Ini (Bukan) Tentang Kunci Jawaban

Rika Amelia 19 Mei 2014

*

“Kami tidak dikasih kunci jawaban ibu.”

Begitulah lapor seorang siswa kepada saya usai melaksanan Ujian Sekolah atau yang dulunya disebut Ujian Nasional (entah apalagi namanya tahun depan). Namun kalimat itu bukan kalimat kekecewaan karena tdak diberi kunci. Teman tahu?itu adalah nada kebanggaan mereka. Dila, salah satu siswa yang paling fully charged semangat belajarnya dengan bangga menceritakan bagaimana ia berjuang sendiri menyelesaikan menit demi menit yang menegangkan itu. Bangga. Betapa tidak teman? Sebangga-bangganya Dila, lebih bangga lagi saya sebagai seorang guru memiliki siswa yang bangga dengan usahanya sendiri.

Bukan hendak pamer tentang lancarnya pelaksanaan US tahun ini di sekolah. Mari kita lupakan dulu hal yang mungkin terjadi di belakang layar, setelah US dilaksanakan. Namun, ini tentang bagaimana membentuk karakter siswa yang mau berusaha sendiri dan tidak butuh kecurangan untuk bisa menaklukkan US, seperti yang marak dan trend terjadi dimana-mana.

Banyak yang bilang US tidak cocok diselenggarakan di Indonesia dikarenakan ketidakmerataan pendidikan , terutama di area terluar Indonesia. Banyak ahli pendidikan yag berpendapat, anak didik yang diajar berkiblatkan Kurikulum KTSP yang bersifat school centered tidak selayaknya diuji dengan Ujian Nasional (atau Ujian Sekolah) yang bersifat centralized (terpusat). Namun, banyak juga ahli yang menyangkal hal ini dengan adanya pembagian porsi nilai US dengan nilai rapor sekolah. Dengan kata lain US bukanlah satu-satunya faktor penentu kelulusan di tingkat SD. Pun demikian, tekanan akan tingkat kelulusan dan kekhawatiran akan kemampuan siswa yang tidak memenuhi indikator yang ditargetkan US membuat resah hampir semua pemegang kepentingan baik di tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, bahkan nasional. Tekanan inilah yang kemudian menstimuli mereka untuk melakukan apapun agar tingkat kelulusan meningkat dan US dianggap sukses diterapkan di negara ini. Secara tiak langsung, US mendidik mental buruk baik bagi stakeholder, kepala sekolah, guru bahkan siswa sekalipun. Tak pernah sepi dari berita kecurangan, US selalu menadi momok tahunan yang menuai perdebatan disana-sini.

Yah, begitulah teman. Takkan habis argumen untuk membahas pelaksanaan Ujian yang satu ini. Mari kita lupakan dulu niat untuk mengecam pelaksanaannya, Mari kita bentuk karakter siswa terlebih dahulu. Sekeras apapun usaha kita mengecam kecurangan disana sini sisi pelaksanaan US, toh kecurangan itu tetap ada, entah aktor belakang layar mana yang melakukannya. Sebagai guru, usaha kita adalah menghasilkan generasi-generasi seperti Dila, yang bangga dengan kerja kerasnya sendiri dan tak kecewa tak diberi kunci jawaban. Sesederhana itu saja teman. Lebih baik mengukir di atas batu ketimbang mengukir di atas air, bukankah begitu yang sering kita lihat di poster-poster peribahasa yang menghiasi dinding-dinding tua kelas kita?

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua