Cahaya dari Puncak Buttu

RinaAnggraeni Safia 7 November 2015

Buttu* terkadang menghalangi matahari terbit atau terbenam dengan sempurna, tapi cahayanya tak pernah tertutupi, cahayanya berpendar ke penjuru langit.

            Kaki-kaki kecil berjalan beriringan, menempuh tanah liat kering dan jalan setapak yang sesekali turun dan naik. Mereka berceloteh dengan bahasa mandar gunung yang masih susah aku pahami, bercampur Bahasa Indonesia dengan susunan yang masih semrawut. Raut muka yang penuh kebahagiaan, bukan karena mereka sudah siap untuk menyingkirkan banyak saingan dari SD-SD unggulan di Kabupaten, tetapi mereka akan menginjakkan kaki di Kabupaten, momen yang mungkin hanya bisa mereka rasakan 2 atau 3 kali dalam setahun, atau bahkan tidak sama sekali.

           “Ibu guru, sini gitarmu. Biar kubawakan”, Rudi-siswaku yang cerdas- menarik gitar yang kupanggul sambil berjalan di belakang mereka. “Mana tasmu, Bu? Sini biar aku yang bawa”, Andri menawarkan pundaknya untuk membawakan ransel besarku. “Bu Guru, ini ambil rambutan, yang banyak”, Hasrina menyodorkan kresek besar berisi Rambutan dan memaksa untuk memenuhi lambungku dengan buah tersebut. Aku belajar banyak tentang ketulusan melalui anak-anak, barangkali sederhana apa yang mereka tawarkan untukku, bukankah tidak penting lagi sebesar apa bantuan yang kita berikan? Tapi sebesar apa ketulusan yang dihadirkan bersama bantuan tersebut?.

             Mobil sewaan telah siap mengantar anak-anak menuju Kabupaten yang jaraknya tidak dekat, melalui jalanan berkelok dan beberapa sisi jalan yang berlubang. Wajah berseri yang keindahannya mengalahkan matahari senja, keberuntungan ini hanya mampu aku nikmati saat mereka hendak ke Kabupaten dan momen seperti ini sangat langka.

          Wajah pagi yang tidak biasa, riuh rendah suara anak-anak yang tidak sabar menghadapi hari ini, hari pertama pertandingan. Halaman depan SMP Unggulan 3 Majene telah jadi lautan anak-anak yang hendak mengikuti perlombaan. Kami -aku, Hasrina, Nunu, dan Rudi- sontak kaget dan tergopoh-gopoh mencari ruangan. Hasrina mencari daftar namanya dengan seksama di setiap pintu masuk ruang kelas, “Ibu...Ibu...ini ada namaku”. “Mana, nak? Mana?”, kulihat satu per satu daftar nama peserta dan belum ketemu. “Ini Ibu. No 16”, dia menunjuk tepat di nomor urut 16. Kuikuti langkahnya memasuki ruangan, langkah yang ragu-ragu ataukah minder? Entah. Kupegang pundaknya, berusaha menyuntikkan kekuatan ke dalam dirinya, “Semangat ya, Nak! Kerjakan dengan tenang dan santai”. Tiba-tiba Hasrina mengambil telapak tanganku, menciumnya, lama, kemudian kuangkat wajahnya, dia menangis, “Doakan Hasrina ya, Bu!”. Antara terkejut dan terharu, sempat terpaku sejenak memandangi wajahnya yang hampir banjir oleh air mata, “Lihat, Ibu! Yang penting Hasrina berusaha sebaik mungkin, jangan pikirkan hasilnya dulu. Ibu percaya sama Hasrina. Ibu medoakan dari luar ya, nak”. Kembali aku dan Nunu tergopoh-gopoh mencari Rudi yang sudah pergi entah kemana, kutelusuri deretan daftar nama di kertas yang dipasang di depan pintu ruang lomba. “Ibu Guru, ini ada namanya Rudi!”, Nunu menunjuk salah satu nama di sana, dan lagi-lagi bukan aku yang menemukan nama siswaku di daftar tersebut, payah sekali. Kuintip isi ruang kelas dari balik pintu, dari sela-sela pintu yang terbuka sedikit. Rudi duduk tenang, sepertinya aura kecemasan yang membuatnya terdiam seperti patung di salah satu meja tersebut, tidak seperti Rudi yang biasanya. Nunu menarik-narik tanganku,”Ayo, Ibu! Cari ruangan saya”. Kami kembali tergopoh-gopoh mencari ruang seleksi, hampir melupakan Nunu yang juga akan mengikuti seleksi IPA. Kali ini aku yang menemukan daftar namanya, “Masuk, nak! Ini ruanganmu”. Dia berhenti dan menunduk, “Saya ingin Ibu Guru mengantar sampai meja”. Anak yang paling cerdas di sekolah, di saat teman-temannya mendapat nilai 50, dia selalu mendapat nilai di atas 70, sayang sekali dia tipe anak yang cukup pemalu berada di lingkungan baru. Kutarik tangannya pelan-pelan, berjalan menuju mejanya di salah satu sudut belakang ruangan. “Ganbatte Kudasai!”, bisikku di telinganya, kemudian dia tertawa kecil. Dia memang suka sekali menuliskan kata “Semangat” dengan Bahasa Jepang setiap kali menulis surat untukku.

                Seorang anak lelaki kecil, yang tingginya lebih mirip anak kelas 3 atau 4 SD dibandingkan kelas 6 SD, tengah duduk dengan tegang di salah satu kursi. Sesekali melihat sekeliling seperti mencari seseorang dengan raut muka cemas. “Nah...kenapa kamu, nak? Mencari Ibu? Ibu baru mengantar Nunu, Hasrina, dan Rudi mencari ruangannya”, aku menepuk kedua bahunya yang sangat kecil, dia cuma tersenyum. Namanya Rauf, seorang anak yang memiliki suara dan kemampuan musikalitas yang cukup bagus, dan ini kali pertamanya akan berada di atas panggung terbuka untuk lomba karaoke. Mendapatkan urutan nomor 1, sepertinya membuat dia sangat cemas, berulang kali dia bertanya yang sebenarnya lebih menunjukkan bahwa dia sedang tegang. “Ibu nanti saya bilang apa di atas panggung?”, “Ibu nanti saya perlu menyebutkan nama sekolah?”, “Ibu nanti setelah perkenalan langsung menyanyi saja?”, sederetan pertanyaan yang dia berondongkan kepadaku dengan muka yang sangat khawatir. Sampai akhirnya, gilirannya berdiri di atas panggung, menyanyikan lagu Bunda.

                Kubuka album biru, penuh debu dan usang

                Kupandangi semua gambar diri

                Kecil bersih belum ternoda

                Pikirku pun melayang, dahulu penuh kasih

Air mataku bergulir jatuh dengan sendirinya, bangga. Meskipun dia bernyanyi tanpa gaya, mungkin karena malu, tapi dia bernyanyi dengan hati. Seluruh penonton memberikan tepuk tangan yang sangat meriah. “Dari SD mana itu? bagus”, “SD Buttutala”, “Dimana itu?”, omongan-omongan di belakang yang merasa asing dengan nama SD kami.

          Di sisi lain, seorang anak bernama Gilang sedang berjuang di Meja tenis. Pak Nardi, Pak Khairil, Pak Patria dan beberapa teman-temannya mendampingi serta turut memberikan dukungan. Tak berbeda dengan Rauf, Gilang pun memiliki badan kecil, dibandingkan dengan lawan-lawannya, badan Gilang yang paling kecil. Dia kecil, tapi gesit. Dan hari ini, kegesitannya telah membawanya menuju babak penyisihan. Dan lihat, bahkan apa yang kami dapatkan hari ini melebihi ekspektasiku. Gilang lolos ke tahap semifinal Tenis Meja, Rauf lolos ke tahap final, dan Rudi lolos ke tahap praktek Matematika.

     Pagi yang lain, tidak seperti kemarin, hari ini mereka lebih bersemangat. Mereka mulai optimis bahwa sesungguhnya mereka bisa berprestasi layaknya anak-anak di kota. Dan hari ini, Gilang dan Rudi akan memperebutkan juara, sedangkan Rauf akan maju di Final tanggal 27 Februari 2015. Hari ini, Nunu juga akan mengikuti lomba da’i cilik. Semenjak pagi, Nunu sudah berbisik kepadaku, “Ibu Guru, saya tidak usah maju saja ya”. Dia malu, sindrom yang selalu menjangkiti hampir seluruh anak-anak dari pedalaman. Akhirnya, aku dan Nunu duduk di depan sebuah panggung terbuka, dimana Nunu akan tampil di sana dan disaksikan oleh banyak orang. Tiba-tiba dia menangis, aku kebingungan, cuma kuberikan tissue untuk menghapus air matanya dan kubiarkan dia menangis beberapa saat, kemudian kubisikkan sesuatu kepadanya, “Ibu tidak perlu Nunu untuk menang, yang penting Nunu sudah berani tampil, itu sudah sangat berharga buat Ibu”. Dia masih sesenggukan beberapa saat, minta diantar ke toilet, dan bertanya, “masih berantakan kah jilbabnya Nunu, Bu?”. Kurapikan kembali jilbab dan wajahnya yang sembab karena menangis. Kami kembali ke depan panggung dan hari ini Nunu menjadi seorang da’i cilik dengan sangat membanggakan. Tak masalah dia tidak lolos ke babak final, karena hari ini Nunu telah menjadi pemenang untuk dirinya sendiri, dia berhasil mengalahkan ketakutannya.

         Sore ini, sebelum anak-anak pulang, kubawa mereka ke laut. Mereka berenang dan meloncat dari tembok, membebaskan kebahagiaan sekaligus keletihan mereka setelah beberapa hari mengikuti perlombaan. Dan cukuplah perasaan sebagai seorang Ibu kepada anak-anaknya, perasaan cemas, bangga, terharu, bahagia, dan cinta. Terima kasih telah memberikan perasaan-perasaan ini kepadaku, Nak. Sore beranjak menuju petang, gelap mengawal di beberapa sudut, yang pada akhirnya mengajak kami untuk segera beranjak pulang. Seluruh lelah atas perjuangan kami beberapa hari kemarin akan terbayarkan nanti di malam final, kami menunggu Rauf untuk memberikan suara terbaiknya di malam final, “Siap, Nak?”, “Siap Ibuuuuu!” pekiknya di telingaku.

~Bersambung~

 

Buttutala, Februari 2015

Suatu malam yang gelap tanpa penerangan sembari menikmati kasur yang tidak seberapa empuk

 

*Buttu = Gunung


Cerita Lainnya

Lihat Semua