info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Perhatikan ini Tuan Presiden!

Rifqi Furqon 12 Agustus 2013

Wahai Tuan Presiden yang selalu tersenyum kaku di dinding kelas, cukup! Aku muak dengan senyum kau itu. Sepertinya kau menikmati sekali, memperhatikan gerak-gerik sibuk ku berpindah-pindah kelas sejak pagi tadi. Tidak cukup guru di sekolah ini Tuan Presiden! Aku tidak ingin meminta ragam fasilitas yang bertele-tele, hanya ingin ku tanyakan, Apa kau tau ada anak-anak Ibu Pertiwi yang punya semangat belajar tinggi seperti ini? Pernah kau ingat tentang mereka Wahai Tuan Presiden?!

Aku muak dengan senyum palsu kau itu. Biar kau tau, di sekolahku ini, tak ada satu pun senyum mu yang terbingkai. Sekolah bertotal tiga ruang kelas ini mungkin tidak terlalu kenal dengan kau. Mungkin, jika Guru tidak menyuruh muridnya menghapalkan nama-nama Presiden, mereka tidak tau mengapa senyum kau itu digantung dekat jam dinding yang tentu lebih menarik bagi mereka karena menunjukkan waktu pulang dan istirahat.

Begini saja Tuan Presiden, kelak, jika Tuhan mengijinkan dan menerima rasa kesalku ini, aku ingin juga tau bagaimana rasanya tersenyum terus selama paling tidak dua periode, di semua dinding-dinding kelas, sepelosok manapun sekolah itu. Tapi, sebelum itu sepertinya Tuhan juga mengerti, bahwa aku harus belajar dan mengajar menggunakan hati untuk bisa merasakan sebenar-benarnya esensi masalah negeri. Well, mungkin kali ini hanya sebagian sangat kecil masalah negeri, tentang pendidikan.

Seperti biasa tadi pagi, aku membuka tiap kunci ruang kelas yang disekat dua. Hari itu adalah Rabu, hari ketiga aku mengajar. Anda tau bagaimana panasnya pusat Khatulistiwa, Tuan Presiden? Dan sebagai informasi, meski setahun nanti aku hidup di mayoritas Protestan, aku tetap menjalankan Puasa, hari ke-tujuh Ramadhan ini. Baru seminggu Ramadhan ini aku merasakan tadi Matahari menertawakanku puas karena turut membuatku susah payah mengatur emosi dan intonasi.

Kelas empat yang akan aku walikan adalah yang pertama aku datangi, lalu bergeser ke belakang kelas mereka dan sampingnya, berturut-turut adalah kelas enam dan lima. Semuanya aku persilahkan untuk berdo’a terlebih dulu, menyambut pagi. Ada ketenangan yang cukup ketika habis berdo’a Tuan Presiden, seringkah kau berdo’a ketika memimpin kami? Cobalah lebih sering lagi, sebelum tahun depan kau diganti.

Hari tadi, ada beberapa pelajaran yang aku telan, Tuan Presiden. Aku gagal untuk mencegah pulangnya seorang murid kelas tiga yang kecewa karena dia diganggu temannya dan tak ada Guru yang mendamaikan mereka. Jangan berprasangka denganku Tuan Presiden. Bukan aku tak menenangkan mereka, tapi ada tiga kelas lainnya yang juga sedang aku coba tenangkan. Aku hanya terus memanggil-manggil Yuni, nama murid perempuan yang sedikit lagi menyebrang jembatan gantung, pulang ke dusun seberang sambil menangis. Anda tau Tuan Presiden, mungkin dia akan mengadu pada Ibu nya bahwa tidak ada Guru yang mengajarnya dan malah dia diganggu. Tuan Presiden, jika kau lihat bagaimana air muka semangatnya ketika pagi tadi, hati nurani kau akan ikut kecewa karena mungkin hari ini dia tak dapat ilmu apa-apa.

Belum lagi tentang ini Tuan Presiden, tentang bagaimana menyedihkannya level hitung Matematika anak kelas enam. Aku sempat berkali-kali geleng kepala dalam hati. Bagaimana mungkin mereka belum bisa membagi dan mengali soal yang tidak sederhana lagi. Bahkan pelajaran dua level di bawahnya pun masih harus dijelaskan berkali-kali. Mendapati fakta itu, aku kembalikan ingatan pada era pelatihan dulu. Bertanya aku pada hati ini, bukankah hal-hal seperti ini memang harusnya sudah terantisipasi?! Jadilah aku terus belajar bersabar, juga melatih senyum tulus kembali dari hati, agar anak-anak tidak berkecil hati.

Aku juga mau bilang ini, Tuan Presiden. Bahwa ada dua murid kelas empatku yang sejak kemarin digunduli Ibunya. Saat istirahat tadi mereka berkelahi. Aku baru tau ketika seorang temannya datang ke kelas enam ketika aku sedang membahas soal. Cepat aku keluar ternyata Atut sedang menunduk dan berair mata, sementara Nonyang, demi melihatku datang langsung pasang tampang diam, pertahanan paling dalam ketika bersalah.

Aku mengumpulkan kelas empat dan mempersilahkan anak kelas lain untuk masuk ke kelasnya, menunggu. Aku tidak mau kelas lain menghakimi masalah internal anak-anakku. Aku enggan terprovokasi. Bukankah itu latihan yang bagus sebelum menggantikan kau nanti, Tuan Presiden?! Aku jongkok lalu mendampingi Atut dan Nonyang. Setelah tau bagaimana kronologisnya dari Axnes, ketua kelasku, perempuan yang senyumnya selalu membuat capekku hilang itu, aku perintahkan Nonyang untuk meminta maaf. Mereka bersalaman dan tak lama langsung tertawa-tawa lagi. Ah, anak-anak ini... Kau tau Tuan Presiden, sudah langka rasanya rasa saling memaafkan kita di negeri ini, padahal anak-anak kita masih membuktikan bahwa bangsa ini masihlah bangsa pemaaf.

Ketika kembali masuk ke kelas, aku sempat melirik senyum lain yang selalu berdampingan dengamu sejak beberapa tahun lalu, Tuan Presiden. Aku seperti merasakan lagi jabat erat yang hangat darinya. Guru Bangsa, begitu aku juga menganggap wakil kau itu. Kepadanya dulu aku sempat bertanya sebelum aku berangkat ke Kapuas Hulu. Dan kepadanya pula kini aku ingin mengabarkan, bahwa aku juga masih bisa tersenyum penuh syukur. Karena tadi aku masih melihat sikap ksatria dari salah seorang anak kelas enam yang menjabat tangaku dan berkata “Maaf Pak Guru, hari ini saya sudah buat masalah!”

Demi berterima kasih atas sikap ksatria Gunawan, siswa paling tua dan berpostur hampir dewasa ini, aku sambut jabat eratnya dan menepuk punggunya. “Yasudah Gunawan, lain kali jangan buat masalah lagi. Pak Guru Maafkan..” setelah dia duduk di tempatnya, aku mengacungkan jempol kepadanya, dari depan. Aku ingin semua kelas tau bahwa aku menghargai sikapnya.

Sudahlah, hari ini telah selesai. Aku memulangkan kelas empat, lima dan enam berturut-turut. Mereka, bagaimanapun kondisi sekolah ini, sangat pantas untuk mendapatkan perhatian pendidikan sepenuh-penuhnya. Dan aku, yang dipilihkan Tuhan untuk hadir di depan mereka akan terus berusaha bagaimanapun cara dan kondisinya untuk membuat mereka percaya, bahwa pendidikan itu penting dan belajar dengan rajin adalah kunci dalam semua kegiatannya. Meski nanti, ketika ada Guru yang hadir atau absen di kelas mereka!

Aku kembali melihat senyum kau sebelum pintu kelas aku kunci mati, Tuan Presiden. Aku berdamai dengan hati sendiri. Aku memilih untuk tidak membalas kau dengan senyum sinis seperti tadi pagi. Aku melirik lagi senyum di samping kau itu, kembali juga aku tersenyum, kali ini lebih tenang lagi. Lalu aku pulang, mengambil wudhu di tong penampung hujan depan rumah. Tak lama setelah Dzuhur dan tertidur, aku menyelesaikan tulisan ini. Kau harus perhatikan ini, Tuan Presiden!

SDN 17 Nanga Bungan, 17.07.13, 15.21 WIB. Pengajar Muda Kapuas Hulu


Cerita Lainnya

Lihat Semua