Upacara Perdana

Habiba Nurul Istiqomah 20 Oktober 2016

“Latihan seng bisa serius, masih banyak yang lupa begini. Yakin hari senin mau upacara?” Tanyaku pada tentara-tentara kecil itu.

“Yakin Ibu.” Jawab mereka mantap.

“Yakin? Ibu sa ragu.” Jawabku jujur, mereka terdiam. “Hey, kalau upacara, Ibu seng ada di depan atau di samping kalian por kasih ingat apa yang harus kalian bilang. Dede, Minggus, Tomy harus hafal bagaimana cara lapor, kasih perintah hormat, siap, tegap, kasih naik bendera. Bisa hafal ka seng?” Lanjutku.

“Bisa Ibu!” Lagi-lagi mereka jawab dengan sangat mantap.

Aku menghela nafas panjang. Sejujurnya aku ingin bilang, kita batalkan saja upacara besok . Tapi melihat semangat mereka, aku tidak tega.

“Ok, senin katong upacara. Tapi syaratnya, besok habis ibadah minggu katong semua kumpul di sekolah por latihan. Bisa ka seng?” Tanyaku.

“Bisa Ibu.”

Hari minggu pun datang, selesai ibadah aku tunggu mereka di sekolah, tidak ada yang muncul. Aku lihat seorang anak di ujung kampung sedang main mutel (read: kelereng). Aku bertanya padanya,” Mana yang lain? Katanya mau latihan.”

“Dong pi Telalora Ibu.”

“Por apa?”

“Beli tabaku.”

Hah, lagi-lagi aku menghela napas panjang. Kali ini aku yakin untuk membatalkan upacara besok. Anak-anak ini belum siap pikirku.

Pagi pun tiba, seperti biasa, pukul 06.30 WIT aku mandi, berganti pakaian, siap-siap ke sekolah. Hari itu sedikit berbeda, aku mendengar tawa anak-anak kecil berangkat sekolah. Aku intip dari balik jendela kamarku, dengan pakaian merah putih, topi, dan dasi, anak-anak itu sudah ada di sekolah. Tidak pernah sebelumnya mereka pakai topi dan dasi. Aku pun tidak pernah menegur karena aku pikir mereka tidak punya.

Aku lihat jam, takut-takut kalau aku yang terlambat. Tidak, ternyata memang masih pukul 06.30 WIT. Tidak pernah anak-anak berangkat sepagi ini. Aku pun mempercepat aktivitasku untuk segera ke sekolah.

“Waw, berangkat pagi sekali,” Sapaku pada mereka.

“Mau upacara to Ibu?” Tanya anak kelas I. aku terdiam. Padahal aku berencana untuk membatalkan upacara hari ini.

“Memangnya mau upacara?” Tanyaku pada anak-anak yang bertugas.

Mereka mengangguk yakin.

“Kemarin saja seng jadi latihan. Ibu tunggu tapi seng ada orang.”

“Beta su bilang Ibu, habis beli tabaku katong langsung pulang sudah. Tapi dong bermain terlalu lama di Telalora,” Ucap salah satu anak yang disambut dengan sangkalan anak-anak lain. Langsung mereka rebut saling menyalahkan.

“Sudah, ibu Tanya sekali lagi. Mau upacara ka seng?”

“Upacara.”

Aku putuskan untuk upacara. Aku ambil perangkat upacara, aku panggil guru-guru yang ada, termasuk guru TK.

“Ibu, beta seng mau jadi petugas.”

“Beta juga seng mau palu Ibu.”

“Seng mau baca UUD 1945.”

Tiba-tiba satu per satu anak mengadu padaku. Mendengar itu rasanya petir menyambar dadaku. Mereka yang minta upacara lalu satu per satu mengundurkan diri. Maksudnya?

“Barang?” tanyaku pada mereka.

“Beta seng pake sepatu Ibu,” Jawab salah satu dari mereka.

“Hah? Alasan apa pula itu. Memangnya Ibu pernah bilang kalau jadi petugas upacara harus pakai sepatu?” Nadaku mulai meninggi. Anak-anak itu tertunduk diam.

“Ibu seng pernah bilang begitu to? Pegang ini, baca sudah,” lanjutku sambil memberikan perangkat upacara padanya.

Upacara pun dimulai. Semua berlangsung sesuai rencana walaupun sering kali setiap mereka lupa, pandangan mereka langsung tertuju padaku sambil berbisik dan mengkode-kode memanggil, “Ibu-Ibu…” Hal itu itu cukup membuatku cukup terhibur dengan tingkah mereka.

Inilah upacara pertama di SDK Telalora, Iblatmuntah setelah vakum lebih dari 6 tahun yang lalu. Bahkan masyarakat di sini sudah tidak ingat kapan upacara bendera terakhir pernah diadakan. Mungkin upacara hari ini tidak sebagus dan sehikmat upacara di sekolah lain. Tapi semangat untuk mengadakan upacara dan kemauan untuk belajar jadi petugas upacara sangat patut diapresiasi walaupun hanya beberapa yang berseragam lengkap dengan topi, dasi, dan sepatu.

Ow iya, sepertinya aku lupa cerita kalau dasi yang dipakai beberapa anak perempuan adalah dasi laku-laki. Seorang sempat menangis karena diejek teman lain. Tapi dengan sedikit sentuhan, dasi itu berubah jadi dasi perempuan. Sang anak pun tersenyum manis mengikuti upacara perdana ini.

Catatan:

Beta : saya || Katong : kita ||  Dong : mereka || Seng : tidak  || Pi : pergi || Su : sudah || Palu : pemandu lagu || Sa : saja || Por : untuk

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua