Belajar dari Sarli

Fina Azmiya 15 Oktober 2016

"Ibuuu, Ibuuu. Tunggu betaaa"

Anak kecil itu berlari menyusuri jalanan semen yang sudah retak-retak dimakan usia. Sambil menyeret tas yang agaknya kepanjangan, ia terus berlari dengan sepatu kebesaran. Seragam merah putihnya yang agak usang tampak kedodoran. Ia masih melanjutkan langkah lari, seperti tak mau kalah dengan matahari yang sudah mulai meninggi.

Sesampainya di depan Gereja, ia menghentikan langkahnya. Membetulkan tali sepatu lalu menggamit tanganku yang sedari tadi menunggunya. Nafasnya naik turun seiring dengan ingus di hidungnya. Namun begitu, senyumnya tetap saja mengembang.

“Sarli kenapa seng (tidak) berangkat tempo seperti biasa?” tanyaku sambil mengayunkan tanganku dan tangannya.

Ia hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum dan tatapan agak bersalah.

“Terlambat bangun kah?” tanyaku lagi. Aku memang penasaran, karena biasanya ia selalu menungguku di depan rumah dengan penampilan yang sudah rapi. Sarli adalah satu-satunya anak yang sedari awal aku di sini selalu menemaniku berangkat kepagian. Tapi pagi ini, ia tak tampak menunggu di depan rumah. Beberapa menit kutunggu, ia belum juga tampak. Barulah ketika aku berjalan sampai depan Gereja, ia memanggilku dari kejauhan “Ibuuuu” lalu berlari menyusulku.

Seng, Ibu. Tadi mama ada suruh angkat air untuk ke kamar mandi sama pi (pergi) kasih makan babi”

“Ooh, Sarli angkat air sendiri ke kamar mandi? Kuat kah?”

“Iya ibu”

“Besok, Sarli harus bangun lebih pagi berarti ya, biar bisa bantu mama dulu sebelum pi sekolah”

“Iya ibu. Besok beta lari kencang kejar ibu to, biar beta seng terlambat” jawabnya malu-malu.

Ia memang belum fasih membaca seperti teman-teman kelas dua yang lainnya. Tapi, sikap yang ia tunjukkan seringkali membuatku bangga. Komitmennya, keteguhannya, juga sikap rajinnya. Ketika banyak anak seusianya masih bermanja-manja, ia harus rela bangun lebih pagi untuk mengangkat air, memberi makan babi, bersiap, menata diri sendiri, dan tentu agar tak terlambat pergi sekolah. Padahal, dulu ketika di usia yang sama dengannya, aku masih mengandalkan ibu untuk sekedar mengangkat air minumku, juga mengandalkan bapak hanya untuk membangunkanku. Ah Sarli, kedewasaanmu membuatku malu.

Sarli, anak yang bahkan ingusnya masih naik turun saja mampu mengatur diri untuk bangun lebih pagi dan melawan keinginan untuk lebih lama terbuai di alam mimpi. Bahwa Dewasa memang bukan tentang angka, tetapi tentang bagaimana kita mampu mengatur, juga memaknai diri.


Cerita Lainnya

Lihat Semua