info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Selamat Menempuh Hidup Baru...

Rhamdani Kurniawan 25 Desember 2010
Culture Series.... 27 November 2010 Malam itu, setelah menyelesaikan shalat maghrib berjamaah di masjid Al Jannah, Desa Indomut, sebuah rumah sederhana di belakang masjid disesaki puluhan warga. Berkumpulnya puluhan warga di rumah tersebut karena ingin menyaksikan prosesi ‘antar kerugian’ yang dalam hitungan menit akan terjadi. Antar kerugian merupakan sebuah prosesi untuk menentukan hari dilangsungkannya sebuah akad nikah sekaligus walimatul ‘ursy. Prosesi ini dimulai dengan mangaji di rumah calon pengantin pria, seperti biasa, pot dupa kembali mengepulkan aroma wangi kayu manis yang menyeruak selama proses mangaji,  lalu disusul dengan tersajinya beraneka macam kue ketika mangaji selesai. Setelah berbincang sesaat, anggota keluarga dari pihak pria mulai mengeluarkan beberapa bahan pokok, dan dimulailah prosesi antar kerugian. Barang kebutuhan pokok yang terdiri dari beberapa karung beras, tepung terigu dll, kemudian diarak menuju rumah calon pengantin wanita yang terletak tepat didepan masjid, kerumunan warga pun kini berpindah. Aneka barang kebutuhan pokok itu kini sudah berada didalam rumah, kemudian Ompala membuka sebuah benda yang terbungkus  kain berlapis, ternyata bungkusan itu berisi tiga gepok uang dari berbagai pecahan sejumlah kurang lebih 600 ribu rupiah. Setelah bungkusan itu berpindah tangan, pot dupa kembali mengepul, kali ini aroma manis gula pasir yang menyeruak di ruangan menjadi pertanda dimulainya mangaji, menyusul aneka macam kue tersaji kembali dihadapanku ketika mangaji selesai, lalu masuklah pada acara inti, yaitu pembicaraan dua keluarga dipandu Imam Masjid dan Ompala untuk menentukan tanggal bersejarah bagi Fandi dan Sofia, dimana keluarga wanita berada diruang tengah dan keluarga pria berada diruang tamu, tidak berada dalam satu forum. Itulah cerita singkat prosesi antar kerugian, sebuah ritual menyerahkan ‘persembahan’ yang telah diminta sang wanita kepada lelaki yang berniat meminangnya. Mungkin akan muncul pertanyaan, mengapa namanya antar kerugian, apakah pihak lelaki mengalami kerugian? Jawaban singkat dari pertanyaan ini adalah bahwa pihak lelaki telah mengalami rugi dengan mengeluarkan sejumlah uang serta barang sebagai persembahan kepada sang pujaan hati. Walau demikian, ia rela mengantarkan seluruh kerugian kepada orang yang telah mengisi relung hatinya, sehingga menjadi tanda cinta bahwa sang lelaki telah siap mengorbankan apa saja untuk mendapatkan cinta sang pujaan hati. Itulah kenyataannya, ketika cinta sudah berbicara, apapun akan dikorbankan demi membahagiakan yang dicinta. Tiga puluh kemudian, setelah sekian kali anggota keluarga wanita bolak-balik dari ruang tengah dan ruang tamu, meminta pendapat dan saran dari tokoh masyarakat yang hadir, akhirnya muncullah kata sepakat yang telah dinanti; “Kalau begitu, sudah disepakati akan dilaksanakan tanggal 4 Desember 2010...” 4 Desember 2010.... Seminggu sudah berlalu sejak tanggal 27 November 2010, tanggal yang cukup membuat hati dua orang insan kembang kempis, dan inilah hari dimana Fandi akan menunaikan sunnah baginda Nabi, menggenapkan separuh agamanya. Aku masih membereskan buku setelah mengajar, ketika Bapak Sofyan, Sekdes Indomut menjemputku  untuk menghadiri acara sakral ini. Sepuluh menit kemudian kami berangkat menuju rumah mempelai pria, Bapak Sofyan mengingatkanku untuk membawa sebuah buku doa yang kemudian aku ketahui bahwa itu adalah buku sholawat Nabi, serta menyiapkan uang pecahan empat ribu rupiah. Acara dimulai tepat pukul 13.30 WIT, dengan mangaji sebagai pembukanya. Namun mangaji kali ini berbeda, lebih lama dari biasanya, karena ada ritual tambahan, yaitu acara cukur rambut empat orang keponakan dari kedua mempelai, dua anak di rumah mempelai pria dan dua anak lagi akan dicukur di rumah mempelai wanita. Satu hal yang perlu dijadikan catatan, bahwa di setiap acara mangaji, yang diijinkan untuk hadir hanyalah kaum pria yang telah berkeluarga, ibu-ibu serta para pemuda hanya diperbolehkan untuk melihatnya saja, namun saya mendapat pengecualian sehingga bisa mengikuti acara mangaji. Sehingga dapat dibayangkan, bahwa disetiap acara mangaji yang saya ikuti, hanya dipenuhi oleh kalangan bapak-bapak dan sesepuh desa. Empat puluh lima menit kemudian kami bergerak menuju rumah mempelai wanita untuk melakukan ritual yang sama, yaitu mangaji disertai dengan cukur rambut. Tepat di depan masjid al Jannah, telah berdiri pelaminan yang sederhana namun tetap anggun. Bapak Husain, salah satu sesepuh Desa Indomut dan cukup disegani karena menguasai seluruh bahasa daerah di Maluku Utara (kurang lebih 8 bahasa daerah), mempersilakan ku duduk disampingnya. Beliau duduk tiga kursi dari tempat pot pembakaran berada, posisi duduk pada ritual mangaji memang menggambarkan posisi seseorang, semakin dekat posisi seseorang dengan pot pembakaran, maka semakin sepuh atau semakin berpengaruh orang tersebut di desa ini. Sesaat kemudian aroma kayu manis menyeruak dari pot pembakaran, disertai gemuruh bacaan doa dari para hadirin, sama seperti yang dilakukan di rumah mempelai pria. Seusai melakukan cukur rambut, suasana menjadi semakin riuh, karena sang mempelai wanita telah memasuki area pelaminan, berjalan bak putri raja. Ratusan orang kini sudah berkerumun di sekitar pelaminan, raut wajah mereka menyiratkan rasa ingin tahu dan keceriaan. Namun tidak bagi pemeran utama acara ini, dua insan yang sebentar lagi akan menyatu dalam bahtera kehidupan tampak sangat tegang, tidak ada senyum yang tersimpul pada wajah mereka, sempat terbersit pertanyaan nakal dalam otakku, apakah ini yang dinamakan demam pelaminan? Tradisi akad nikah di Bacan berbeda dengan akad nikah yang ada di Jawa, disini akad nikah dilakukan di ruang terbuka, tepatnya didepan pelaminan yang ada di depan rumah, bukan didalam masjid atau di dalam ruangan. Sehingga mulai anak-anak hingga orang tua sekalipun dapat menyaksikan upacara sakral ini, berbeda dengan akad nikah di Jawa, dimana prosesi sakral tersebut hanya dihadiri oleh keluarga atau orang dekat mempelai. Hal yang sama adalah, adanya baronggeng atau berjoget pada malam harinya, sama seperti organ tunggal yang ada di Jawa. Tepat pukul 15.40 WIT, penghulu melakukan tugasnya. Ada yang unik pada saat pembacaan ijab kabul, setelah membaca dua kalimat syahadat yang dipandu oleh Bapak Sekdes, penghulu memegang tangan mempelai laki-laki seperti posisi orang adu panco, lalu kepalan tangan mereka ditutupi dengan sapu tangan dan digoyang-goyang. Sayup-sayup aku mendengar sang penghulu mengucapkan “.....dengan mas kawin 20 ribu rupiah...” dan kemudian mempelai pria menjawabnya. Jawaban itu kemudian disambut dengan sorakan para hadirin, suasana menjadi riuh seketika, aku bisa mendengar teriakan “...ada pengantin baru!” dan banyak lagi sorakan spontan dari warga yang hadir. Fandi dan Sofia, kini telah menapaki bahtera itu, mereka telah siap mengarungi kehidupan baru bersama-sama, menjadi pakaian satu sama lain, menjadi tongkat yang saling menguatkan, semoga ikatan suci ini akan bertahan selamanya, dan hanya sentuhan malaikat Izrail saja yang akan memisahkan mereka untuk sementara, sebelum akhirnya nanti bersatu kembali, di akhirat kelak. Ini adalah momen pertama kali dalam hidupku, menyaksikan kekhidmatan suasana ijab kabul secara langsung, bukan hanya sekadar lewat cerita dari mulut ke mulut, dan suatu saat nanti, momen ini pasti akan aku hadapi, barakallahu..... Halmahera Selatan Ahad, 5 Desember 2010 Pkl 00.35 WIT, ditengah malam yang dingin dan sunyi (Tanpa ada lolongan anjing, tumben...) 

Cerita Lainnya

Lihat Semua