Pengalaman Baru: Bertanding

Ridhaninggar Rindu Aninda 18 Mei 2013

 

Kabar Mendadak

Awalnya ini semua terjadi begitu mendadak. Hari itu hari pertama masuk sekolah setelah libur agak panjang. Saya kembali ke sekolah membawa sebongkah semangat dan asa baru bersama beberapa perlengkapan belajar yang saya borong di kota: raket bulu tangkis untuk menggantikan yang sudah rusak di dusun, palet, cat air, pensil warna, kertas karton, dan kertas origami untuk memfasilitasi kreativitas mereka, dan – ah, ya, bola voli, seingat saya sebelumnya saya belum pernah melihatnya di kantor sekolah. Lagipula, pantai adalah salah satu destinasi liburan paling favorit di pulau ini, saya pikir asyik juga kalau nanti kami tak sekadar berenang atau mencari kerang saat ke pantai, melainkan juga bermain voli pantai.

Setibanya di sekolah, wajah-wajah mungil yang sudah seminggu ini saya rindukan menyambut saya dengan celoteh riangnya. Sesaat kemudian, Pak Jamsuri, salah satu guru honorer di sekolah kami, menyusul datang. Ia berjalan menghampiri kami kemudian menyampaikan sebuah kabar yang membuat saya terkejut: besok ada pertandingan olah raga se-Kecamatan.

Hah? Besok?

Pak Jamsuri hanya mengulum senyum, ia melempar bahu dan dagunya ke kirinya, ke arah datangnya sebuah motor yang dikendarai oleh Pak Ainun, satu-satunya guru PNS di sekolah kami. Ternyata Pak Ainun yang membawa surat undangan lengkapnya.

Saya membaca surat undangan itu keras-keras dan keterkejutan saya segera saja menular kepada anak-anak. Ada empat cabang olah raga yang dipertandingkan: sepak bola mini, sepak takraw, voli putra, dan voli putri. Dan di antara itu semua, ada satu – hanya satu – cabang yang diperuntukkan bagi putri, yakni voli putri.

 “Ha! Voli? Eshon tak bisa, Bu.” Sekejap suasana berubah menjadi riuh, semua murid perempuan ketakutan dan menolak untuk ikut. “Eshon tak paham, Bu.” tolak yang lainnya. “Eshon tak pernah main voli, Bu.” yang lain berkilah. “Eshon tak mau ikut, Bu.” Semua suara intinya bernada menolak.

Saya sendiri masih termenung memandangi surat undangan itu. Cepat sekali kompetisi mendatangi kami. Baru saja saya berniat mengajarkan – eh, bukan, bukan mengajarkan, karena saya sendiri sebenarnya justru tak cukup ahli – memfasilitasi mereka untuk berlatih lebih tepatnya. Saya kemudian teringat bola voli yang baru saja saya beli sebagai ikhtiar awal mewujudkan niat itu. Segera saja saya pulang ke rumah mengambil bola voli yang masih dikempeskan dan hendak membawanya turun ke bawah, mencari tukang tambal ban untuk memompanya. Pak Ainun ternyata menyusul ke rumah, menawarkan ia saja yang memompakannya. Saya pun sepakat kemudian menunggu di sekolah bersama anak-anak, sambil terus mendengarkan penolakan-penolakan mereka yang sebenarnya merupakan ungkapan ketidakpercayadirian anak-anak itu.

“Mereka besar-besar, Bu. Kita pasti kalah.”

Saya tersenyum se-ibu mungkin untuk meyakinkan mereka, meski dalam hati ketar-ketir tetap melanda saya, bukan karena alasan yang sama dengan alasan anak-anak itu, melainkan karena sadar bahwa selama ini mereka sama sekali belum terlatih bermain voli. Tapi saya tahu kemenangan bukanlah yang terpenting saat ini. Keberanian mereka melawan ketakutan dan ketidakpercayadirian mereka sendiri sudah merupakan kemenangan bagi mereka. Saya harus menanamkan mental juara pada mereka: pantang menyerah sebelum berperang!

Siang itu, kelas diganti menjadi pelajaran olah raga dalam rangka mempersiapkan diri – meski amat mepet. Sekolah kami tak punya lapangan, apalagi net voli. Tapi di desa ada sebuah lapangan besar yang biasa digunakan untuk pertandingan sepak bola – sebuah tanah lapang tanpa rumput tentunya. Kami pun beranjak ke sana, berlatih semampunya hingga sore hari tiba.

 

Sepatu Bergilir

“Eshon tak punya sepatu, Bu.”

Saya menunduk ke bawah, memperhatikan sebelas pasang kaki anak laki-laki dan enam pasang kaki anak perempuan yang baru saja turun dari e-kol (asal muasalnya dari a colt – merk sebuah mobil) dan menginjakkan kakinya di lapangan Kepuh, tempat pertandingan diadakan. Sebagian besar di antara mereka bersandal, hanya beberapa anak saja yang bersepatu lusuh. Saya buru-buru menyembunyikan ekspresi putar otak saya, kemudian menyahut sambil tersenyum mencoba menenangkan, “Tak apa. Ayo kita baris di sana.”

Sambil melangkah saya terus memutar otak. Mungkin melepas alas kaki bisa jadi solusinya, alih-alih mereka harus ketambahan ribet dengan menjaga sandal tetap bersarang di kakinya selama bertanding. Namun sayang, panitia tak mengizinkannya. Belum datang ide kedua, panggilan untuk pertandingan pertama bagi sekolah kami datang: sepak bola mini melawan SDN 1 Kepuh Teluk.

Kemudian terjadilah hal yang tidak saya duga sebelumnya. Anak perempuan yang menggunakan sepatu melepas sepatu mereka, bertukar dengan sandal anak laki-laki yang akan turun main sepak bola mini. Untungnya ukuran kaki mereka relatif sama. Namun sayangnya tak semuanya bisa kebagian. Masih ada anak-anak yang terpaksa menggunakan sandalnya saat bertanding.

Pertandingan pun dimulai tanpa sempat ada solusi untuk pemain-pemain bersandal ini. Anak-anak perempuan berteriak dari pinggir lapangan bak supporter sepak bola sungguhan mendukung teman-temannya yang bermain. Bola ditendang, diterima temannya, ditendang lagi, diterima temannya, ditendang lagi dan – tash! Ternyata ada sandal juga ikut melayang di udara bersama bola yang tertendang oleh si pemilik sandal. Itu tadi salah satu anak Tanah Rata yang bersandal. Sekarang ia harus mengejar sandalnya dan – gol! Gawang kami kebobolan. Lagi. Dan lagi. Tujuh kali kami kebobolan, tanpa sekalipun gol balasan. Tapi sandal hanya menyumbang kecil saja kekalahan kami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa faktor utamanya tetap kurangnya jam terbang latihan.

Pertandingan pun selesai dengan anak-anak perempuan lebih lesu daripada yang anak laki-laki yang barusan bertanding. Kepercayaan diri mereka langsung makin ciut. Tapi speaker kembali bergema, memanggil SDN 3 Kepuh Teluk, sekolah kami, untuk segera saja bertanding voli putri.

 

Zakiyah, si Atletis

Sudah dapat ditebak apa yang kemudian terjadi. Ya, anak-anak perempuan langsung merajuk minta pulang. Sakit perut, pusing, tiba-tiba semua mengaku merasa sakit. Saya mati-matian mendorong mereka untuk setidaknya berjalan mendekati lapangan, dengan iming-iming boleh tidak bertanding asal bilang dulu sama panitianya – sebuah iming-iming palsu sebenarnya, karena tentu saja saya berharap mereka tetap bertanding. Tapi setidaknya itu berhasil “menyeret” mereka mendekati lapangan.

Rajukan mereka tidak hilang sesampainya di lapangan voli, malah semakin keras. Lawan mereka ternyata benar besar-besar, entah faktor gizi karena yang satu di atas gunung dan yang satu lagi di dekat jalan raya, atau hanya sekadar kebetulan belaka. Yang pasti, butuh waktu cukup lama untuk membujuk mereka mau bertanding. Susaaaaaaaaaahhhhhhnya minta ampun. Satu orang berhasil dibujuk, tapi masih butuh tiga orang lagi. Beberapa anak kabur menjauh, saya mengejarnya sampai dapat kemudian kembali membujuk mereka untuk balik ke lapangan. Saat kembali, sudah tiga orang ternyata yang berhasil dibujuk oleh satu orang yang pertama luluh tadi. Tinggal satu lagi. Kali ini saya dibantu tiga anak yang sudah siap di lapangan untuk membujuk, alhasil terbujuklah satu orang lagi. Lengkap, tim sudah empat orang, pertandingan dapat dilangsungkan.

Saya tak berekspektasi apa-apa. Mereka sudah mau melawan ketakutan mereka saja itu sudah lebih dari cukup bagi saya. Namun kemudian pertandingan berlangsung melebihi ekspektasi saya yang tadi sudah jelas-jelas tidak ada itu: Zakiyah, murid yang pertama berhasil dibujuk tadi, ternyata menunjukkan bakat alaminya di sini. Ia belum pernah bermain voli sungguhan sebelumnya – hanya pernah mencoba pukul-pukul asal kemarin sore. Tapi ternyata servisnya sangat baik, dan yang tak saya duga, ia ternyata jago smash. Unpredictable! Zakiyah kontan jadi penyelamat tim dan beberapa kali membuat lawannya kalang kabut hingga membuat kesalahan sendiri.

Tapi sayangnya, tim kami baru bisa panen point kalau posisi Zakiyah sedang di belakang. Saya baru tahu bahwa dalam voli ada peraturan tukar posisi dengan berputar. Pukulan Zakiyah saat ia ada di depan terlalu kencang – ia belum mampu mengontrol tenaganya dengan perhitungan jarak – sehingga kerap kali bola pukulannya out alias keluar. Dan servis kerap gagal – kebanyakan tidak sampai net – ketika bukan Zakiyah yang melakukannya.

Alhasil, kami kembali kalah, namun kali ini tidak telak, malah nyaris imbang. Bagi saya, ini menakjubkan. Anak-anak ini baru kenal bola voli kemarin sore, sementara lawannya punya lapangan voli di sekolahnya. Wajar saja karena jam terbang kami berbeda. Anak-anak ini bisa mengimbangi lawannya dan bertahan running memukul dan servis saja itu sudah luar biasa. Dan pertandingan ini setidaknya memberi tahu saya bahwa sekolah kami punya seorang murid berbakat kinestetik alami, Zakiyah si atletis.

Dan ternyata Zakiyah memang ketagihan. Berikutnya, ketika murid-murid perempuan menjadi supporter voli putra, ia berbisik di telinga saya, “Bu, coba aku boleh ada di dalamnya. Aku mau ikut main lagi, Bu.”

Semoga kelak ada event lagi untuk menyalurkan bakatmu, Zakiyah. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua