Ibu Nutfah: Guru Sukarela yang Berfikir Keras tentang Pemerataan Pendidikan (di Kecamatan Parado, Bima, NTB)
Rika Amelia 13 Juni 2014Paradowane adalah desa pertama yang akan kalian temui jika mengunjungi kecamatan Parado, kecamatan terkecil dan terpencil di tengah bukit berhutan. Awalnya, tak banyak orang yang tahu kecamatan kecil ini. Kecamatan yang hanya terdiri dari 5 desa ini memang salah satu kecamatan paling kecil dan terpencil di kabupaten Bima. Meskipun waktu tempuh yang dibutuhkan untuk bepergian menuju dari kecamatan kami hanya 2 jam perjalanan, masih banyak warga kota bima yang belum ngeh dimana kecamatan ini berada. Namun, kecamatan kami memiliki denyut kehidupannya sendiri. Meskipun terbilang terpencil, kalian bisa menemukan jajanan apa saja disana, lumbung padinya pun juga penuh sesak dengan padi dan beras yang baru saja digiling. Istimewa.
Jumlah Guru di kecamatan Parado tiap tahun makin bertambah. Hal ini dikarenakan minat pemuda-pemudinya untuk melnjutkan kuliah ke STKIP jurusan kependidikan makin tinggi. Jika ditanya kenapa memilih jurusan kependidikan, mereka akan menjawab ingin menjadi guru dan mengabdi di desa mereka. Sekali lagi, Istimewa.
Berbicara tentang guru, kita tak selalu mengecam tingkat keadiran guru yang rendah, kemampuan mengajarnya yang jelek, atau attitude kasar mereka. Di desa terpencil ini, dalam segala keterbatasan, saya masih menemukan sosok-sosok guru yang selalu berfikir untuk kemajuan pendidikan. Tak peduli status PNS masih jauh dari genggaman. Karena mengajar tak terhalang oleh status, begitulah pemahaman sebagian dari mereka.
Salah satu guru yang menarik perhatian saya dan PM-PM pendahulu saya adalah Ibu Nutfah. Ibu Nutfah dengan segala kesederhanaannya, Ibu Nutfah yang tak pernah marah dan berlaku kasar kepada siswanya, Ibu Nutfah yang selalu sabar, Ibu nutfah yang sukarela mengajar sesuai dengan statusnya guru sukarela, Ibu Nutfah yang selalu berusaha untuk mengajar dengan kreatif dan membuat suasana kelas menjadi menyenangkan. Ibu Nutfah yang menjadi pelopor Duta Keselamatan kami di jalan. Ibu Nutfah yang disayangi oleh anak-anak.
Tidak hanya itu, Ibu Nutfah sekali pernah mencetuskan ide briliannya. Ibu Nutfah prihatin dengan kondisi pendidikan di sekolah kami dimana kami memiliki guru yang banyak namun ada beberapa kekurangan disana sini. Namun, ia lebih prihatin dengan kondisi sekolah lain yang menurutnya ‘tidak kebagian PM’ (emangnya PM sembako bu??dibagi-bagi..). Saya pun memancing ibu nutfah untuk mencarikan solusi dari ‘kecemburuan’ sekolah-sekolah yang tidak mendapatakan PM. Akhirnya, setelah berfikir lama beliau berpendapat bahwa perlu adanya pemerataan efek PM disemua sekolah. Caranya, dengan adanya safari pendidikan, dimana guru-guru di sekolah PM harus membagikan ilmu yang mereka ambil dari PM dari segi pengajaran kreatif dan lain-lain. Ibu Nutfah berpendapat bahwa perlu ada wadah untuk memfasilitasi kebutuhan semua sekolah di kecamatan Parado, termasuk pemerataan informasi-informasi lomba yang kerap kali datang terlambat ke kecamatan kami.
Ibu Nutfah kemudian mengajak saya ke Lere, desa paling ujung selatan kecamatan Parado. Kami pergi kesana berjagijug ria, karena jalannya rusak. Disana ibu Nutfah menunjukkan kepada saya bahwa sekolah itu kekurangan buku, guru-gurunya kekurangan semangat dan anak-anaknya kekuangan wawasan, bahkan hanya tentang Indonesia. Prihatin, Ibu Nutfah meminta saya untuk menyalurkan buku-buku yang dikirim Penyala ke Lere karena buku yang kami diterima di sekolah kami dianggap cukup. Saatnya untuk berbagi ke yang lain. Takjub, itulah yang saya rasakan saat mencerna ide ibu Nutfah yang selalu ingin semua sekolah mendapatkan hak yang sama bahkan dalam segala keterbatasan.
Tak hanya ke Lere, bulan-bulan berikutnya kami mengunjungi dusun woro, sebuah dusun di desa Paradowane. Meskipun merupakan bagian dari desa Paradowane, Woro terletak jauuuh di balik bukit yang membatasi desa dan dusun ini. Enam jam perjalanan jalan setapak kami tempuh (lihat juga: 6 Jam Perjalanan melewati 15 Sungai ke Dusun Woro). Di woro, boro-boro ada sinyal, listrik saja masih malu-malu masuk desa ini. Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang menjadi andalan warga pun sudah rusak. Hasilnya, malam begitu sepi disana, tiwara listrik labo sinyal. Di sekolah pun, hanya satu guru yang paling setia mengajar anak-anak, namanya ibu Tamu. Ibu Tamu adalah satu dari dua guru SDN iNpres Woro yang menetap di dusun itu. Tak banyak guru yang hadir ketika kami berkunjung, hanya ibu Tamu seorang (tak banyak, memang). Ibu Nutfah langsung mengajar anak-anak woro yang mayoritas tak fasih Bahasa Indonesia. Meskipun menempuh 6 jam perjalanan, saya sama sekali yak melihat gurat kelelahan di wajah Ibu Nutfah. Ketika perjalanan pulang, ibu Nutfah berkata, “Ibu rika, pai (coba) saya bisa sebulan sekali nanti ke Woro ya. Kasihan si anak-anak disini..”. Ketika kam mengunjungi Woro, itu adalah bulan-bulan terakhir penugasan saya sebagai PM, tentunya saya akan meminta PM selanjutnya untuk menagih janji ibu Nutfah itu.
Akhirnya, bersama pak Syahru (local champion lainnya), Ibu Nutfah mengajak beberapa guru yang satu visi untuk bergabung dalam Forum Peduli Pendidikan Parado yang bertujuan untuk meratakan pendidikan di penjuru kecamatan Parado. Saya pun iseng berceletuk, “Forum itu cenderung diam dan mandek ibu, gimana kalau kita ganti menjadi Gerakan?”. Akhirnya terbentuklah gerakan kecil ini, Gerakan Peduli Pendidikan Parado. Tak banyak yang diajak ibu Nutfah dan Pak Syahrul. Pak Syahrul berdalih, “Tidak masalah sedikit, yang penting bisa dikelola dengan baik.” Saya jadi ingat kata-kata Pak Anies ketika beliau tampil di TEDx. Saya curiga, jangan-jangan si bapak Syahrul ngefans juga sama Pak Anies?haha.
Meskipun inisiasi ini muncul ketika tugas saya nyaris purna, namun saya bangga karena adanya inisiasi dari aktor lokal penggerak roda pendidikan Parado. Akhirnya permasalahan pendidikan di kecamatan terpencil ini pun telah menjadi PR bersama-sama. Hal ini sesuai dengan filosofi kami di Gerakan Indonesia Mengajar. Indonesia Mengajar hadir ke desa-desa terpencil bukan untuk serta merta menyelesaikan semua permasalahan pendidikan disana, kami hadir untuk mengajak semuanya turun tangan dan bersama-sama BERGERAK meluruskan benang yang terlanjur kusut untuk kemudian ditenun bersama membentuk TENUN KEBANGSAAN yang indah. Jika semua turun tangan membenahi pendidikan bangsa, kami yakin suatu saat nanti kita bisa menatap wajah pendidikan Indonesia dengan penuh kebanggaan.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda