau empat kah? Tiba-tiba otakku dungu dan penglihatan terlampau kabur.

                “Nak,  ini sudah di puskesmas. Kamu di sini tinggal dimana?  Sama siapa nak?”, seorang ibu bertanya kepadaku. Tiba-tiba rasanya seluruh ingatanku sedang mengambang hendak lari, antara nyata dan tidak nyata. Pelan-pelan kupungut ingatan-ingatan yang hampir hilang tersebut, “Sa...saya ikut orang tua angkat. Ehm..namanya Bapak Upi”, dengan pandangan yang masih kabur, kulihat ibu tersebut menelpon seseorang dengan menggunakan ponselku.

                Sebelum kesadaranku hilang beberapa menit yang lalu, kuingat sekali bagaimana aku mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, bukan karena aku mantan pembalap atau sedang mengejar buronan, bukan. Ketika itu, aku berangkat selepas shalat subuh dari Kabupaten Majene menuju Dusun Buttutala, Kecamatan Malunda, lokasi penempatanku yang berjarak ± 95 km. Upacara bendera, anak-anak, ruang kelas, bayangan-bayangan itu yang membuatku kesetanan melaju di aspal Jalan Poros Majene-Mamuju. Wajah ceria anak-anakku ketika berangkat sekolah, tubuh kecil berbalut seragam sekolah di pagi hari yang masih berkabut dan terkadang gerimis kecil, suara mereka yang menyapa “Bu Guru” sambil bercerita tentang macam-macam kisah dengan Bahasa Mandar yang dipoles sedikit dengan Bahasa Indonesia, suasana seperti ini lebih menarik bagiku untuk datang ke sekolah daripada harus ketakutan dengan perjalanan seorang diri. Demi mereka, pagi ini aku menerjang dingin, gelap, dan kegamanganku pada jalanan berkelok. Beberapa saat setelah melewati jembatan, aku tersentak kaget dengan lubang besar di tengah jalan, keseimbanganku terganggu, akhirnya motorku oleng. Kepala terbentur aspal, mataku gelap karena darah yang mengucur, perlahan kekuatanku melemah, tersisa sedikit tenaga untuk menjerit minta tolong sebelum akhirnya kesadaranku menghilang.

                Ibu Dewi lah yang telah membawaku ke puskesmas dan menungguku hingga keluarga angkat datang, seseorang yang memiliki tangan ajaib yang dengan tangan tersebut tidak dikenalinya lagi orang asing atau keluarga dekat, diraihnya aku yang asing ini sedang terkapar di tengah jalan.

pernahkah kalian dengar kisah tentang tangan ajaib? Tangan yang lebih ajaib dari lampu wasiat aladdin”

               Bibir sobek luar dan dalam, pelipis sobek membelah sedikit alis, dan lutut yang lecet lumayan besar, barangkali bekasnya akan selalu membayang seumur hidup kecuali aku berani merogoh kocek untuk operasi laser ke dokter kulit. Bapak angkat, Pak Sandi (salah satu guru di sekolah tempatku mengajar), Pak Nas (Kepala sekolah), dan beberapa orang yang kenal dekat denganku mulai berdatangan ke puskesmas, termasuk Pak Maskuri (Kepala UPTD Malunda, kecamatan penempatanku). Tidak heran dengan respon mereka ketika pertama kali melihatku, “Astaga, anakku! Bagaimana bisa seperti ini?”, kemudian aku nyengir dengan muka setengah hancur. Pak Maskuri datang dan seketika itu menyelesaikan berbagai urusan administrasi, menjemputku untuk dirawat di rumahnya hingga kondisi stabil sekitar 3-4 hari dan mampu untuk menembus jalanan terjal menuju dusun. Selama di rumah beliau, tetangga dan masyarakat dusun datang berduyun-duyun untuk menjenguk dan memberikan support.

                Kutemukan lagi banyak tangan ajaib yang menarikku untuk segera bangkit, tangan dari manusia-manusia yang baru mengenalku selama 3 minggu. Iuran semangat yang mereka berikan telah menyuntikkan banyak kekuatan untuk segera pulih dan kembali berada di tengah-tengah mereka.

“Pernahkah kalian mendengar kisah tentang tangan ajaib? Tangan yang lebih ajaib dari  kantong doraemon”

                Langit-langit kamar jadi terlalu menjenuhkan, udara kamar jadi menyesakkan, aku rindu meniti kerikil-kerikil kecil menuju sekolah dan celoteh anak-anak yang mengiringi setiap kemana aku berpijak. Selama masa pemulihan, kuhabiskan waktu di ranjang, di toilet, dan di samping jendela kamar sembari menyaksikan anak-anak di kejauhan. Aku rindu mereka.

                Suatu siang diantara himpitan kejenuhanku, mereka datang dengan suara ribut-ribut. Anak-anak datang menjenguk dengan membawa kartu-kartu ucapan supaya saya segera sembuh dan kembali mengajar mereka. Kartu sederhana tapi apa yang ditulis anak-anak sangat dalam bagiku. Mereka bercerita tentang sekolah dan masjid selama kutinggalkan beberapa hari, tertawa, terkadang muka sebal dipasang oleh mereka karena dimarahi mamak-mamak di samping masjid. Siang itu, suara cempreng dan pijatan mereka berhasil mengusir kejenuhan dan kerinduanku.

                Bahkan tangan ajaib itu sesederhana kartu ucapan dan pijatan-pijatan kecil dari anak-anak yang menghantarkan banyak kekuatan untuk sembuh dan kembali berada di tengah-tengah mereka. Tiga minggu berada di Tanah Mandar dan saya merasa seperti berada di rumah, tanah dan orang-orang yang tak pernah menganggap saya asing.

 

Buttutala, Januari 2015

Dongeng sore untuk anak-anak dikemas dengan bahasa lebih sederhana

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua