Dunianya Gelap Tapi Ia Cahaya Bagi Pulau Tembang

Ahmad Frenki 15 Juni 2014

Dunia pendidikan di Indonesia kembali digemparkan oleh pemberitaan yang beredar di media massa saat ini. Kali ini tentang kasus pencabulan yang menimpa siswa di salah satu TK bertaraf internasional yang berlokasi di daerah ibukota negara. Berita tersebut seolah menambah rentetan berita-berita negatif tentang dunia pendidikan kita.

Namun demikian, kita tidak boleh memandang pesimis dunia pendidikan saat ini, kita harus tetap optimis untuk terus membangun pendidikan Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh sosok guru diujung negeri ini.

***

Adalah Rusli E.Dengke, seorang guru honorer di SDN Pulau Tembang yang juga sebagai orang tua inangku. Seperti kebanyakan orang pesisir, pak Rusli yang keturunan asli suku  Bajo ini mempunyai garis wajah keras dan tegas. Namun dimataku, pria yang berperawakan besar ini mempunyai sikap dan tutur kata yang lembut. Setiap kata beliau merupakan bimbingan tanpa terkesan menggurui.

Aku sering mendapatkan banyak cerita tentang beliau. Berdasarkan penuturan dari guru-guru lain serta dari masyarakat sekitar, beliau merupakan guru yang rajin. Selain itu, beliau juga menjadi guru favorit bagi murid-muridnya. Muslim yang taat beribadah ini selain aktif disekolah, beliau juga aktif di masyarakat. Di Pemerintahan Desa, beliau menjabat sebagai Kepala Urusan Pemerintahan.

Saat berumur 35 tahun, beliau terserang penyakit glaukoma. Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Sudah 2 tahun ini, beliau mengalami kebutaan. Akibat penyakit yang dideritannya, Pak Rusli tidak bisa beraktivitas seperti dahulu lagi. Ia pun diberhentikan dari tugasnya sebagai Kepala Urusan Pemerintahan Desa. Tidak hanya itu, kepala sekolah mengganti posisi beliau dari guru kelas menjadi pustakawan.

Namun keadaan tersebut tidak menyurutkan semangat beliau untuk tetap hadir disekolah. Dengan dituntun oleh muridnya, beliau selalu hadir tepat waktu. Tak jarang atau bahkan sering kali beliau mengajar di kelas karena banyak guru yang tidak bisa hadir dengan berbagai macam alasan. Suatu kali, aku pernah melihat Pak Rusli mengajar di kelas 4. Dengan meraba-raba papan tulis, ia menulis angka perkalian dengan perlahan. Tak jarang tulisan beliau tidak rata antara satu sama lain. Kalau sudah seperti itu, muridnya lah yang membimbing beliau. “Pak tulisannya terlalu keatas” atau “Pak tulisannya terlalu kebawah” teriak para muridnya. Sambil tertawa kecil beliau menghapus coretan kapur itu, lalu meminta para siswanya untuk mengarahkan agar tulisannya rata. Tidak hanya sekedar mengajar matematika, beliau selalu menanamkan pendidikan karakter pada muridnya. Pak Rusli selalu mengajarkan para siswanya agar menjadi pribadi yang jujur serta taat beribadah. Banyak masyarakat yang mengapresiasi kinerja beliau. Namun begitu, tidak sedikit juga kutemui oknum yang justru meragukannya. “Pak apa masih bisa ya orang buta mengajar?”, “Pak apa masih pantas  orang buta menjadi guru?”.

Bukan hanya disekolah, di masyarakat pun Pak Rusli selalu mengajak anak-anak Pulau Tembang untuk rajin beribadah. Tidak hanya sekedar menyuruh saja, tetapi beliau juga memberikan tauladan. Ketika suara adzan berkumandang, dengan jalan yang tertatih dan meraba-meraba beliau selalu pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah. Tak jarang ketika hendak ke masjid beliau menginjak kotoran sapi ataupun kambing karena memang disini hewan-hewan tersebut tidak dikandang. Selepas ashar dan maghrib, Pak Rusli selalu mengajak anak-anak untuk belajar mengaji dirumahnya.

Walaupun keadaan pak Rusli tidak bisa melihat, ditambah lagi status beliau sebagai guru honorer yang hanya menerima gaji triwulan dan jauh dari kata sejahtera, namun beliau tidak pernah mengeluh. Bagi beliau, hal tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak berbuat bagi daerahnya, bagi bangsanya, bagi anak-anak Pulau Tembang.   

“it’s not about me but it’s about them”. Kata-kata itu lah yang diucapkan oleh pendiri yayasan Indonesia Mengajar sebelum melepas kami berangkat bertugas. Dan ditempat ini, di pulau yang terpencil, aku menemukan makna dari kalimat tersebut. “Kekurangan saya dalam melihat tidak akan menghalangi saya untuk mengajar. Anak-anak  harus pintar, harus cerdas, mereka harus mempunyai pendidikan yang setinggi-tingginya. Mereka adalah masa depan Pulau Tembang, masa depan bangsa ini”. Hal itulah yang selalu Pak Rusli sampaikan kepadaku.

Sekali lagi, aku banyak belajar dari tempat ini. Di pulau terpencil yang tidak ada listrik, tidak ada signal, yang jauh dari keramaian, aku belajar tentang integritas, dedikasi dan ketulusan dari seorang “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang sesungguhnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua