Cahaya dari Puncak Buttu (2)

RinaAnggraeni Safia 7 November 2015

“Ibu Guru tidak usah ikut mengantar Rauf karaoke ya di malam final nanti?”, candaku dengan raut muka serius ketika melatihnya bernyanyi.

“Saya tidak mau menyanyi kalau tidak ada Ibu Guru”, protesnya dengan kedua alis mata yang  saling beradu.

“Ya sudah, tidak usah ikut final saja ya”, jawabku sekenanya.

“Arghhhh...Ibu Guruuuu!”, jeritnya dengan nada khasnya yang membuatku ketagihan untuk selalu menggodanya, kemudian setelah itu aku akan tertawa terbahak-bahak, sedangkan dia akan menggerutu tanpa berhenti.

                Gerimis masih belum berhenti, gelap membungkus wujudnya sehingga hanya gemericik air di atas genteng sebagai isyarat bahwa butiran airnya masih berjatuhan. Kami –aku, Pak Nardi, dan Rauf- masih berlatih vokal dan penghayatan lagu untuk persiapan final karaoke di Kabupaten. Berbarengan dengan briefing Kelas Inspirasi #2 Majene, sehingga daftar pekerjaanku sebagai salah satu fasilitator event sekaligus seorang Ibu Guru harus dibagi sesuai porsinya supaya tidak ada yang terbengkalai. Malam ini merupakan kesempatan terakhirku melatih Rauf benyanyi, karena besok ragaku harus sudah berada di Kabupaten Majene untuk mempersiapkan briefing Kelas Inspirasi #2 Majene.

                “Nardi, jangan lupa berangkatnya pagi-pagi. Aku mau nyariin kostum dulu buat Rauf”, pesan singkat terkirim pagi buta kepada Pak Nardi, Guru Honorer sekolah yang kerap kali kusapa tanpa embel-embel “Pak” karena usia yang masih seumuran dan barangkali karena kami sering terlibat event atau kegiatan informal bersama-sama sehingga embel-embel tersebut luntur pelan-pelan.

                Tepat hari ini merupakan hari pertandingan Rauf. Tapi sampai jam 10.00 WITA, Pak Nardi dan Rauf belum kunjung datang. Sambil mempersiapkan acara briefing nanti siang, sesekali kuperiksa telepon genggam, berharap ada kabar dari Pak Nardi. Penunjuk waktu di pergelangan tangan telah menunjukkan pukul 11.00 WITA ketika Pak Nardi dan Rauf datang. Sontak aku berlari ke arah mereka, “Duh...kenapa lama sekali?”

“Iya, maaf Rin. Tadi Rauf belum bangun. Kami tidur larut malam karena latihan lagi”, Pak Nardi menjawab dengan nafas yang masih turun naik.

“Harusnya tadi disiram air saja, Nardi”, jawabku, lagi-lagi dengan nada serius.

“Arghhhh...Ibu Guruuuu!”, kembali jeritan khas itu yang meluncur dari mulutnya.

         Setelah meminta izin kepada panitia Kelas Inspirasi, aku membawa Rauf untuk memenuhi perutnya yang keroncongan dan berkeliling untuk mencari kostum. Beberapa tempat disinggahi untuk mencari kostum yang cocok, panas menyengat sampai ke ubun-ubun. Kulirik Rauf, si kecil bersuara khas, tampaknya dia juga mulai nampak keletihan dan kepanasan.

“Ya sudahlah, nak. Kalau tidak dapat kostum, kamu pakai sarung saja ya?”, tanyaku dengan santai.

“Arghhhh...Ibu Guruuuu!”, lagi-lagi jeritan itu yang spontan keluar dari mulutnya.

         Sampai akhirnya, kami berhenti di salah satu toko, dengan membawa sisa-sisa harapan bahwa kami akan menemukan kostum yang diinginkan. Hampir seluruh  etalase kaca kami bongkar, semua gantungan baju tak luput dijelajahi, tapi nihil. Tiba-tiba...

“Ini saja, Bu. Maiko (Kesini), Bu Guru!”, Rauf menarik tanganku untuk menilik sebuah kostum, setelan jas hitam kecil, kemeja putih berlengan panjang dengan hiasan renda sederhana di samping kancing baju, beserta celana hitam. Seleranya tidak terlalu rendah juga untuk ukuran anak-anak pegunungan dan pedalaman. Kami mencoba terlebih dahulu, berharap kostum tersebut tidak terlalu kecil untuk Rauf. Barangkali, setelan jas hitam ini memang berjodoh dengan Rauf.

           Waktu menunjukkan pukul 15.00, setelah mempersiapkan kostum Ra’uf, kami segera berangkat ke lokasi final dengan tergesa-gesa. Sesampainya di lokasi, kami mengambil nomor undian, nomor 6. Detik-detik penantian inilah yang paling mendebarkan bagi Ra’uf, pasang muka murung, antusias terhadap penampilan finalis lain makin tinggi, dan keringat yang sebesar biji jagung mulai bermunculan di sekitar dahi. Tidak seperti finalis lain yang berasal dari SD unggulan di Kabupaten, mereka membawa sangat banyak supporter, kami hanya datang membawa segenggam harapan. Aku berkelakar sepanjang penantian tersebut, “Ya ampun, nak. Itu keringat apa biji  jagung?”. Dia tertawa disusul raut muka gelisah kembali. Lima menit sebelum berdiri di atas panggung, ketakutannya semakin menjadi. “Ibu, nanti saya lewat sebelah mana?”, “Ibu, bolehkah saya lewat sebelah sana?”, “Ibu, tapi saya malu lewat sana, lewat sini saja ya?”, macam-macam pertanyaan menyerangku bertubi-tubi, terlihat betul bahwa Ra’uf mulai gugup.

          Tubuh kecil di tengah panggung yang lumayan besar, hampir aku pun tidak percaya bahwa dia akan berdiri di sana, diantara para finalis yang berasal dari SD unggulan di Kabupaten Majene. Sejenak aku merasakan bahwa jantungku berdetak lebih kencang, kecemasan yang melakukan kudeta secara tiba-tiba. Lagu pertama selesai dinyanyikan, sempat tersendat suaranya karena sendawa yang mendadak hadir. Lagu kedua mulai dinyanyikan,

“Lagu ini saya persembahkan untuk guru yang pernah mengajar saya dan sekarang telah pulang kembali ke kampungnya”, iringan musik terdengar sendu, bulu kuduk tiba-tiba merinding

I’ omo cinna mata’u

Sangga I’o dilalang diateu

Membolong tama di ate mapacinmu

Mokara’ namerasai panoso

Tenna nariandi da’duau dilalang di atemu

Bawama’ lao dilino tammembali’

Sembangamma dau muingaran bomi

Oguru polemo’ mai

Bawama saliliu

Paulianna nyawau

Sawa’ sangga i’omo’ papperandanna nyawau

Andian..andian..da’duamu

            Dan entah sudah yang keberapa kalinya, dia berhasil membuatku air mataku runtuh. Lagu mandar ini memang aku dan Pak Nardi pilihkan, karena lagu ini pernah dinyanyikan oleh Pak Ifan –Pengajar muda VII sebelumnya-, sehingga akan memberi efek dramatis untuk Ra’uf yang baru sebulan ditinggalkan oleh Pak Ifan. Tapi, kami tidak pernah menyangka akan menembus perasaan terdalam kami juga. Ra’uf turun dari panggung dengan nafas yang dilepas sebebas-bebasnya. Kuacak-acak rambutnya yang kaku karena gel rambut dari Pak Patria. Dia tidak terima dan kembali mengeluarkan jeritan khasnya, “Arghhhh...Ibu Guruuuu!”.

         Malamnya merupakan acara penutupan sekaligus penyerahan hadiah. Kami membawa oleh-oleh untuk dibawa ke Buttu, Gilang mendapatkan juara harapan 1 Lomba Tenis Meja dan Ra’uf mendapatkan juara harapan 3 Lomba Menyanyi Tunggal. Barangkali di ruang hati yang entah berada di sebelah mana, Ibu Guru berambisi untuk membuatmu menjadi juara. Tapi, melihatmu bisa berada di atas panggung, merobohkan segala ketakutan dan rasa mindermu, adalah sesuatu yang sangat luar biasa untuk ibu. Ambisi Ibu Guru lenyap entah kemana. Cukuplah aku menjadi seorang teman, seorang sahabat, seorang ibu, dan seorang guru yang ingin mempersembahkan sepenggal waktu yang tidak lama ini dengan hal-hal yang sangat berharga, lebih dari sebuah kemenangan, tapi waktu untuk tertawa, untuk bermain, untuk belajar, untuk menjadi baik, dan untuk mencari pengalaman.

 

Cahaya itu berpendar ke penjuru langit seperti kalian, anak-anak sederhana dari daerah antah berantah.

 

Buttutala, Februari 2015

Suatu malam yang gelap tanpa penerangan sembari menikmati kasur yang tidak seberapa empuk

 

*Buttu = Gunung


Cerita Lainnya

Lihat Semua