Pendidik-Pendidik Tanpa Rotan

Ricky - Kurniawan 19 Oktober 2016

Ada sebuah tradisi mengajar yang dipegang sangat erat oleh kebanyakan guru di tanah Maluku, khususnya desa Bebar Timur. Mengajar murid-murid itu harus menggunakan rotan. Katanya anak-anak Maluku/Bebar Timur itu akan kurang ajar, tidak mau kerja tugas, tidak menghormati guru kalau tidak dipukul dengan rotan. Mereka berbeda dari anak-anak daerah lain. Itu katanya. Rupanya hal ini juga dipercayai dan dilakukan di rumah oleh hampir semua orang tua murid yang kujumpai disini. Ada satu kalimat dari para orang tua murid yang hampir selalu disampaikan padaku tiap kali melakukan kunjungan ke rumah murid-murid. Kalimatnya kurang lebih demikian, “Pak guru keras sedikit boleh. Jangan terlalu lombo (lunak) dengan anak-anak. Rotan dong (mereka) sekali-kali.” Aku cuma bisa membalas permintaan tersebut dengan senyum yang lebar.

Bukan hanya guru dan para orang tua yang menyarankan hal di atas padaku. Yang lebih memilukan hati adalah murid-muridku sendiri juga menyarankan hal yang sama. Setiap kali kami mendiskusikan tentang konsekuensi apa yang paling tepat diberikan bagi yang tidak mematuhi kesepakatan kelas yang telah kami buat bersama, aku sering mendapatkan usulan berikut: “Rotan dong boleh pa guru supaya dong tobat.” Tanpa mereka sadari, mereka menginternalisasi sebuah pemahaman bahwa rotan adalah satu-satunya cara yang paling ampuh untuk menyelesaikan segala permasalahan.

Masalah rotan bukan cuma terlontar secara verbal dari murid-muridku, namun juga tertuangkan dalam bentuk tulisan. Setiap pagi, murid-murid kubiasakan untuk membaca dan menulis. Untuk menulis, mereka mendapatkan bermacam-macam topik untuk dieksplorasi misalnya buah kesukaan, keluarga, cita-cita, dll. Menyangkut tentang topik cita-cita, rupanya lumayan banyak yang ingin menjadi guru. Supaya tulisan mereka lebih berisi, mereka juga harus menceritakan tentang mereka ingin menjadi guru apa dan seperti apa nantinya. Aku terperanjat ketika membaca tulisan seorang muridku yang mengatakan bahwa jika ia menjadi guru kelak, ia akan memukul murid-muridnya dengan rotan. Sejujurnya, ada perasaan sedih yang menyelinap di hati ketika membacanya. Tulisan ini kudapatkan pada bulan Agustus yang lalu.

  Menginjak awal purnama kelima, aku sempat bertanya pada diri sendiri. Apakah murid-muridku dapat mengerti alasan aku tidak menggunakan rotan pada mereka? Apakah mereka paham? Aku memang sering menggunakan perumpamaan tentang gembala dan binatang ternaknya untuk membumikan alasan mengapa bapak guru mereka tidak menggunakan rotan pada mereka. Ya sudahlah, pikirku. Mereka dapat memahami atau tidak, aku akan terus berusaha semampu dan sekuat yang aku bisa. Aku tidak mau terjebak pada pertanyaan yang dapat membuatku setengah-setengah untuk menyelesaikan kerja yang belum tuntas ini. Masih ada tujuh purnama lagi untuk melanjutkan perjuangan.

Pada dasarnya, aku tidak mau menjadi guru yang ditakuti karena rotan ada di tangan. Aku tidak ingin mendisiplinkan murid-murid dengan rotan untuk diam ketika mereka beribut di kelas atau supaya mereka mengerjakan PR. Sebagai guru, aku hanya berpegang pada sebuah keyakinan bahwa tugas seorang guru adalah membantu murid-muridnya dengan berbagai cara untuk memahami sendiri alasan mengapa mendengarkan dengan baik di kelas itu sesuatu yang perlu dilakukan, atau mengapa mengerjakan PR itu adalah latihan bagi mereka untuk memantapkan pemahaman. Aku mau terus bekerja menghadirkan seorang sosok guru yang berbeda dan yang belum pernah ada di Bebar Timur meskipun banyak skeptisisme dan kritik tentang cara dan pembawaanku mengajar yang berdatangan. Sekalipun demikian, bukan berarti semua orang di Bebar Timur demikian. Ada juga mereka-mereka yang senantiasa memberikan dukungan dan senang dengan hadirnya pandangan yang berbeda yang belum pernah dijumpai di desa sebelumnya. 

Mari melupakan sejenak tentang rotan dan beranjak ke kelas Bahasa Indonesia kelas IV SDK Bebar Timur. Dalam satu bulan terakhir, murid-murid belajar menulis surat tentang cita-cita di kelas Bahasa Indonesia. Mereka sudah menulis surat beberapa kali karena ada perbaikan-perbaikan yang mereka harus lakukan agar surat mereka lebih baik. Bukan perkara mudah untuk mengajarkan cara menulis surat pada mereka. Pengulangan harus secara konsisten dilakukan supaya mereka terbiasa menulis nama tempat dan bulan dengan huruf besar, memberikan tanda titik di akhir kalimat, dan mengerti bahwa surat itu harus mempunyai beberapa bagian yang harus ada. Pada minggu lalu, mereka mengumpulkan revisi surat cita-cita mereka yang terakhir. Membaca isi surat mereka merupakan hal yang selalu membuat senyum terkembang di wajahku. Seperti sebelumnya, masih banyak dari mereka yang bercita-cita menjadi guru. Dari sekian surat yang dikumpulkan, ada dua surat yang membuatku terdiam dan bersukacita dalam hati. Berikut penggalan isi kedua surat tersebut: 

“Kalau mereka baribut maka saya tegor mereka tapi saya tidak pukul karena jadi guru itu saya harus tenang dan sabar. Pak guru saya bilang kalau mau jadi guru itu harus sabar.” Inda – siswi kelas IV SDK Bebar Timur.

“Cita-cita saya menjadi guru matematika supaya anak-anak bisa berhitung supaya guru yang lain mengajar mereka jangan pukul mereka dan juga mereka jangan dapat marah dari guru yang lain.” Kosta – siswa kelas IV SDK Bebar Timur.

            Bagi orang lain, tulisan mereka berdua mungkin tidak ada artinya. Namun, bagiku yang sudah hampir satu semester ini bertumbuh bersama mereka, tulisan mereka bermakna sangat dalam. Inda, merupakan murid yang kuceritakan pada beberapa paragraf sebelumnya. Ia adalah murid yang bercita-cita menjadi guru dan akan menggunakan rotan pada murid-muridnya. Kosta juga tidak jauh berbeda. Ia merupakan salah satu murid yang biasanya menyarankanku untuk menggunakan rotan. Namun, lihatlah tulisan mereka yang terbaru! Ada sesuatu yang tersirat. Sebuah perubahan sedang terjadi dalam diri mereka. Mereka merefleksikan apa yang mereka alami dan rasakan pada level yang sangat personal. Rotan bukanlah lagi pilihan mereka.

            Tulisan mereka semakin meletupkan semangat dan menguatkan kaki serta tangan ini untuk terus melanjutkan apa yang sudah dimulai. Ada satu keyakinan yang terbesit dalam diriku setelah membaca tulisan mereka, bahwa semangat perubahan ini nantinya akan terbawa jauh ke masa depan, dan itu bukan dilakukan oleh Pengajar Muda di empat tahun berikutnya di desa Bebar Timur ini. Anak-anak desa Bebar Timur sendirilah yang akan menularkan semangat tersebut. Setidaknya, di masa depan nanti akan ada dua orang guru yang bernama Monika Inda Leterulu dan Kostantinus Leterulu yang akan dan siap menjadi pendidik-pendidik tanpa rotan.      


Cerita Lainnya

Lihat Semua