Berbahagialah dalam ketiadaanmu, Aditya Prasetya....

Rifian Ernando Lukmantara 1 Desember 2013

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan

Yang kedua dilahirkan tapi mati muda

Dan yang tersial adalah berumur tua

Berbahagialah mereka yang mati muda

 

Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada

Berbahagialah dalam ketiadaanmu...

 

(Potongan puisi terakhir Soe Hok Gie sebelum melakukan pendakian terakhirnya ke Gunung Semeru)

 

5 November 2013, aku memulai hari layaknya hari-hari biasa. Kebetulan hari itu juga bertepatan dengan jatuhnya tahun baru 1435 hijriah sekaligus hari libur nasional yang tentunya membuatku tidak perlu terburu-buru memulai hari untuk mengajar di sekolah. Hari itu cuaca cukup cerah, aku pun memutuskan untuk mencuci pakaian di sungai, karena memang beberapa hari sebelumnya hujan selalu turun bahkan malam sebelumnya pun hujan turun begitu derasnya. Selesai mencuci aku pun bergegas untuk membereskan sekaligus membersihkan kamar yang hanya dapat dilakukan pada hari-hari libur.

Saat sedang sibuk membereskan kamar tiba-itba handphone milikku berbunyi. Kahfi, rekan sesama Pengajar Muda di desa sebelah menelpon. Ada apa gerangan? Tak biasanya dia menelpon pagi-pagi seperti ini, terlebih saat hari libur.

“Do, ada kabar duka. Tapi tolong di­-keep dulu karena memang belum ada kepastian kebenaran berita. Adit MTB meninggal....”, ujarnya lirih di telepon.

“Hah? Ini serius, Kahf?” jawabku dengan nada terkejut.

“Iya, si Karin yang ngabarin. Dia dapet info dari PM IV yang digantiin Adit. Kebetulan dia kerja di Muara Enim”

“Innalillahi wa innailaihi roji’un...”.

Mendadak tubuhku lemas, bingung, tidak tau harus berbuat apa. Akhirnya aku hanya mondar mandir seperti orang kebingungan hingga akhirnya ibu angkatku bertanya ada apa gerangan hingga aku terlihat gusar seperti itu. Lalu kuceritakan semua kepada beliau. Beliau pun bergegas menyuruhku mencari kendaraan untuk keluar dari desa, karena speed boat yang biasa ditumpangi masyarakat untuk keluar desa sudah habis mengingat hari sudah cukup siang. Aku pun hilir mudik mencari cara untuk keluar desa, namun malang memang tak dapat ditolak. Hujan deras yang mengguyur desa semalam membuat jalur darat tak dapat dilalui. Bahkan Bapak Kepala Sekolah yang juga ikut membantu mencarikan kendaraan mendapat sms dari rekannya di dusun sebelah kalau banyak mobil tertahan tak dapat keluar dari desa akibat jalan yang rusak parah.

Akhirnya aku menyerah, tak banyak yang dapat dilakukan selain hanya berdoa dan segera diberi kemudahan untuk menuju Kota Lampung, tempat dimana Almarhum Adit akan dimakamkan. Singkat cerita, saya dan beberapa teman sepenempatan pun akhirnya dapat keluar dari desa keesokan harinya. Jenazah Adit yang datang & dimakamkan hari itu juga membuat kami tidak dapat  mengikuti prosesi pemakaman hingga akhirnya kami hanya mampu mengunjungi Adit di tempat peristirahatannya yang terakhir.

Gundukan tanah di atas permukaan pusara dan batu nisan makam Adit menjadi satu-satunya hal yang dapat kami ajak berkomunikasi. Kami berdoa, bercanda, bahkan tertawa. Seolah-olah Adit sedang duduk di hadapan kami mendengar semua percakapan dan lelucon bodoh yang kami ucapkan.

Dit, aku tidak pernah tahu apa yang Tuhan rencanakan atas kepergianmu yang begitu cepat dan mendadak. Satu hal yang aku yakini adalah Ia sangat menyangimu hingga harus memanggilmu pulang ke rumahNya dengan sangat terburu-buru. Ya, kita sama-sama tahu bahwa dunia yang semakin gila serta beringas ini bukanlah tempat yang nyaman & indah untuk orang-orang seperti kita. Aku dan kamu juga tahu, sebagai orang yang sama-sama tumbuh & besar di dunia gerakan mahasiswa kita senantiasa bertanya-tanya dalam hati, “Sampai kapan idealisme-idealisme ini dapat dipertahankan?”. Mungkin inilah jawaban Tuhan atas pertanyaan itu, Dit. Dia memanggilmu dalam kondisi terbaik. Berpulang saat berjuang, berpulang saat memperjuangkan idealisme, dan berpulang dalam sunyinya jalan perjuangan. Ah, betapa aku iri padamu. Tidak semua orang mendapatkan kehormatan seperti itu. Sejarah membuktikan hanya pejuang-pejuang besar yang mampu menutup usia dalam kondisi yang demikian mulia. Tan Malaka, Soe Hok Gie, dan Jenderal Soedirman mungkin hanya segelintir manusia yang berhak atas kehormatan tersebut. Maka ijinkanlah kusejajarkan namamu dengan mereka semua, Aditya Prasetya.

Dit, melalui tulisan ini aku juga bermaksud meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah kuperbuat. Semua Pengajar Muda angkatan VI laki-laki pasti paham, aku adalah salah satu orang yang paling sering melakukan bullying kepadamu. Mulai dari ejek-ejekan saat timmu kalah dalam pertandingan sepakbola, hingga memberikan gelar ‘megacot’ kepadamu. Terkadang aku hanya tersenyum getir membayangkan wajahmu yang begitu polos dan tak pernah terlihat marah saat aku melakukan itu semua. Masih terekam dengan jelas bagaimana kesalnya saat kamu selalu membangunkanku pagi-pagi buta agar aku bisa ikut sholat subuh berjamaah atau saat memandangmu duduk santai di kasurmu yang bersebrangan dengan kasurku sambil mengaji saat ada waktu senggang di tengah padatnya kegiatan kita di pelatihan. Ya, itu semua kini hanya menjadi sebuah kenangan yang tersimpan indah dalam memori. Kamu sudah pergi jauh, jauh sekali, sejauh mimpi-mimpimu untuk mengubah dunia ini menjadi tempat yang lebih indah & nyaman bagi kehidupan umat manusia. Selamat jalan saudaraku Aditya Prasetya, berbahagialah dalam ketiadaanmu...


Cerita Lainnya

Lihat Semua