Tenun Kebangsaan itu bernama "Keluarga"

Rika Amelia 18 Oktober 2013

 

Pagi ini, untuk kedua kalinya dalam tahun ini, takbir syahdu berkumandang dari toa masjid yang terletak tepat di sebelah rumah saya. Suara serak si penjaga mesjid karna sudah melantunkan takbir semalaman membawa ingatan saya hanyut menuju rumah beberapa pulau dari sini. Sedih? Cuma malaikat yang tidak sedih dengan suasana begini. Biasanya, pagi hari di hari raya idul adha mama saya sudah hilir mudik kesana kesini mempersiapkan segalanya yang akan dinikmati bersama di rumah seusai menunaikan sholat di masjid. Walaupun hanya suguhan mie goreng dan lontong sayur khas mama, saya sudah cukup menanti-nantikan datangnya hari raya ini. Sekedar berkumpul dengan keluarga dan menyaksikan penyembelihan hewan sudah cukup menghibur.  Saya jauh dari mereka dengan perasaan rindu yang membuncah, apakah itu sebuah pengorbanan? Singkatnya, ya! Itu adalah sebuah pengorbanan.

 

Disini, pagi ini, sholat idul adha berjalan khidmad di masjid setempat. Usai sholat semua bersalaman, pulang, dan SING....selesai. Tidak ada hidangan istimewa atau kegiatan kumpul bersama keluarga. Seorang guru yang sudah saya anggap sebagai ibu sendiri datang mengajak saya pergi ke sawah sepupunya di La Rosi berlokasi di desa sebelah. Jalan menuju La Rosi bisa ditempuh dengan motor. Naik turun dan akhirnya tibalah di pinggir swah yang terbentang menguning, mengobati semua perasaan rindu yang membuncah. Sawah yang menguning itu seakan merentangkan tangannya begitu lebar, merangkul kedatangan kami disana dan membawa kami hanyut ke dalam kekaguman mengagumi indahnya pemandangan sawah yang dikelilingi bukit-bukit yang ikut menguning karena tandus.

 

Di sini, di la rosi saya bertemu dengan empunya sawah, Pak Furqan sekeluarga. Pak Furqan merupakan sepupu Umi Sei yang mengajak saya kesini. Mereka berdua sama-sama guru di SDN Paradowane, tempat saya 8 bulan ke depan masih akan tetap mengabdi. Fak Furqan sekeluarga tampak sibuk mempersiapkan hidangan spesial khas Parado. Adik-adik beliau sibuk memarut kelapa untuk urap khas Parado, Bapak sibuk mencabuti kulit ayam yang akan di bakar, Ibu Asni sibuk mengiris terong gatal untuk dijadikan sambal yang lagi-lagi semuanya khas Parado. Terong gatal? Ya, sejenis terong bundar yang berukulan sangat kecil yang di dalamnya dipenuhi biji yang harus dipisahkan. Konon katanya caru poda  (red. Enak sekali) jika dicampur dengan sambal khas parado. Kami membuat sambal khas parado formasi lengkap saat itu. Terong gatal, bawang, tomat, saha (red. Cabe), daun Ketipu, daun muloa (daun pintar),  terung besar, ketimun, jeruk nipis, garam dan tak lupa jeng..jeng..jeng.. Viksin (alias penyedap rasa yang tak pernah absen menemani semua makanan khas parado ini). Semua diiris kecil-kecil dan dicampur jadi satu, semi melting pot sih, walaupun semua masih melihatkan ciri khas aslinya.

 

Selesainya kami meramu sambal khas parado ini, yang lain pun sudah selesai dengan urusan mereka berkutat dengan ayam dan urap. It's meal time!! Saat makan pun tiba. Beralaskan daun pisang yang wanginya khas, saya dan semua keluarga baru saya itu pun makan dengan lahap. Semuanya enak tanpa celah. Sederhana namun nikmat, minus lemak dan minyak sebagaimana khasnya masakan Padang yang sangat saya idolakan. Ayamnya terpanggang dengan sempurna di atas api unggun yang dibuat di dekat sarangge (pondok kecil di dekat pematang sawah).  Urapnya segar dan pedasnya pas membuat saya tak bisa menahan godaan untuk menyendokinya lagi dan lagi ke pelepah pisang di hadapan saya. Sambalnya yang pedas sangat cocok dipadankan dengan ayam bakar yang secara ajaib terus bertambah di piring pelepah daun pisang saya (usut punya usut, ternyata Ibu Asni lah yang iseng menaruh ayam lagi dan lagi di piring saya). Makan siang hari itu begitu lahap dan nikmat, saya pun sejenak lupa dengan niat saya untuk tidak menambah berat badan di sini, di Parado, negeri yang katanya (dan memang) Paradise.

 

Surga Mamen...memang surga, dimana lagi saya bisa menemukan nikmatnya melahap makanan khas parado yang sederhana bersama keluarga baru saya yang secara mengagumkan begitu baik bahkan di saat saya baru pertama kali menemui mereka.  Perasaan berasa di surga ini bertambagh ketika seusai makan kami berjalan melintasi pematang sawah menuju La Besi sungai kecil yang menjadi idola anak-anak di kampung saya sekedar untuk mandi, rekreasi, atau mencuci. Duduk melepas kenyang dan melihat gelak tawa bocah-bocah bermain dengan cipratan air di sungai mungkin kesempatan langka yang akan jarang terulang di tahun-tahun berikut hidup saya. Hah...rasanya ingin punya rumah di sarangge Pak Furqan, hidup sederhana dikelilingi sawah yang berganti warna di setiap musimnya dan dekat sekali dengan sungai. Setelah cukup lama menikmati dingin dan segarnya air sungai, kamipun kembali ke serangge tempat makan siang tadi. Tak tanggung-tanggung, seolah sudah di set dengan pas, 4 buah kelapa menjadi suguhan terakhir kami setelah cukup gerah berjalan naik turun dari sungai ke sarangge. Ya tuhan, NikmatMu mana lagi yang dapat kusangkal? Sukur ini pun langsung dipanjatkan di pinggir sawah setelah membasuh diri dengan air yang mengalir di sungai kecil di pematang sawah. Terimakasih ya Allah, terimakasih sudah memberiku kesempatan menikmati alam yang Indah bersama keluarga yang tak sengaja kutemui disini. Makna dari pengorbanan ini sangatlah ... (lama tangan saya berhenti di atas keyboard, bingung bagaimana mengungkapkannya dengan kata-kata).

 

Betapa tenun kebangsaan ini telah menyatukan banyak hati menjadi satu dibaluti rasa rindu kampung halaman. Tapi tak mengapa, semua terobati dengan adanya keluarga baru saya disini, di surga kecil di tengah bukit, Paradowane.


Cerita Lainnya

Lihat Semua