Dorang So Jadi Wartawan dang!

Monika Yeshika Harahap 1 Desember 2013

Selama satu minggu saya berada di Tahuna, ibukota Kabupaten Sangihe, saya memberikan anak-anak kelas IV dan kelas V tugas yang harus mereka kerjakan. Saya memberikan mereka kesempatan untuk menjadi wartawan cilik. Mereka akan mewawancarai nara sumber yang sudah ditentukan.

Sebelum melakukan wawancara dengan nara sumber ini, mereka sudah melakukan wawancara dengan teman-teman dan orangtua mereka, sebagai latihan sebelum menjadi wartawan yang sebenarnya.

Anak-anak yang berjumlah 13 orang ini saya bagi menjadi tiga kelompok. Ada yang bertugas untuk mewawancarai pendeta, ketua komite, dan sekretaris kampung. Saya senang sekali karena mereka merasa tertantang untuk melakukan wawancara kali ini.

Sebelum melakukan prosesi wawancara, mereka sibuk berdiskusi dan menulis pertanyaan yang akan mereka tanyakan kepada nara sumber. Setiap kelompok berusaha untuk menulis lebih banyak pertanyaan .

Sebelum saya berangkat ke Tahuna mereka sudah bersemangat untuk membuat pertanyaan. Sesekali mereka bertanya kepada saya apakah pertanyaan yang sudah mereka buat layak untuk ditanyakan.

Pertanyaan yang mereka buat pun lucu-lucu, misalnya ‘Apakah Bapak suka makan kuaci?’ atau ‘Apakah istri Bapak baik-baik saja?’. Ada juga pertanyaan ‘Apa nama sandal kesukaan Bapak?’  ‘Kenapa Bapak terjatuh?’Kenapa Bapak bersedih?’  ‘Kenapa Bapak sakit?’(meskipun nara sumber sedang sehat-sehat saja ketika diwawancarai) dan masih banyak pertanyaan lucu lainnya. (Sampai tulisan ini saya buat, saya belum berhenti menertawakan kepolosan jiwa anak-anak ini)

Selama berada di Tahuna, sebenarnya saya tidak berharap banyak bahwa mereka akan menyelesaikan proyek kecil-kecilan ini. Mengingat mereka bukan anak-anak yang antusias dengan tugas sekolah. Lebih senang bermain dari pada belajar. Kemudian, saya menyadari kesalahan cara berpikir seperti ini.

Sebelum saya kembali ke pulau, saya sudah menanamkan di dalam pikiran saya untuk tidak berharap banyak bahwa anak-anak itu akan mengerjakannya. Sebenarnya untuk meminimalisir rasa kecewa kalau-kalau mereka memang sama sekali tidak berusaha untuk mengerjakannya. Saya tetap menyediakan hadiah bagi kelompok pemenang seperti yang sudah saya janjikan sebelum saya berangkat ke Tahuna.

Pada Hari Kamis, 14 November 2013 saya mengajar di sekolah saya terkejut ketika anak-anak datang melapor kepada saya bahwa mereka telah mengerjakan proyek wartawan cilik mereka. Dari tiga kelompok, dua kelompok mengerjakan dengan sempurna. Ketika saya sudah memberikan hadiah kepada kelompok pemenang, satu kelompok yang tersisa tertantang untuk menyelesaikan proyeknya segera.

“Nak, ibu sudah memberikan waktu selama tujuh hari untuk mengerjakan wawancara ini dan kalian baru akan mengerjakannya hari ini?” demikian celotehan saya kepada kelompok terakhir. Dan seperti biasa mereka akan tersenyum polos dan mencari alasan-alasan.

Saya terkejut, ketika saya pulang ke rumah setelah bermain dari pantai, saya menemukan anak-anak anggota kelompok terakhir ini sudah menunggu di teras rumah. Kemudian, dengan bangga mereka menyerahkan hasil wawancara mereka.

Sebenarnya saya sangat terharu sekaligus bangga dengan keberanian mereka untuk menyelesaikan proyek wartawan cilik ini. Mengingat nara sumber yang sudah ditentukan bersama ini adalah bapak-bapak yang lumayan disegani di kampung. Ternyata mereka memiliki keberanian dan kepercayaan diri untuk menyelesaikan wawancara ini.

Keberanian dan kepercayaan diri adalah karakter yang belum berkembang di dalam diri anak-anak ini. Perasaan rendah diri dan tidak bisa melakukan yang bagus justru yang mengekang mereka selama ini. “Jaha Ibu!”* adalah seruan mereka untuk segala sesuatu yang baik dan bagus yang pernah mereka lakukan. Seringnya meskipun karya mereka bagus, mereka tidak cukup menganggap itu bagus dan seringnya menjadi rendah diri dan tidak percaya diri.

Saat ini, ketika mereka sudah mau dan mampu menjadi wartawan cilik begini, saya menjadi punya harapan sederhana bahwa mereka pasti bisa menjadi apapun yang mereka inginkan. Asalkan mereka berusaha.

Mereka bukanlah anak pulau yang tidak bisa apa-apa. Mereka bukanlah anak pulau yang jauh tertinggal dari anak-anak kota dengan segala karakter dan watak yang dianggap terbelakang. Semoga Alam menyediakan keberuntungan bagi hidup mereka.

 

Pulau Para, 15.11.2013

20.51 WITA

M&M

 

 

*Jaha=Jahat

Dipakai sebagai ungkapan untuk menunjuk segala sesuatu yang dianggap jelek, buruk, suara yang tidak bagus, jalanan licin, tulisan tangan jelek dan masih banyak lainnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua