The Special One

RiamaLumban Gaol 14 Mei 2015

          Namanya Nurul, siswa kelas satu. Nurul si anak istimewa. Anak yang selalu memanggilku Bu tanpa mengatakan apapun. Dengan keterbatasannya membuatku jatuh hati pada semangat dan keceriaanya. Saat pertama kali melihatnya saya sudah “menilai” bahwa anakku ini adalah anak istimewa. Melihat  bagaimana Nurul berjalan dengan keseimbangan yang belum stabil dan belum bisa berbicara dengan jelas.

          Mempunyai kesempatan untuk telling story setiap hari rabu di kelas Nurul meningkatkan rasa ingin tahu bagaimana caranya belajar dan bermain di dalam kelas. Layaknya seperti anak istimewa pada umumnya, Nurul hanya bisa mengikuti pelajaran sebatas kemampuan Nurul. Berbeda saat belajar matamatika, menulis dan membaca, telling story adalah kesukaan Nurul karena tidak perlu melakukan apapun hanya mendengar saja.  Saat saya masuk dengan membawa buku cerita, Nurul sudah duduk dengan rapi. Saat saya mulai bercerita, Nurul mengikuti bagaimana gerakan yang saya lakukan di depan kelas.

          Melihat bagaimana antusiasnya Nurul mendengarkan cerita membuat hati saya tergerak untuk mendatangi rumah Nurul sekedar memberikan buku cerita untuk dibacakan oleh orangtua Nurul. Kesempatan itupun ada, saya mendatangi rumah Nurul, bertemu dengan ayah dan ibunya. Pertemuan itu menjadi kesempatan bagi saya untuk mencari tahu bagaimana kehidupan Nurul di rumah dan bagaimana Nurul bisa berbeda dengan orang lain. Alasan keterlambatan penanganan menjadikan Nurul membuatmenjadi anak istimewa.

          Keinginan orangtua agar Nurul tetap menyekolahkan dengan keistimewaan Nurul adalah hal yang sangat saya apresiasi. Suatu  Ibu Nurul selalu menguncir rambutnya sebelum ke sekolah dengan berbagai bentuk yang membuat Nurul menjadi cantik, ayah Nurul yang selalu setia mengantarkannya melewati jembatan rumah dan menunggu sampai Nurul tidak terlihat. Kerja sama keduaorang tua ini menjadi dasar menyekolahkan Nurul. Kemauan orang tua Nurul merupakan contoh bagi orang tua lain. Kesediaan sekolah juga mendukung orang tua Nurul untuk tetap menyekolahkan Nurul. Dengan berbekal pengetahuan  pengajaran dasar, belajar otodidak dan mengikuti seminar-seminar, wali kelas Nurul dibekali ilmu yang membantu dalam mendidik Nurul di sekolah.

          Menjadi istimewa diantara teman-temanya di kelas juga dirasakan Nurul. Tidak jarang Nurul mendapat perlakuan yang berbeda dari teman-temannya di kelas bahkan kakak-kakak kelas. Sikap dijauhi dan tidak diterima sudah Nurul rasakan. Tidak jarang juga dia melampiaskan kemarahannya dengan memukulkan sapu tangannya yang penuh liur kepada teman-teman atau kakak-kakak kelasnya saat Nurul merasa tidak senang atas perlakuan temaan-teman atau kakak-kakaknya. Tapi diantara ketidaknyamanan itu selalu ada penolong buat Nurul.

           Dia adalah Zulva teman sekelas Nurul, teman sebangku, teman jika ingin jajan, dan  teman yang menjadi sosok Ibu guru untuk Nurul. Tidak jarang Zulva membantu Nurul membersihkan air liur yang selalu jatuh, menemani Nurul jika tidak ada temannya dan membantu Nurul dalam belajar. Kebiasaan walikelas memberikan terapisingkat dipagihari kepada Nurul membuat Zulva juga ikut tergerak. Sering sekali saat pagi hari, Zulva mengajak Nurul berjalan mengikuti garis, melatih mengucapkan huruf vokal A,I,U,E,O.  Peranan dari wali kelas yang membantu memberikan pengertian dan mencari teman sejawat bagi Nurul sangat berhasil menurut saya.

           Dari keseharian Nurul, ada saja hal kecil yang tidak terduga oleh orang dewasa pada umumnya. Pagi itu hujan deras turun di desa, jam dimana anak-anak akan pergi ke sekolah. Sebagai seorang guru yang sudah tahu bagaimana medan di desa ini, dapat pastikan akan banyak anak didik saya yang tidak pergi ke sekolah. Tapi berbeda dengan Nurul, pagi itu Nurul semangat datang ke sekolah dengan menggunakan plastik makanan sebagai penutup kepala, menggunakan baju seragam putih dengan celana tidur dan sendal. Saat tiba di sekolah saya bertanya, “nak, kenapa pakai celana? Roknya di mana?” kemudian dia mengeluarkan roknya dari dalam tas. Akhirnya saya terdiam dan tersipu malu karena logika Nurul lebih berjalan daripada saya.

          Nurul juga adalah anak didikku yang paling sensitif. Saat itu tepat hari Rabu, saatnya telling story di kelasnya Nurul. Sudah menjadi hal yang rutin saya lakukan mengajak Nurul mengobrol atau sekedar menyapanya. Tapi entah kenapa hari itu terasa sangat sibuk, tidak ada interaksi saya dengan Nurul. Jam pulang sekolahpun tiba. Saya dipanggil oleh salah satu siswa kelas 4 untuk membantu mencari sepatu Nurul yang hilang. Saya mendapati Nurul sudah menangis di depan kelasnya. Saya, guru-guru bahkan bapak kepala sekolah berpencar mencari sepatu Nurul selama kurang lebih 30 menit. Akhirnya saya mendatangi Nurul dan bertanya, dimanakah terakhir melihat sepatunya. Nurul tidak menjawab hanya menangis saja sembari memeluk erat tasnya. Akhirnya saya meminta Nurul untuk memberikan tasnya kepada saya. Ternyata sepatunya ada di dalam tas. Sembari tersenyum Nurul meminta tas dan sepatunya kepada saya. Akhirnya dengan segala kekesalan menyerahkan tas dan kemudian menyuruhnya pulang ke rumah. Besoknya saat saya tiba di sekolah saya mendatangi Nurul dan bertanya kenapa Nurul menyembunyikan.  Dengan muka datar dan suara ketus Nurul menjawabnya “Ibu ndak ajak Nurul, Ibu mainnya sama Baron (teman sekelas Nurul).  Mendengar itu saya terdiam dan sadar memang kemarin saya tidak bermain bersama Nurul bahkan dia melihat saya memangku teman-temannya secara bergantian. Anakku ini bisa melihat dan merasakan hal-hal yang berbeda dari setiap kegiatan yang Nurul lakukan atau dapatkan.

          Jelas terlihat dari kemampuan dan sikap Nurul, semangat orang tua, sekolah dan teman-teman mampu mendukung pendidikan Nurul. Sehingga Nurul selalu semangat datang ke sekolah. Tidak pernah sekalipun saya mendengar Nurul tidak turun ke sekolah kecuali karena sakit. Bahkan saat orang tuanya ngaret padi ke sawah, dia memilih untuk tetap datang ke sekolah. Semangat seperti inilah yang tidak dimiliki oleh anak-anak didik saya lainnya. Saat ada acara nikahan, panen, dan hujan turun mereka memilih untuk tidak datang ke sekolah. Tidak hanya sebatas itu, saat anak-anak lain dibekali dengan sepeda untuk pergi dan pulang dari sekolah, Nurul berjalan kaki. Saat pergi dan pulang  dari sekolah, Nurul akan  berjalan sendiri tanpa ada bantuan maupun pengawasan dari orang tua. Segala keterbatasan diri bukan menjadi penghalang buat Nurul untuk ke sekolah tetapi dengan hadirnya orang tua, wali kelas dan teman-temannya menjadi penyemangat untuk Nurul ke sekolah.

        


Cerita Lainnya

Lihat Semua