Seandainya Guru Bisa Membelah Diri

Kristian Patrasio 19 Oktober 2013

Siang itu matahari begitu terik. Itu menambah panasnya suasana ketika saya harus bolak-balik antara kelas 4 dan kelas 6. Ketika saya mengajar di kelas 4, anak-anak kelas 6 akan menunggu di depan pintu dan memanggil saya untuk segera datang ke kelas mereka. Saya pun pergi ke kelas 6 dan kondisi yang sama berulang, anak-anak kelas 4 menghampiri saya dan memanggil saya untuk segera datang ke kelas mereka. Anak-anak kelas 6, yang tidak ingin berbagi guru, menyoraki anak-anak kelas 4. Anak-anak kelas 4 balas menyoraki anak-anak kelas 6. Pecahlah perang suara antara murid-murid kedua kelas tersebut.

Hampir setiap hari saya harus mengajar kelas rangkap. Maksudnya, pada jam pelajaran yang sama, saya harus mengajar lebih dari satu rombongan belajar (rombel). Saya kebagian menjadi wali kelas 6, sehingga tugas utama saya adalah mengajar kelas 6. Namun, beberapa waktu yang lalu, wali kelas 4 mengundurkan diri. Akhirnya terjadilah kekosongan. Saya dan wali kelas 5 harus bergantian mengajar di kelas 4. Tidak hanya itu, seminggu sekali saya juga harus mengajar rangkap antara kelas 6 dan mengajar pelajaran Agama Kristen kelas 1 & 2. Sekolah kami memang belum memiliki guru mata pelajaran Agama secara khusus.

Itu adalah kondisi reguler. Tidak jarang juga terjadi ada guru lain yang tidak masuk. Artinya, saya dan guru-guru yang masuk harus berbagi tugas untuk mengajar di kelas yang gurunya tidak masuk tersebut. Secara keseluruhan, hanya kelas 3 yang belum pernah saya masuki. Bersyukur sekali, kami pernah diberikan materi tentang mengajar di kelas rangkap saat pelatihan. Belajar dari pengalaman, mengajar kelas rangkap adalah hal yang hampir pasti ditemukan oleh setiap Pengajar Muda. Karena itulah, pihak Indonesia Mengajar memberikan materi tersebut. Sebenarnya saya juga terhitung beruntung, karena apabila mendengar cerita dari teman-teman PM yang lain, ada yang sampai mengajar rangkap 6 kelas sekaligus dalam 1 hari. Edan.

Mengajar kelas rangkap menjadi hal yang lazim bagi guru-guru di sekolah-sekolah di daerah yang terhitung pelosok. Mengapa bisa terjadi seperti demikian? Jawabannya mudah, sekolah-sekolah tersebut kekurangan guru. Mengapa bisa kurang? Di sinilah jawaban mulai menjadi rumit. Kita bisa segera berasumsi bahwa jumlah guru, khususnya yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), di suatu daerah masih kurang. Sepertinya memang kurang. Tapi, terkadang yang sebenarnya terjadi bukanlah kekurangan guru, melainkan distribusi guru yang tidak merata.

Pernah suatu kali saya mengikuti rapat K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) di UPT (Unit Pelaksana Teknis) kecamatan saya. Saat itu setiap kepala sekolah melaporkan jumlah murid, jumlah rombel, dan guru PNS yang ada di sekolah mereka. Sekolah saya sendiri, SDN 05 PB Penai, tahun ini memiliki 224 siswa, yang terbagi dalam 9 rombel (kelas 1, 2, dan 4 memiliki dua rombel). Jumlah guru PNS selain kepala sekolah? Hanya 1 orang. Lalu ada sekolah lain, yang memiliki jumlah siswa hanya setengah dari sekolah saya dan jumlah rombel 6, memiliki guru PNS sampai 7. Rupanya, sekolah tersebut berada dekat jalan lintas antar kabupaten. Sementara sekolah saya berada cukup jauh dari jalan lintas.

Kalau masalahnya adalah distribusi guru yang tidak merata, kita pasti akan langsung menengok pemerintah. Di Kapuas Hulu, yang berwenang untuk melakukan penempatan-penempatan guru-guru PNS adalah Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Kami pun sempat berdiskusi dengan salah satu stafnya mengenai isu tersebut. Beliau berkata bahwa memang salah satu kendala yang dihadapi adalah dari sisi integritas guru itu sendiri. Banyak guru-guru yang enggan ditempatkan di sekolah-sekolah yang berada di desa-desa yang tergolong pelosok. Masalah-masalah seperti akses transportasi, ketiadanyaan sinyal dan listrik, perbedaan suku dan agama si guru dengan warga desa, menjadi beberapa hal yang membuat mereka enggan. Akhirnya, guru banyak menumpuk di ibukota kabupaten atau di beberapa kecamatan yang dekat dengan jalan lintas kabupaten itu tadi.

BKD sendiri ternyata sudah memiliki aturan yang menyebutkan bahwa seorang guru PNS tidak bisa dimutasi ke daerah lain sebelum 5 tahun penempatan di suatu sekolah. Namun, banyak kasus terjadi di mana seorang guru asal daerah A yang ditempatkan di daerah B, lebih banyak berada di kampung halamannya dari pada di daerah tempat tugasnya. Sanksi pun sudah ada untuk guru-guru yang melanggar aturan tersebut. Hanya sayang, penerapan sanksi tersebut masih belum berjalan. Salah satu alasannya adalah mempertimbangkan faktor kemanusiaan. Rupanya ratusan anak-anak yang tidak memiliki guru bukanlah faktor kemanusiaan yang perlu dipertimbangkan.

Sampai di sini, sepertinya masalahnya memang berada pada dua tataran. Pertama, pada masalah kebijakan pemerintah daerah yang belum menjalankan mekanisme pengawasan dan sanksi dengan tegas. Kedua, pada sisi integritas guru, yang banyak sekali enggan ditempatkan di desa-desa pelosok, apalagi kalau itu bukan kampung halaman mereka. Tentu saja itu bukan generalisasi dari kondisi semua guru yang ada di Kapuas Hulu. Masih banyak sekali guru-guru, baik PNS maupun honorer, yang sangat berdedikasi dan bisa diteladani.

Lalu bagaimana solusinya? Dalam waktu jangka pendek dan menengah ini, BKD memang sedang menggodok sebuah regulasi yang lebih tegas mengatur penempatan guru, sambil berupaya berbenah agar bisa menerapkan mekanisme sanksi dengan lebih tegas. Selain itu, juga sedang ada pendaftaran formasi guru PNS, yang sayangnya kuotanya hanya sedikit, sekitar 35 formasi untuk guru SD se-kabupaten. Namun, percuma saja terus menambah jumlah guru PNS kalau ujung-ujungnya mereka hanya mau ditempatkan di kota. Sepertinya mengubah kebiasaan kurang baik seperti itulah yang akan memakan waktu lebih lama. Sambil terus berupaya mencari solusi, sepertinya tidak ada salahnya kalau kita berandai-andai, seandainya guru di daerah pelosok bisa membelah diri.


Cerita Lainnya

Lihat Semua