Cinta ayah yang tak sama lagi - Bagian satu

Ridwan Gunawan 15 Agustus 2013

Bagus... Alus... Pinter...

 

...

 

Dari kecil aku tak pernah menghiraukan kata-kata papa. Papa yang tinggi besar. Papa yang punya kumis tebal, kalau sedang mencium pipiku, rasanya gatal seperti digaruk pakai sikat. Papa yang senang bercanda. Papa yang akan memukulku kalau aku tidak mau sholat. Papa yang menyuruhku membaca koleksi buku-buku tebal kisah Ramayana dan Mahabarata sedari aku masih kecil, juga koleksi buku-buku Ko Ping Ho punya papa yang ada puluhan jilid. Papa juga yang menemaniku belajar matematika atau IPA di malam hari ketika papa pulang kerja.

 

Selain papa sangat menyukai kisah para dewa dari agama Hindu dan silat dari Cina, Papa begitu tergila-gila dengan ilmu paspal (baca: ilmu pasti alam), karena menurut papa, ilmu paspal akan membuatmu menjadi orang yang logis, taktis, cerkas (ini tidak salah tulis cerdas, tapi betul cerkas yang artinya sama seperti cekatan) dan dapat berbuat adil. Intinya papa ingin anak lelaki semata wayang ini, kelak menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana.

 

Walaupun sampai sekarang, kadang aku masih tidak terlalu setuju dengan pikiran papa mengenai hubungan antara pemimpin yang adil dan pandai matematika atau IPA. Kalau memang benar begitu, seharusnya orang-orang yang menjadi pemimpin seperti presiden, menteri dan anggota DPR harusnya orang paspal semua. Hahaha.

 

-<>-

 

“Anak-anak, sekarang lihat benda ini”

 

Aku memperlihatkan sebuah botol bekas air mineral ukuran 1,2 liter yang di dalamnya ada sebuah balon kempis berwarna kuning yang mulutnya dimasukkan sebuah sedotan yang diikat. Ini adalah sebuah tiruan paru-paru untuk mengetahui cara kerja pernapasan manusia.

 

“Bila bapak tarik balon di dasar botol ini, apa yang akan terjadi dengan balon warna kuning yang ada di dalamnya?”

 

Aku mencubit permukaan kulit balon yang direkatkan di dasar botol. Yang bila kulit balon ini kutarik nantinya akan membuat balon kuning di dalam botol akan mengembang. Sama seperti paru-paru yang mengembang ketika diafragma ditarik sehingga udara berisi oksigen masuk.

 

“Apakah balon kuning akan mengembang, atau tidak terjadi apa-apa?”

 

Murid-murid mulai berteriak berebut menjawab. Ada yang setuju bahwa balon di dalam botol akan mengembang, dan ada yang menjawab tidak terjadi apa-apa. Tapi yang jelas, semuanya penasaran dan sampai berdiri dari kursi agar dapat melihat lebih jelas benda yang kupegang di tengah kelas.

 

Kutarik kulit balon di dasar botol.

 

Semua diam.

 

Ketika balon berwarna kuning di dalam botol mengembang terisi udara, murid-murid semuanya riuh berteriak terkejut. Perhatian mereka berhasil ditangkap penuh.

 

“Kenapa bisa begitu pak...?”

 

Anak-anak memang lucu (walaupun terkadang aku sering pusing karena mereka), mereka mudah penasaran dengan hal-hal baru yang menurut mereka aneh atau unik. Inilah yang kujadikan kunci untuk membuat mereka memahami pelajaran yang kuajarkan kepada mereka.

 

“Baik anak-anak, akan bapak beritahukan rahasia dari benda ajaib ini...”

 

Percakapan berikutnya tidak perlu aku tulis karena ini bukan tulisan ilmiah mengenai cara mengajar IPA yang pastinya akan panjang dan membosankan.

 

-<>-

 

 “Anakku... jadilah cah bagus, alus atine lan pinter...

 

Lagi. Papa membisikkan kata-kata itu di telingaku ketika aku sedang tidur, tapi masih terjaga. Ini sudah hampir jam satu dini hari. Lagi-lagi papa pulang larut malam. Ngapain sih papa kerja sampai semalam ini. Ah, aku ingat, papa pernah bilang kalau kota Jakarta itu sangat macet, jadi papa sering menunggu agak malam sampai jalanan tidak terlalu macet dengan sekalian lembur.

 

“Pa..”

 

Aku beranikan memanggil papa.

 

“Papa jangan kerja lagi pa, temani aku bermain setiap hari...”

 

Papa tidak menjawab. Dan kesadaranku mulai masuk ke alam mimpi. Sepertinya aku mengigau, sehingga papa tidak menggubrisnya.

 

-<>-

 

Ajaran orang tuaku yang lebih dominan ke matematika dan IPA begitu membekas sampai saat kini. Aku lebih antusias mengajarkan perkalian-pembagian kepada muridku daripada mengajar sejarah Majapahit. Aku lebih senang mengajar tentang sistem pencernaan manusia daripada mengajar siapa raja pertama kerajaan Islam di Indonesia.

 

Tapi ironis, semenjak SMP – SMA di mana nilai pelajaran IPA yang selalu di atas rata-rata, di masa SMA masuk jurusan IPA, kuliahnya malah di ekonomi. Aku ini memang orang aneh. Tidak konsisten. Pengkhianat.

 

Mungkin itulah wujud kemerdekaan pertamaku setelah sekian lama aku menuruti keinginan orang tua, mengikuti apa yang mereka suka. Akhirnya aku menjadi tampak tidak konsisten.

 

Tapi malah ketika di penempatan, aku lebih suka mengajar paspal. Sekali lagi, aneh!

 

-<>-

 

Semuanya tampak gelap.

 

Aku berusaha bergerak menyeruak keluar. Kelaur dari sebuah benda tipis yang membungkusku dan menutupi pandanganku.

 

Benda itu adalah sarung papa. Sewaktu kecil aku sering sekali ditimang papa, badanku diangkat dengan kaki papa yang dibalut sarung. Badanku diangkat dengan sarung yang disangga oleh kedua kaki papa. Di mana kalau kaki papa dirapatkan, sarung akan menutupi diriku. Umurku masih 3 tahun saat itu.

 

Aku senang sekali ketika ditimang papa seperti itu. Sarung papa yang tipis membuatku seolah terbang di atas lantai. Telapak kaki papa kugenggam dengan erat agar tidak jatuh. Jari jemarinya yang kasar kuremas dengan tanganku yang masih kecil. Dan sebentar lagi papa akan mengucapkan mantranya kepadaku.

 

“Bagus... alus... pinter...”


Cerita Lainnya

Lihat Semua