Bukan Cincin Kawin Acik

Parafitra Fidiasari 2 Desember 2013
Kerumunan anak - anak terlihat di lorong depan kelas I yang juga dijadikan ruang kelas II dan IX, bukan hanya anak - anak ternyata namun juga ada beberapa ibu menggunakan baju rumahan tanpa alas kaki. Bagiku itu sudah pemandangan biasa jadi aku tetap melangkahkan kakiku dari kelas V menuju kantor tanpa menanyakan apa yang terjadi. Sesampainya di kantor aku melihat Ibu Nur, guru Matematika, sedang berbicara serius kepada dua orang anak perempuan kakak beradik, Winda dan Gita, serta satu orang anak laki - laki bernama Dwi. Aku berusaha untuk tidak mencampuri urusan beliau dan tetap duduk di kursiku melayani anak - anak yang mau menabung. Walaupun jarak mejaku dengan tempat mereka mengobrol sangat dekat tapi aku benar - benar tidak berusaha mencari tahu apa yang mereka obrolkan. Tak lama kemudian Ibu Siti, guru IPA, juga ikut dalam obrolan itu bersama dengan salah satu ibu yang tanpa alas kaki tadi. Obrolan makin memanas ketika mereka meminta pintu kantor ditutup agar anak - anak tidak mendengar percakapan mereka. Tapi namanya juga anak - anak, beberapa dari mereka memanjat pagar agar bisa mengintip dari jendela. Aku dan salah seorang guru lain bertugas menertibkan anak - anak di luar agar masuk ke kelas masing - masing. Namun ketika aku kembali ke meja ku, Bu Siti dan Bu Nur mengajakku bergabung "Bagaimana Bu Raras kalau macam gini?" tanya Bu Siti dengan logat dan suara yang sangat khas dengan orang Hulu. "Apa pasal (kenapa), bu? Kalau masalah rumah mungkin bisa diselesaikan di rumah saja," tanyaku pada Bu Siti. Kemudian mereka bersaut - sautan menjelaskan duduk perkaranya. Winda dan Gita adalah anak kelas I dan II, mereka ditinggal orang tuanya hanya dengan neneknya yang sudah tua jadi mengharuskan mereka menginap di rumah tetangga setiap harinya. Acik (ibu - ibu tanpa alas kaki) adalah salah satu tetangga yang dengan baik hati menyuruh Winda dan Gita menginap. Tapi hari ini Acik kehilangan cincin kawin dan cincin anaknya yang dibalut uang dua ribu rupiah. Bukan, Acik bukan menuduh Winda dan Gita tapi bukti mengarahkan pada mereka. Dwi, menemukan cincin kecil saat merogoh tas Winda yang sudah benar - benar rusak parah. Cincin tersebut benarlah cincin milik anak Acik. Namun, Dwi bersama 3 siswa laki - laki lainnya yang memeriksa tas Winda tidak menemukan cincin kawin Acik. Bu Nur dan Bu Siti menginterogasi Winda dengan cukup keras, bukan nada suara yang tinggi, namun mereka menyudutkan Winda agar mau mengaku hanya karena keluarga Winda terkenal (maaf) suka mengambil yang bukan haknya. "Tik kulak nesik mau ngaku, nanak kami kak nelpon Polisi dari Embaloh. Kulak tau nak? Tik dah di polisi kulak tau dipedih, disipat, dibentak nak baka kami dituk," jelas Bu Nur. (kalau kamu tidak mau mengaku, nanti kami akan menelpon Polisi dari Embaloh. Kamu tau tidak? Kalau sudah berada di polisi kamu bisa disakiti, dipukul, dibentak tidak seperti kami di sini) Bekas air mata Winda masih terlihat jelas di pipi dengan kulit kusamnya itu. Mereka berdua sangat terlihat tidak terurus, baju kumal, kulit kusam, rambut pirang kepanasan. Aku menghela nafas cukup panjang saat Winda sangat pintar memberi alasan untuk mengalihkan pembicaraan. "Tuh kan Bu Raras, mereka memang pintar berkelit. Sudah tabiat," kata Bu Siti. Aku masih berusaha mempelajari karakter Winda dan Acik serta duduk perkara yang netral. Aku memanggil 3 anak laki - laki yang memeriksa tas Winda ke dalam forum tersebut. Ya memang, Winda berusaha lari saat mereka berempat akan menggeledah tas Winda. Aku yang tadinya masih tidak yakin Winda pelakunya kini mulai dapat membaca situasi dan mulai angkat bicara. Winda dipojokkan oleh kesaksian empat anak laki - laki, Bu Siti, Bu Nur, dan Acik. Hebatnya Winda, dia sama sekali tidak berhenti memberikan penmbelaan atas kronologi yang dijelaskan oleh saksi dan korban. "Win, tau tidak apa hukuman yang diberikan Allah untuk pencuri?" kupegang tangan kiri Winda sambil kuelus punggung tangannya. "Nesik, Bu," sepertinya memang Winda kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya. "Kalau tangan luka sakit, kan? Nah kalau mencuri nanti tangannya dipotong sama Allah. Sakit ya Win?" tangan kananku memgang kepala Winda sambil mengusapnya. "Aok, Bu.” “Kami birang nak tang Winda?" "Nesik, Bu." "Aok, nah kalau Winda memang mengambil barang yang bukan miliknya lebih baik bilang sama kami, minta maaf dan dikembalikan." Winda masih saja berkelit dan orang dewasa lainnya langsung memberondongnya dengan pertanyaan - pertanyaan menyudutkan. Bukan seperti ini caranya, aku diam sambil memikirkan cara lain. Tanpa ada hubungan yang jelas tiba - tiba saja muncul kesakasian dari Dwi bahwa Winda juga pernah mengambil jajanan yang dijajakannya dan Winda tidak banyak berkelit. Kesempatan bagiku untuk mengorek lebih dalam, "Jadi Win, tangan mana yang mengambil tanpa izin?" "I..ini Bu," belum Winda lebih lanjut mengakui tanpa sadar, para ibu sudah menyerbunya lagi dan membuat Winda kembali berkelit. Hela nafas panjang kembali kulakukan melihat ibu - ibu ini. Sepertinya tidak bisa Winda diperlakukan seperti ini, tidak bisa ibu - ibu ini berada di sini. Saat ada kesempatan aku berbisik pada Winda, aku langsung merangkulnya dan berkata padanya, "Yuk Win, ibu ditunjukkan dimana Winda menyimpan cincin kawin Acik." Air mata mulai menetes di pipi Winda tanpa suara isak tangis. Aku semakin mendekapnya erat dan megusap bahunya. Aku mengajaknya berdiri dan memberi kode kepada semua orang untuk tidak mengikuti kami. Sambil terus kurangkul kami bercakap - cakap dengan sagat lirih. "Di sana, Bu," Winda menunjuk ke sebuah sudut sekolah di bawah jembatan penghubung antar ruangan. "Oh oya, kita ke sana ya. Winda tenang saja, Ibu tidak akan bilang ke siapa - siapa. Winda beritahu Ibu saja ya." Tanpa interogasi panjang lebar ternyata justru Winda langsung mengakui. Kami menelusuri lorong sekolah dengan seluruh mata menatap kami. Sampai di lokasi pembuangan cincin, anak - anak mengerubungi kami ingin tahu apa yang kami lakukan. Tapi dengan bantuan salah seorang siswa SMP anak - anak tersebut diarahkan masuk ke kelas yang semua gurunya sedang tidak ada. Tanpa memikirkan aku memakai rok, akupun melompat dari jembatan penguhung ke tanah tempat Winda membuang cincin yang kira – kira tingginya 2 meter. "Oh di sini ya, Win? Di sebelah mana? Wah Ibu kurang teliti kalau mencari seperti ini," gurauku pada Winda yang membuat Winda sedikit tersenyum. "Di sekitar sini, Bu," kami mnyingkirkan batu - batu kecil di tanah untuk mencari cincin tersebut. "Emanng cincinya seberapa besar, Win?" tanyaku memancingnya agar aku yakin bahwa dia benar - benar mengambil cincin itu. "Ini bu, sebesar ini," Winda menunjuk cincin yang aku pakai. Kami terus mencari sampai akhirnya Winda menemukan cincin di belakang badanku yang sedang jongkok sambil mengais - ngais tanah. Aku genggam cincin itu agar tak ada yang melihatnya tanpa lagi memikirkan membersihkan tangan dengan hand sanitizer yang aku bawa kemana - mana aku pergi. Walaupun sudah ditemukan, namun kami tetap jongkok di bawah jembatan untuk mengobrol santai agar Winda mau menceritakan kronologi kejadiannya. Ya, akhirnya aku menemukan alasan Winda mengambil dua cincin emas tersebut. Eh, bukan...bukan cincin emas yang dia ambil. Tujuan Winda hanyalah mengambil uang dua ribu yang ternyata di dalamnya terdapat dua cincin emas tadi. Tertegun aku mendengar penjelasan Winda bahwa dia dan adiknya kehabisan uang jajan sehingga ingin mengambil uang dua ribu milik Acik. Dia ketakutan karena menemukan cincin sehingga dia membuangnya begitu saja ketika teman - temannya akan memeriksa tasnya tanpa tahu masih ada satu buah cincin kecil di dalamnya. Hampir saja aku ikut terlarut dalam emosi, hampir saja air mata ini menetes ketika aku memeluknya dan mencium kepalanya. "Yuk Win ke kantor lagi. Winda kalau sama Ibu pasti aman saja kok," kucubit pipi Winda untuk memulai candaan dan berjalan menuju kantor. Saat sudah tenang aku menjelaskan kronologi dan alasan Winda mengambil barang - barang Acik. Sykurnya Acik sangat sabar dan memang baik, beliau sama sekali tidak marah bahkan kembali mengajak Winda dan Gita pulang ke rumahnya. Kami menasehati Winda dengan nada bicara dan bahan pembicaraan yang lebih netral, Bu Siti, Bu nur nampaknya juga mulai mengerti bagaimana menangani Winda. Ya, Winda dan Gita butuh kasih sayang. Winda dan Gita akan melawan jika didekati dengan cara keras. Sebelum mereka pulang, aku memberi mereka permen kenyal berbentuk Dinosaurus yang memang aku bawa sekotak besar setiap hari ke sekolah. Bagiku, permen itu adalah hadiah atas kejujuran dan keberanian mereka mengakui perbuatan mereka. "Winda, Gita...kalau ingin jajan dan nesik ada duit madah magang tang Ibu, Ibu Nur, Ibu Siti. Nanak kami ugak kak mori kian asal mintanya baik - baik bah." Aku kembali belajar, kasih sayang dan perhatian orang tua adalah benar - benar kunci penting bagi perkembangan seorang anak. Terimakasih Winda, terimakasih Gita, ibu mendapatkan pelajaran yang tak ternilai kali ini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua