Cinta ayah yang tak sama lagi – Bagian dua

Ridwan Gunawan 16 Agustus 2013

Begitu sulit untuk menjelaskan ke papa bahwa keputusan mengundurkan diri dari perusahaan dan ikut di yayasan adalah pilihan yang sudah kupikirkan secara matang.

 

“Pah! Ini sudah menjadi keinginanku sejak 2 tahun yang lalu”

 

Papa diam. Papa selalu begini, tenang tapi dalam. Tatapan matanya melankolis. Aku tahu papa sebetulnya tidak setuju.

 

Umurku 23, aku sudah bekerja, memiliki penghasilan sendiri, dan papa ingin anak laki-lakinya segera punya keluarga, rumah, asuransi  dan kendaraan sendiri.

 

-<>-

 

“Pak guru, cita-citaku ingin menjadi TNI. Gimana pak caranya biar menjadi TNI?”

 

Salah satu muridku yang sedang berkunjung ke rumah tinggalku selama di penempatan, Armadi atau Dedet biasa ia dipanggil. Badannya kecil, padahal sudah kelas enam, kulitnya putih dan rambut cepak agak kemerahan membuat dirinya lebih tampak seperti orang Tibet daripada orang Indonesia. Tatapan matanya cerdas, dan selalu cerewet bertanya ini dan itu. Memang kritis, tapi bila aku sedang terlalu kesal dengan serbuan pertanyaannya kadang hanya kujawab, “Det... setiap pertanyaan pasti punya pasangan jawabannya, tapi sabarlah... tinggal menunggu waktu untuk mempertemukan keduanya.”

 

Walau begitu, pertanyaa Dedet malah mengusik pikiranku. Aku sendiri bingung dengan apa yang aku cita-citakan. Sejak kecil, aku punya cita-cita pertama yang aneh, yaitu menjadi sopir truk. Kelihatannya keren. Yang aku tahu, bila aku mengatakan cita-citaku ini di kelas sewaktu SD, guruku pasti akan menjewer dan menyuruhku memikirkan ulang cita-cita. Oleh sebab itulah setiap aku ditanya apa cita-citamu, aku pasti menjawab ingin menjadi insinyur. Walaupun pekerjaan terakhirku memang betulan menjadi insinyur tapi sebetulnya insinyur keuangan. Hehehe.  

 

-<>-

 

Ketika umurku 15, saat aku kelas dua SMA. Aku mulai ikut organisasi pencinta alam. Mendaki gunung, tracking, rafting dan sebagainya. Mama dan papa sangat mendukung kegiatanku ini, karena dianggapnya positif dan akan membuatku belajar lebih banyak hal melalui alam.

 

Dalam setahun aku bisa mendaki lima sampai enam gunung. Kesibukkan baruku ini tidak mengganggu sedikitpun nilai pelajaran, di mana ketika itu sudah mulai penjurusan, dan aku di IPA. Tapi yang berkurang adalah perhatianku terhadap keluarga. Aku lebih jarang kumpul keluarga.

 

Umur 16 tahun, mama mulai sering masuk rumah sakit karena kanker yang dideritanya. Tapi kegiatan naik gunung tidak pernah absen kutinggalkan. Kakak perempuanku dan papa yang lebih sering menemani mama di rumah sakit selama aku bepergian.

 

Bulan agustus 2006, kakak perempuanku menikah. Proses pernikahan dilaksanakan di rumah. Ketika itu mama sudah memakai selang-selang kecil yang terhubung dengan tabung oksigen yang dimasukkan ke dalam hidungnya untuk membantu pernapasan.

 

Dua minggu kemudian mama meninggal di waktu maghrib. Di mana paginya aku baru saja pulang dari gunung Lawu, seusai acara serah terima jabatan. Papa menangis sejadi-jadinya di samping tubuh mama yang sudah tidak bernafas. Aku hanya memegangi telapak kaki mama. Yang katanya surga ada di telapak kaki ibu. Itu adalah saat-saat terakhir aku mencium telapak kaki mama. Masih berharap apakah ini saat terakhir aku memandang surgaku.

 

Selama seminggu papa menjadi pendiam. Papa bukan papa yang dulu lagi.

 

Setahun kemudian papa menikah lagi. Bagiku dan kakakku, pernikahan ini demi menjaga mental papa. Sekaligus menjadi teman papa menikmati masa-masa tuanya. Karena aku mulai kuliah dan kakak sudah menikah dan tidak bisa selalu menemani papa.

 

-<>-

 

Kadang setiap pagi, Dedet datang ke rumahku. Biasanya dia membaca koleksi buku yang kubawa dari tanah Jawa di penempatan atau berlatih menjawab soal matematika yang kuberikan.

 

“Pak, ini sudah selesai pak matematikanya. Tapi aku ga yakin betul semua pak”

 

Dedet selalu begitu, padahal ia anak lelaki yang lincah dan kuat. Setiap pagi selalu membantu orang tuanya di kebun. Ikut nako’ bahkan juga ngangkit. Tapi Dedet suka rendah diri bila di depanku. Padahal jawaban dari soal yang kuberikan dijawabnya dengan benar semua. Apalagi anaknya kritis dan selalu bertanya di kelas.

 

“Det, kamu percaya kalau kamu spesial di talang ini dibandingkan dengan teman-temanmu?”

 

Dedet menatapku, menggeleng pelan.

 

“Kalau kamu terus belajar dengan serius, kelak kamu betulan akan menjadi TNI”

 

Dedet sedikit melongo. Kututup mulutnya yang menganga dengan tangan kananku. Lucu sekali tingkah Dedet. Atau memang karena gurunya yang aneh.

 

-<>-

 

Setelah papa menikah lagi, papa sudah tidak seperti dulu. Perhatian papa jauh lebih condong kepada ibu baru. Selain itu kondisi tubuh papa juga semakin lemah karena penyakit gulanya. Papa kena diabetes akut.

 

Aku juga semakin menyibukkan diri di kampus. Ikut organisasi pers, himpunan mahasiswa, ikut diskusi dengan gerakan mahasiswa baik di dalam dan di luar kampus, bepergian keluar kota untuk urusan gerakan mahasiswa, kadang masih naik gunung pula, menjadi asisten dosen dan di sela-sela waktu kuliah dan organisasi mengurusi warung makan kecil yang didirikan kakakku denganku.

 

Sejak meninggalnya mama, aku jarang sekali pulang ke rumah. Aku menjadi acuh kepada keluarga. Aku kehilangan kasih sayang dari papa. Atau sebetulnya hatiku yang sudah membatu terhadap cinta papa kepadaku.

 

Sampai hari-hari sebelum keberangkatanku mengikuti yayasan ini, aku masih jarang bertegur sapa lagi dengan papa. Bahkan keberangkatanku di pagi hari menuju kantor yayasan tanpa adanya cium tangan papa atau selayaknya seorang anak yang akan pergi lama. Apakah aku sudah menjadi anak durhaka?


Cerita Lainnya

Lihat Semua