Ketika Mereka Mulai Mengenal Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si-Do

Ridhaninggar Rindu Aninda 18 Mei 2013

Aku mulai menyadari kecerdasan musik anak-anak ini sejak bulan pertama aku hidup di antara mereka.            

Awalnya kupikir shalawat yang biasa kudengar setiap maghrib di langgar mengaji sebelah rumahku itu hanyalah nyanyian biasa yang memang lazim dijadikan sarana belajar Agama Islam anak-anak seusia mereka. Setiap hari, setiap maghrib, setiap petang tiba, nyanyian itu tak pernah absen mengudara – tak pelak lagi ikut menyejukkan dan menenteramkan hatiku. Namun lama kelamaan, aku menyadari bahwa suara itu bukan sekadar getaran pita suara yang diperintahkan oleh otak yang patuh pada ajaran dan hati yang ingin memuji Tuhan dan Rasulnya. Suara itu sudah melebihi ekspektasiku: mereka punya intelegensi yang tinggi terhadap musik.

Ketinggian nada yang mampu mereka capai bisa jadi karena latihan yang sudah mereka tekuni bertahun-tahun mereka jadi Anak Tanah Rata. Namun kemerduan yang konsisten di nada-nada tinggi pada beberapa di antara mereka itu jelas merupakan bakat. Kepekaan mereka terhadap nada juga melebihi ekspektasiku. Aku tak pernah kesulitan memperkenalkan lagu baru pada mereka. Bahkan mereka mampu mengingat dengan cepat dan tepat nada lagu angkatanku, Pengajar Muda Angkatan IV, meski hanya melalui curi-curi dengar satu-dua kali saat aku main gitar sendirian – hal yang sudah amat jarang kulakukan setelah aku tiba di sini. Aku terpesona, saat mereka tengah bermain, senandung mereka ternyata lagu tersebut, lagu yang seharusnya asing bagi mereka – meskipun ternyata untuk urusan lirik mereka gagal mencuri dengarnya dari nyanyian gitarku:

“Bergandengan kaki, menyatukan hati...”

He? :D

Ah, ya, tentu saja ini langsung kujadikan strategiku dalam mengajar: dari lagu anak-anak yang familiar bagi mereka, kubuatkan mereka lirik yang berisikan materi pelajaran, dan betul saja, saat tes-tes diberikan, di kelas terdengar sayup-sayup senandung lagu anak-anak: mereka berusaha mengingat materi dengan menyanyikan kembali lagu-lagu itu – dan tarrarra! Hasilnya lagi-lagi melebihi ekspektasiku. Excellent!

Salah satu keputusan di awal pengabdian ini yang amat kusyukuri setelah sampai di penempatan adalah memutuskan menambah satu beban di pundakku dengan sebuah tas. Aku membawa tiga buah tas di pundakku: carrier bag, ransel bacpack, dan sebuah tas gitar milik adik laki-lakiku – tentu saja beserta gitarnya. JTas terakhir ini ternyata amatlah berjasa, selain menemaniku berkontemplasi, mengobati rinduku pada apapun dengan memainkan lagu yang berkaitan dengan kenanganitu, dan menjadi penghibur juara bagi hatiku, ia juga amat membantuku dalam menunaikan tugas-ku di penempatan ini. Ia memberiku inspirasi mengajar, mengeratkanku dengan anak-anak di sini, dan ini yang tak kalah membinarkan bagiku: ia menemukan dan mengembangkan salah satu kecerdasan dominan anak-anak ini – kecerdasan musik. Musik ternyata membantu mereka mengingat dengan amat baik. Musik juga menjadi pembelajaran sensitivitas yang mengena bagi mereka.

Rasa penasaran anak-anak ini terhadap hal yang baru kukenalkan pada mereka ini, yakni musik dan gitar, membawa rasa ingin tahu mereka berubah menjadi keinginan untuk belajar nada lebih jauh lagi. Sayangnya alat musik yang ada di sekitar mereka ini adalah alat musik pengiring, bukan melodi. Aku sendiri yang memainkan rhythm mau tidak mau mengenalkan solmisasi pada mereka dengan gitar ini. Hasilnya memang tak terlalu terekam dengan baik. Namun ketika mereka mulai mengenal nada, antusiasme mereka untuk terus belajar ini membuatku semakin menyadari bahwa musik memanglah minat dan kecenderungan mereka sehingga aku terus mencari cara termudah untuk mengajarkan pemahaman solmisasi pada mereka melalui gitar rhythm-ku ini.

Aku membayangkan, andai di dekat mereka ini bukan hanya ada sebuah alat musik pengiring tunggal, namun juga ada seperangkat angklung, seruling recorder, dan pianika, pembelajaran solmisasi mereka akan jauh lebih optimal. Andai saja ada, dan semoga saja suatu saat akan ada. J


Cerita Lainnya

Lihat Semua