info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Tenun Kebangsaan: Penggemar Buya Hamka dari Dana Mbojo

Rika Amelia 19 Oktober 2013

Nama Buya Hamka mungkin tak lagi asing terdengar, terlebih semenjak 2 buku maha karyanya diangkat menjadi film layar lebar dengan settingan alam Minangkabau lengkap dengan budaya dan tradisi yang membumbui cerita tersebut.  For your information, Buya Hamka adalah sastrawan legendaris Sumatera Barat yang telah menghasilkan banyak karya sastra yang menurut saya luar biasa (dan menurut banyak orang juga sih). Di dalam semua ceritanya, beliau tidak pernah absen mengangkat kearifan lokal budaya Minangkabau. Salah satu karya beliau yang sangat fenomenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sebuah karya yang sarat akan nilai adat dan budaya dibalut dengan kisah percintaan antara Zainudin dan Hayati .

Kisah cinta antar dua insan dengan latar belakang budaya yang berbeda ini memiliki konflik disana sini yang menambah indahnya kisah romansa dua anak manusia ini. Jauh sebelum film Titanic ada, Mungkin cerita ini telah habis menguras air mata jutaan penikmat karya hamka. Prediksi saya, Jika Hanum bisa menggarap film ini dengan baik, Tenggelamnya Kapal Van der wijk akan menjadi film sepanjang masa layaknya Titanic.

Saya pribadi merupakan penggemar Hamka yang menggemari beliau dengan tidak sengaja. Kalau saja guru Bahasa Indonesia saya di SMA tidak pernah memberikan tugas resensi buku balai pustaka dan kalau saja saya tidak bertemu Hamka junior yang selalu dengan semangat bercerita tengtang Buya Hamka, mungkin saya hanya terkagum-kagum dengan JK Rowling, Andrea Hirata, Donny Dirgantoro. Jauh sebelum penulis-penulis kenamaan ini dilahirkan, Sumatera Barat ternyata sudah memiliki penujlis maha dahsyat yang tak pernah membuat saya berhenti mengaguminya. Singkatnya, pandangan subjektif semi objektif saya memandang bahwa beliau memang tak ada tandingannya.

Yang paling mengejutkan adalah dahsyatnya pesona beliau yang bahkan mampu menarik perhatian penggemarnya yang bahkan sangat jauh dari Sumatera Barat ,yakni disini di Dana Mbojo (Tanah Bima).  Seorang guru nyaris paruh baya yang saya temui di sekolah ketika saya baru pertama kali menginjakkan kaki disana bertanya "Darimana asalnya Ana (Nak)?" "Padang, Ibu." jawab saya sekenanya. "Wah..Padang Sumatera Barat? Tempat asalnya Buya Hamka ni?"  Takjub, ya..saya hanya bisa takjub seketika  "Ya....Umi Tahu Buya Hamka ni?" jawab saya masih tak percaya. Umi Sei, begitu wanita ini akrab dipanggil, menjawab dengan semangat "Ya tahu ini ana.., umi suka sekali membaca karya beliau saat umi muda dulu. Apalagi kisah Zainudin dan Hayati di buku apa kombi itu judulnya..." 'tenggelamnya Kapal Van Der wijk" jawab saya masih dengan takjub.

Dan kami pun bercerita panjang tentang betapa bagusnya pemilihan kata Hamka, betapa Umi begitu mengagumi nama-nama indah yang menjadi karakter di dalam cerita Hamka, betapa Umi ternyata juga mengagumi karya Hamka yang lain seperti Di Bawah Naungan Ka'Bah dan lain-lain, betapa..betapa..betapa dan betapa saya sangat terkesima dengan wanita yang satu ini.

Saya pun terniat untuk mencarikan buku-buku Hamka untuk Beliau. Akhirnya, dengan bantuan seseorang yang sangat baik (Hamka junior yang lahir dan besar di Maninjau layaknya Buya Hamka), saya berhasil mewujudkan keinginan wanita luar biasa ini membaca kembali buku-buku Hamka. Hamka Junior saya ini mengirimkan tiga buku Hamka yang sangat fenomenal setelah bersusah payah hunting buku-buku ini kesana-sini. Mata Umi berbinar-binar bahagia saat saya berikan bingkisan buku hamka yang dikirim langsung dari Padang. Setiap kali mampir ke rumah beliau, 3 Buku ini selalu ditaruh rapi di ruang tamu tua beliau yang bebas debu (itu karna umi yang satu ini alergi debu)

Setiap harinya jika sedang istirahat di sela-sela jam mengajar yang cukup padat untuk wanita seusia beliau, umi tampak sibuk membaca buku favoritnya itu. Setiap kali dia membaca nama satu daerah di buku tersebut, dia akan bertanya kepada saya dimana daerah itu berada. Semisal ia bertanya "Ana e.., Padang Panjang itu jauh kah dari Padang?" " 2 jam perjalanan umi, kenapa umi?" "itu kan tempatnya Hayati bersekolah." Sejenak saya dan umi kembali terhanyut ke dalam cerita-cerita tentang tempat-tempat dan budaya-budaya Minangkabau.

Tak banyak memang yang saya ketahui tentang budaya Minangkabau. Namun berbekal pelajaran Muatan Lokal Budaya Alam Minangkabau yang saya jajal seadanya di bangku SD dan SMP saya pun bercerita kepada umi tentang apa saja yang saya tahu tentang adat di Ranah Minang. "Jadi kalau di Pariaman itu, Wanita yang memberi mahar kepada pria?" Umi bertanya dengan penuh semangat "Err..bukan Mahar juga sih umi..biasa disebut uang eh penjemput, hmm... semacam bayaran adat yang harus dibayar pihak wanita kepada pihak laki-laki." jelas saya dengan penuh eh.-ah-hmm. "semoga ana Rika tidak dapat orang Pariaman ya..kasihan sekali kalau harus bayar-bayar begitu..." Umi berkata dengan serius namun kocak bagi saya. Dengan setengah bercanda saya menimpali keseriusan umi "Ya...doakan saja saya sama orang Maninjau kaya Buya Hamka Umi..." Kamipun tertawa dan kembali bercerita tentang ini itu.

Perasaan yang sangat unik selalu saya rasakan ketika bercerita singkat dengan Umi tentang Hamka dan Sumatera Barat yang tak bisa saya sangkal selalu saya rindukan. Perasaan yang jauh lebih menyenangkan daripada berkunjung ke rumah makan Padang untuk sekedar melepas rindu menikmati aroma Padang dan ngobrol sekenanya dengan pemilik rumah makan Padang tersebut, sekedar memanjakan lidah saya mencicipi masakan Padang dan berbicara bahasa awak. Setiap kali kami bercerita, memori saya seolah terbang dengan pesawat Wings Air dari Bandara Sutan Salahuddin Bima langsung ke Bandara Internasional Minangkabau tanpa transit sana-sini.

Jika dalam 1 tahun penugasan ini saya rindu Ranah Minang, mungkin saya akan berkunjung saja ke rumah Umi Sei dan bercerita tentang Hamka, Minangkabau, dan seisinya yang sangat saya rindukan.  Lagi-lagi, inilah wujud dari Tenun Kebangsaan yang sering sekali disebut-sebut oleh Bapak Anies Baswedan, sosok lain yang tak kalah menyita perhatian saya selain Buya Hamka. Ya, Tenun Kebangsaan menyatukan dua budaya, kebiasaan, cerita, adat istiadat yang berbeda dalam satu tenunan yang kelak teruntai indah.

Umi sering sekali berkata "Kalau panjang umur nanti dan punya cukup rezeki, ingin sekali Umi bisa kesana,,ke tempat Hamka.., Atau paling tidak Umi akan kirim anak cucu umi kelak untuk kuliah disana ana e..."

"InsyaAllah Umi, jikapun Umi tak bisa ke tempat Buya Hamka, nanti saya bawakan saja Hamka junior buat Umi...Suatu saat umi pun juga akan kagum dengan karya orang yang satu ini.." Saya membatin dan imajinasi saya melayang ke ranah yang hanya saya dan tuhan yang tahu, mungkin saja ke tempat hamka junior. :)

 

Paradowane, pertengahan oktober ini menjelang musim berburu kemiri...


Cerita Lainnya

Lihat Semua